Jakarta, (Analisa)
Development Bank of Singapore (DBS) menilai paket kebijakan ekonomi yang diluncurkan pemerintah baru-baru ini terkait cukup positif namun masih akan ada hambatan dalam pelaksanaan insentif deposito berupa pengurangan pajaknya.Ekonom DBS Indonesia, Gundy Cahyadi, dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, kemarin, mengatakan tiga kebijakan terakhir yang diumumkan pada 30 September 2015 cukup menarik untuk dibahas. Pertama yakni intervensi akan dilakukan di forward market dan bukan hanya di spot market. Kedua, pengurangan pajak bunga deposito untuk para eksportir yang menyimpan pendapatannya di perbankan Indonesia.
Gundy menyebutkan, pengurangan holding period SBI dari 1 bulan menjadi 1 minggu telah dikeluarkan BI. Dan kebijakan-kebijakan tersebut direncanakan untuk efektif mulai bulan ini. Karena sejak bulan Juli, kenaikan US dolar/rupiah forward points telah menambah biaya melakukan hedging untuk melindungi nilai mata uang rupiah.
“Hal ini telah menambah permintaan dollar di spot market. Dengan komitmen untuk intervensi di forward market, BI memberikan sinyal kuat untuk menjaga kestabilan rupiah,” kata Gundy.
Tujuan kebijakan pengurangan pajak deposito eksportir itu, jelas Gundy, adalah untuk memberikan insentif kepada para eksportir untuk menukar pendapatan dollar mereka dan menyimpannya dalam deposito rupiah dengan tenor yang lebih lama.
“Kami melihat dua halangan mengenai hal ini —kebanyakan eksportir cenderung bekerja dengan cash basis dan likuiditas merupakan kunci. Walaupun pengurangan pajak bunga deposito ini cukup signifikan, tidak semestinya para eksportir akan otomatis membekukan pendapatan mereka ke deposito dengan jangka waktu yang panjang,” tuturnya.
Lebih lanjut Gundy menyatakan, terdapat kemungkinan bahwa para eksportir masih ragu untuk membawa pendapatan mereka onshore terlebih jika tidak adanya pajak bunga deposito saat melakukan deposito offshore. “Bagi kami, kebijakan ketiga di atas bisa jadi yang terpenting dari semua. Dalam rentang tahun 2009- 2010, SBI merupakan instrumen populer untuk spekulasi terhadap penguatan rupiah,” ujarnya.
Ia memaparkan, kepemilikan asing atas SBI meningkat hampir mencapai 60% dari kepemilikan asing untuk obligasi pemerintah Indonesia. Holding period satu bulan diumumkan di pertengahan tahun 2010 dan kemudian diperpanjang menjadi enam bulan di pertengahan 2011, yang ditujukan untuk mengerem arus masuk ‘uang panas’.
Di akhir tahun 2011, kata dia, kepemilikan asing atas SBI menurun drastis hingga mendekati nol. Menjelang akhir tahun 2013, BI memutuskan untuk memperpendek holding period SBI kembali menjadi satu bulan, dan kini terus diperpendek menjadi satu minggu.
“Hal ini mengindikasikan upaya bank sentral untuk mendongkrak arus masuk dari pihak asing. Jangan pernah mengesampingkan kemungkinan adanya kenaikan suku bunga. Walaupun kita memperkirakan BI untuk menjaga tingkat suku bunga stabil hingga tahun depan, suku bunga jangka pendek di market sendiri sebenarnya sudah melonjak,” ungkap Gundy.
Ia menambahkan, dalam dua bulan terakhir, 3m JIBOR meningkat mencapai 70bps. Hasil dari SDBI juga ikut naik hingga 50bps di hampir semua jangka waktu tenor. Dengan demikiam, menurutnya, peningkatan suku bunga mungkin counterintuitive dikarenakan banyaknya resiko terhadap pertumbuhan PDB.
“Namun jika memang underlying demand untuk kredit perbankan rendah, suku bunga yang lebih tinggi mungkin tidak akan terlalu berpengaruh pada laju pertumbuhan kredit baru bank. Di saat bersamaan, jika suku bunga lebih tinggi akan meningkatkan kepercayaan terhadap mata uang rupiah, mungkin ianya pada akhirnya akan berpengaruh positif terhadap prospek pertumbuhan PDB,” jelasnya.