Warga negara yang mencalonkan diri sebagai presiden harus memahami pajak. Sebab, negara mudah chaos jik pemimpinnya buta pajak. Benang merah tersebut mengemuka dalnm Diskusi InteraktifPolitik Pajak, Pentingnya Dalam Upaya Kontrak Politik Pemilihan Presiden Tahun 2009 di Fakultas Ekonomi, Universitas Pakuan, Bogor, Sabtu (15/11). Hadir sebagai pembicara, anggota Pansus UU Perpajakan DPR RI Rizal Djalil, Staf pengajar Fakultas Ekonomi Universitas Pakuan Edy Mulyadi Supardi, serta Edy Slamet Irianto dari Direktorat Jenderal Pajak. Diskusi ini dipandu oleh Pemimpin Redaksi Investor Daily Primus Dorimulu.
Pajak, menurut masing-masing pembicara, merupakan alat untuk mengukur kesadaran bernegara. Sebagai alat ukur, pajak sangat berpengaruh terhadap maju-mundurnya negara. Pajak juga menentukan stabilitas, baik politik, pertahanan maupun keamanan sebuah negara. "Oleh karenanya, tidak ada negara yang kuat tanpa pajak," tegas Edy Mulyadi.
Masing-masing pembicara sepakat bahwa calon presiden harus memahami fungsi, manfaat dan filosofi pajak. Janji-janji selama kampanye seyogianya tidak hanya fokus kepada program-program yang membebani APBN. Apalagi, sebagian besar sumber pendapatan APBN berasal dari pajak.
"Capres yang memahami isu pajak, sadar bagaimana cara mendapatkannya. Sedangkan yang tidak memahami, cenderung menjanjikan tindakan yang membebani APBN," ujar EdyTMulyadi.
Capres yang mengerti pajak, ketika menjadi presiden akan menyadari pentingnya dukungan politik ekonomi dari pemilihnya. Alat ukur dari dukunganitu, kata Edy Slamet, adalah kesadaran untuk membayar pajak. "Presiden tidak mau kehilangan atau ditinggalkan rakyatnya. Sebab, jika rakyat meninggalkan dengan cara tidak membayar pajak, negara akan mudah chaos," tegas Edy Slamet. Ketika rakyat menolak membayar pajak.sumber pendapatan APBN akan terancam. Kewajiban-kewajiban negara, salah satunya menjamin rasa aman masyarakat, 9ulit dilakukan karena tidak ada biayai. "Baju danpistol polisi yang mengawal keamanan masyarakat itu kan dibeli dari pajak. Kalau rakyat meninggalkan Presiden dengan cara tidak membayar pajak, berarti polisi bisa bekerja. Keamanan terancam. Situasi chaos pun mudah datang," papar dia.
Oleh karenanya, agar tidak mudah ditinggalkan rakyatnya, calon presiden harus menguasai seluk beluk dunia pajak. "Pilihlah presiden yang memiliki platform pajak yang jelas. Pajak adalah titik temu antara negara dan rakyat. Negara akan memiliki kedaulatan politik yang ting-gi jika pajaknya memadai," tegas Edy Slamet,
Bukan hanya calon presiden, isu pajak juga perlu dipahami para calon gubernur, hupati, dan walikota yang hendak berlaga dj pilkada. Jika mereka terlalu menggembar-gemborkan progrnm-pro-grnm untuk menarik simpati, misalnya sekolah dan kesehatan gratis, masyarakat diminta waspada. "Hati-hati. Seolah-olah, itu uang dia yang dipakai. Padahal, sekolah dan kesehatan gratis itu diambil dari pajak Itu uang rakyat, bukan uang calon gubernur, hupati, atau walikota," papar Edy Mulyadi.
Pada bagian lain, diskusi juga menyorot penyimpangan pajak oleh wajib pajak. Anggota Pa(h-sus UU Pajak DPR RI Rizal Djalil menegaskan, saat ini (setelah ada UU Pajak yang baru) wajib pajak tidak bisa lagi bersembunyi dari kewajibannya."Sulitbagi pengusaha untuk bermain-main dengan pajak. Di UU Pajak sudah ada langkah-langkah untuk mencegah penyimpangan. Jadi, sangat mungkin pengusaha main-main dengan pajak," tegas Rizal.
Pengusaha juga tidak bisa bertindak sedemikian rupa untuk menunjukkan perusahaanya rugi, sehingga terbebas dari pajak. Sebab, kata Rizal, di Direktorat Pajak sudah ada intel pajak. "Tugas intel pajak adalah mendeteksi perusahan yang membuat dirinya seolah-olah rugi." ujar Rizal.