Badan Pemeriksa Keuangan menilai kinerja Direktorat Jenderal Pajak masih buruk
Jakarta — Sejumlah anggota Komisi Keuangan dan Perbankan Dewan Perwakilan Rakyat meminta Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan mengaudit kinerja Direktorat Jenderal Pajak. Anggota Komisi dari Fraksi Partai Golkar, Kamaruddin Sjam, mengatakan, dengan audit tersebut, BPKP bisa mengoptimalkan kewenangan yang dimilikinya.
"BPKP bisa lebih proaktif dalam melakukan audit dan tidak mesti harus menunggu perintah dari presiden, wakil presiden, atau Menteri Keuangan," kata Komaruddin dalam rapat dengar pendapat BPKP dengan Komisi Keuangan dan Perbankan di Senayan, Jakarta, kemarin.
Ia mencontohkan perlunya audit berkaitan dengan restitusi pajak, yang dinilai banyak terjadi ketidakberesan. "Itu bisa sebagai celah BPKP memeriksa pengaduan restitusi pajak dan keberatan pajak," katanya.
Kepala BPKP Kuswono mengatakan kesiapannya. "Kalau diminta DPR, kami siap," kata Kuswono seusai rapat. Namun, kata Kuswono, secara prosedural DPR tidak bisa langsung meminta BPKP mengaudit kinerja Direktorat Jenderal Pajak.
Ketika dimintai tanggapan, Menteri Keuangan Agus Martowardojo menyatakan setuju dilakukannya audit kinerja terhadap Ditjen Pajak. Menurut Agus, audit ini perlu dilakukan untuk memperoleh masukan mengenai kinerja Direktorat Jenderal Pajak selama ini. "Saya setuju dilakukan audit tersebut," kata Agus seusai rapat kerja dengan Komisi Keuangan dan Perbankan DPR di Jakarta kemarin.
Sementara itu, Badan Pemeriksa Keuangan menilai kinerja Direktorat Jenderal Pajak masih buruk. Anggota BPK, Taufikurrahman Ruki, mengungkapkan, penilaian BPK didasarkan pada belum terekonsiliasinya data penerimaan pajak.
"Terus terang kami tergugah dengan banyaknya kasus perpajakan yang terjadi belakangan ini. Ini menjadi sebuah gambaran bagaimana kinerja Ditjen Pajak," kata Ruki saat menyerahkan laporan audit BPK atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat 2009 di lingkungan Kementerian Perekonomian di Jakarta kemarin.
"Masalah piutang pajak banyak sekali dokumen yang tidak lengkap, dokumen tidak bisa ditemukan dan sebagainya," kata dia. Karena salah satu alasan inilah, menurut Ruki, BPK hanya mengganjar laporan keuangan Kementerian Keuangan dengan pendapat wajar dengan pengecualian.