Pengampunan pajak dalam konteks itu berfungsi memperbaiki basis data pajak yang selama ini dimanipulasi dan menjaring mereka yang selama ini di luar sistem administrasi. Tujuan akhirnya, penerimaan pajak bisa sampai level optimal secara berkelanjutan. Rencana itu dilontarkan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) kepada Komisi XI DPR pada rapat kerja pembahasan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (RAPBN-P) 2015 di awal tahun. Sejumlah anggota DPR kemudian aktif mendorong. Salah satu bentuk "dorongan" itu, ikut terlibat dalam diskusi terbatas dan tertutup di Kantor DJP pada Juni.
DJP juga menggelar sejumlah diskusi terbatas lain di beberapa daerah untuk menyerap "aspirasi publik" sebagai dasar menyusun naskah akademik pengampunan pajak. Tak banyak yang bisa digali dari proses itu. Tahu-tahu, beberapa anggota DPR dan Direktur Jenderal Pajak Sigit Priadi Pramudito menjelaskan dalam satu versi kepada media, yaitu pengampunan pajak bertransformasi menjadi pengampunan spesial (special amnesty). Waktu pelaksanaannya, ditarik maju, dari rencana 2017 menjadi akhir 2015.
Cakupannya juga diperlebar. Dari awalnya, pengampunan sanksi dan pidana pajak menjalar sampai ke urusan pidana di luar pajak, kecuali pidana terorisme, narkotika, dan perdagangan manusia. Artinya, korupsi yang belum disidik termasuk yang bisa diampuni. Untuk merealisasikan gagasan pengampunan pajak yang seperti itu pertama-tama yang harus dilakukan adalah menyusun payung hukum berupa undang-undang. Targetnya, tuntas akhir 2015. Inisiasinya bergeser, dari awalnya pemerintah ke tangan DPR.
"Barang baru" bertajuk pengampunan spesial ini menuai banyak kritik tajam dari berbagai kalangan, mulai dari pengamat pajak sampai dengan aparat penegak hukum. Para pendukung pengampunan spesial, baik di DPR maupun pemerintah, tiarap. Mereka tutup mulut setiap kali ditanya wartawan soal perkembangan pengampunan spesial.
Tiba-tiba pada rapat Badan Legislasi DPR di Jakarta, Selasa (6/10), muncul usulan agar RUU Pengampunan Nasional dimasukkan sebagai program legislasi nasional 2015. Usulan itu datang dari anggota DPR dari Fraksi Partai Golkar, Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Fraksi Partai Persatuan Pembangunan, dan Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa.
Dari aspek legal, RUU Pengampunan Nasional sangat sumir. Skemanya pengampunan pajak, tetapi cakupan pengampunannya melebar. Pertanyaannya, mengapa insentifnya mencakup pengampunan pidana korupsi?
Dalam Pasal 10 draf RUU Pengampunan Nasional disebutkan, "Selain memperoleh fasilitas di bidang perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, orang pribadi atau badan juga memperoleh pengampunan tindak pidana terkait perolehan kekayaan, kecuali tindak pidana teroris, narkoba, dan perdagangan manusia."
Seberapa besar uang hasil korupsi dalam total aset yang menjadi target program pengampunan pajak itu? Apakah layak pengampunan tindak pidana korupsi juga diberikan? Apalagi, korupsi sudah menjadi kejahatan luar biasa yang menyengsarakan rakyat bertahun-tahun.