Ketua Umum Persatuan Produser Film Indonesia (PPFI) Firman Bintang yang dihubungi Kompas, Selasa (26/1), di Jakarta, menyampaikan, sebelum 1986, ada banyak importir film dan pengusaha bioskop.
Namun, setelah 1986, perkembangan iklim persaingan impor dan pendirian bioskop di Indonesia tidak cukup positif.
Situasi industri perfilman kemudian, lanjut dia, juga semakin tidak kondusif. Ada ketimpangan beban pajak terhadap film nasional dan film impor. PPFI sudah melayangkan dua surat yang meminta Pemerintah Indonesia menyesuaikan beban pajak, yakni pada 19 Agustus 2015 dan 14 Desember 2015.
Keluhan pertama menyangkut pengenaan beberapa jenis pajak untuk satu film nasional, mulai dari produksi hingga siap diedarkan, yang secara keseluruhan mencapai 10 persen.
Kondisi ini, lanjut Firman, cukup memberatkan. Sebagai gambaran, anggaran rata-rata film nasional Rp 3 miliar per judul film sehingga pajak yang harus dibayar Rp 300-an juta per judul film. Namun, untuk film nasional yang besar, anggaran produksinya bisa mencapai Rp 25 miliar sehingga pajaknya Rp 2,5 miliar.
Sebaliknya, pungutan pajak atas pengadaan film impor dianggap PPFI sangat murah. Pungutan besaran beban pajak berdasarkan durasi film, bukan nilai pabean. Bea masuk film asing per menit Rp 21.450. Jika rata-rata durasi film 90 menit, biaya yang harus dibayar adalah Rp 1.930.500 per film.
PPFI menyayangkan ketentuan itu juga berlaku sama bagi film-film impor yang masuk kategori laris. Hal ini berdampak terhadap gairah pelaku industri film lokal untuk memproduksi.
"Kuota impor saja yang perlu dibatasi. Pembatasan impor tidak perlu. Indonesia sudah mempunyai Lembaga Sensor Film yang mengawasi keberadaan isi film asing yang tidak sesuai norma," ujar Firman saat ditanya perlu tidaknya pembatasan impor film.
Jika ada importir yang melanggar, mereka bisa dikenai sanksi.
Sudah sesuai
Secara terpisah, Ketua Badan Perfilman Indonesia (BPI) Kemala Atmojo berpendapat, pengenaan pajak produksi film nasional yang berlaku sekarang sudah sesuai aturan. Menurut dia, perpajakan film saat ini sudah sesuai praktik umum yang berlaku internasional.
"Tidak ada pajak impor yang lebih rendah. Perlakuan yang sama juga diterima film Indonesia yang beredar di luar negeri," kata Kemala.
Jika pemerintah mau memberikan insentif pajak terhadap industri film nasional, baik dengan membebaskan maupun menyubsidi pajak, akan didukung pelaku perfilman Indonesia.
Berdasarkan data BPI, jumlah penonton film Indonesia pada 2010 sekitar 16,8 juta orang dengan jumlah film 74 judul. Adapun pada 2014 ada sekitar 15,2 juta penonton dengan total film 113 judul.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Mekar Satria Utama mengatakan, tidak ada insentif khusus bagi industri film, baik pengurangan pajak maupun keringanan pembayaran pajak.
Pekan lalu, pemerintah-setingkat kementerian dan lembaga-menyepakati industri perfilman terbuka 100 persen bagi investasi asing. Ada empat subbidang usaha perfilman yang terbuka 100 persen bagi asing, yakni jasa teknik, pembuatan, pengedaran atau distribusi, dan ekshibisi atau bioskop.
Direktur Keuangan PT Graha Layar Prima Tbk, yang menaungi jaringan bioskop CGV Blitz, Johan Yudha Santosa berpendapat, keberpihakan pemerintah diperlukan. Jika film nasional mendominasi, penghematan devisa untuk impor film dapat dikurangi. Perkembangan industri film nasional menumbuhkan kesempatan kerja dan dampak berganda terhadap kegiatan ekonomi masyarakat.