JAKARTA. Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kementerian Keuangan (Kemkeu) memastikan, bea meterai tidak akan dikenakan terhadap alat bukti transaksi belanja ritel.
Aturan itu akan dituangkan dalam draf revisi Undang-Undang (UU) Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai. Irawan, Direktur Peraturan Perpajakan (PP) II Ditjen Pajak Kemkeu menjelaskan, bea meterai tetap dikenakan untuk tanda bukti transaksi jual beli. Namun, tanda bukti itu hanya berupa dokumen perdata. "Tanda terima pembayaran yang bersifat perdata contohnya kuitansi," kata Irawan, Rabu (1/7). Artinya, konsumen yang berbelanja di toko ritel bebas bea meterai.
Irawan menambahkan, bea meterai akan dikenakan untuk dokumen yang bersifat mengikat dan terkait ranah hukum. Artinya, hal itu berbeda dengan tanda bukti transaksi belanja ritel yang hanya berupa dokumen tanda terima barang, meski menyatakan nominal uang.
Contoh tanda bukti transaksi jual beli yang kena bea meterai adalah pembelian kendaraan mobil atau motor. "Jadi misalnya beli mobil, pembeli akan diberikan kuitansi sebagai tanda bukti pembelian, ada kuitansinya, itu kena materai.
Nah itu yang dimaksud. Kalau struk belanja tidak masuk," tambah Irawan. Sebelumnya, Ditjen Pajak menyatakan, salah satu poin revisi UU 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai adalah perubahan tarif bea meterai, dari dua tarif menjadi satu tarif.
Tarif meterai yang diusulkan yaitu Rp 10.000 untuk dokumen dengan nilai nominal lebih dari Rp 5 juta. Rencana terbaru ini mengubah kajian sebelumnya yang masih mengenakan dua jenis tarif meterai. Meterai bertarif Rp 3.000 akan dinaikkan jadi Rp 10.000 untuk dokumen senilai di bawah Rp 1 juta. Sementara meterai bertarif Rp 6.000 akan naik jadi Rp 18.000 untuk dokumen dengan nilai nominal lebih dari Rp 1 juta.
Yang jelas, meterai dengan tarif tunggal senilai Rp 10.000 ini nanti tidak berlaku bagi dokumen hasil transaksi pembelian saham dan properti.
Khusus pada dua transaksi ini, Ditjen Pajak akan memungut tarif sesuai persentase (ad volerem) 0,01% dari nilai transaksi kepada pembeli.
Namun, ditjen pajak tidak mematok batasan nilai tertentu. Tarif 0,01% ini lebih rendah dari rencana sebelumnya 0,1%. "Itu baru usulan. Nanti dibahas lagi dengan Kemenkumham. Setelah ada Amanat Presiden (Ampres), baru dibahas lagi di DPR," kata Sigit Priadi Pramudito, Direktur Jenderal Pajak Kemkeu.
Sigit bilang, tarif Rp 10.000 merupakan angka yang masuk akal dengan telah memperhitungkan inflasi. Apalagi, revisi tarif bea meterai tarakhir diubah pada 15 tahun lalu, yaitu Rp 3.000 dan Rp 6.000 hingga berlaku saat ini. Selama ini, penerimaan negara dari bea meterai Rp 5 triliun.