Follow Us :

JAKARTA, KOMPAS – Asosiasi E-Commerce Indonesia berharap pemerintah menunda pelaksanaan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 210 Tahun 2018 tentang Perlakuan Perpajakan atas Transaksi Perdagangan melalui Sistem Elektronik dari tanggal seharusnya 1 April 2019 menjadi setahun mendatang. Asosiasi menilai, edukasi dan sosialisasi perpajakan kepada penyedia platform laman pemasaran beserta mitra pedagang mereka butuh waktu lama.

“Pada umumnya mitra pedagang penyedia platform laman pemasaran adalah pelaku UMKM. Rata-rata setiap platform memiliki jumlah mitra empat hingga lima juta pelaku dan separo di antaranya belum paham perpajakan,” ujar ketua bidang ekonomi digital Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA) Bima Laga yang ditemui usai konferensi pers, Senin (14/1/2019), di Jakarta.

Menurut dia, idEA mempunyai sekitar 300 anggota yang sebagian berlatar belakang sebagai penyedia platform laman pemasaran. Asosiasi akan menggelar sosialisasi Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 210 Tahun 2018 kepada anggota mulai pekan depan. Kemudian, anggota segera menjalankan edukasi kepada mitra pedagang mereka.

“Kekhawatiran kami adalah mitra pedagang yang sama sekali belum paham perpajakan. Kalau petugas Direktorat Jenderal Pajak mendatangi dan mereka tidak mengerti, kami khawatir mereka takut berusaha lagi,” kata Bima.

Ketua umum idEA Ignatius Untung menimpali, pada tahun 2017, pihaknya sempat melakukan survei ke 1.765 pelaku UMKM yang terjun ke pemasaran daring. Mereka bermukim di 18 kota. Hasilnya, 80 persen diantara mereka menjalankan usaha mikro, 15 persen kategori usaha kecil, dan 5 persen masuk usaha menengah.

Secara khusus untuk pelaku usaha mikro, dia menyebut rata-rata omzet setahun mencapai di bawah Rp 40 juta setahun. Pendapatan per bulan dipastikan berkisar Rp 3 jutaan.

“Dengan kondisi seperti itu, kami bisa menyimpulkan, fokus mereka masih mempertahankan keberlanjutan usaha. Jika mereka “ditodong” membuat nomor pokok wajib pajak (NPWP), mereka tentunya semakin khawatir. Apabila penghasilan tidak menentu dan cenderung menurun, mereka harus bayar pajak memakai apa?” ujar Ignatius.

Secara umum, PMK Nomor 210 Tahun 2018 mengatur tata cara pemungutan pajak untuk mempermudah administrasi dan mendorong kepatuhan pelaku e-dagang demi menciptakan keadilan dengan pelaku usaha konvensional. Oleh karena itu, tak ada jenis atau tarif pajak baru bagi pelaku e-dagang.

Pedagang dan penyedia jasa yang berjualan di platform e-dagang, terutama yang disorot adalah laman pemasaran, wajib membayar Pajak Penghasilan (PPh) final 0,5 persen dari omzet. PPh final dikenakan kepada pedagang dan penyedia jasa yang omzetnya di bawah Rp 4,8 miliar dalam setahun. Sementara bagi mereka yang omzetnya lebih dari Rp 4,8 miliar dalam setahun diwajibkan membayar Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 10 persen.

Pedagang dan penyedia jasa juga wajib membuat faktur pajak sebagai bukti pembayaran PPh dan melaporkan surat pemberitahuan masa PPN melalui penyedia platform e-dagang. Rekapitulasi seluruh transaksi e-dagang akan dilaporkan penyedia platform e-dagang ke Direktorat Jenderal Pajak.

Penyedia platform tidak memungut PPh dan PPN dari pelapak. Mereka hanya diminta untuk mewajibkan semua pelapak memiliki NPWP dan melaporkan rekapitulasi transaksi (Harian Kompas, 14/1/2019, halaman 13).

Selain nasib mitra pedagang yang mayoritas berskala mikro, kekhawatiran idEA lainnya menyoal validasi NPWP milik mitra. Ignatius berpendapat, tidak semua mitra paham pajak sehingga ada potensi mereka melakukan segala cara untuk memperoleh NPWP. Misalnya, memalsukan.

“Di benak mitra pedagang umumnya menganggap mengurus pelaporan NPWP dan setor pajak itu ribet. Dengan kemudahan teknologi, mitra bisa saja memalsukan. Sejauh ini, penyedia platform laman pemasaran juga belum memiliki perangkat khusus untuk memverifikasi dan memvalidasi NPWP secara cepat,” tutur dia.

Menurut Ignatius, rata-rata penyedia platform laman pemasaran Indonesia baru beroperasi kurang dari 20 tahun. Performa bisnis mereka pun belum sebagus pemain sama di negara maju, seperti Amerika Serikat, China, dan Singapura. Mereka patuh pada hukum Indonesia, misalnya berbadan hukum dan selalu bersedia bekerja sama dengan pemerintah.

Hanya saja, terkait PMK Nomor 210 Tahun 2018, dia berpendapat, penyedia platform pun dipastikan belum siap secara sistem perangkat untuk memungut, menyetor, dan melaporkan PPN serta PPh.

“Mengapa pemerintah tidak berbicara dengan perbankan juga untuk pelaksanaan PMK Nomor 210 Tahun 2018?” tanya dia.

Bima mengemukakan, selama ini rata-rata penyedia platform laman pemasaran verifikasi dan validasi mitra pedagang belum terhubung sistem data tunggal kependudukan milik Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil. Kondisi ini semestinya turut menjadi perhatian pemerintah sebelum memberlakukan PMK Nomor 210 Tahun 2018.

Mendukung

Ignatius menegaskan, asosiasi mendukung upaya pemerintah untuk menggenjot penerimaan pajak. Akan tetapi, hal-hal sederhana, antara lain sosialisasi dan kesiapan sistem perangkat terintegrasi, semestinya melandasi pemerintah tidak terburu-buru memberlakukan PMK Nomor 210 Tahun 2018.

Dia mengklaim, asosiasi belum memiliki laporan riset untuk mengetahui seberapa besar dampak penerapan PMK itu. Pihak pemerintah pun tidak memberikan kajian.

“Kami tidak anti pajak,” kata Ignatius.

Menurut Bima, sudah setahun idEA bekerja sama dengan Badan Pusat Statistik (BPS) untuk menyiapkan laporan perkembangan industri e-dagang Indonesia. Dari 20 perusahaan platform e-dagang berskala besar diminta ikut menyetor data perkembangan usaha, tetapi baru 13 perusahaan melakukannya.

Pada periode yang sama, idEA juga mendapat laporan adanya instansi kementerian dan lembaga lain yang meminta anggota asosiasi menyetor data perkembangan usaha.

“Kami harap cukup Badan Pusat Statistik saja,” tutur Bima.

Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo berpendapat, kewajiban pemilik platform menyerahkan laporan rekapitulasi transaksi mitra pedagang juga akan menambah beban administrasi. Apabila terjadi peningkatan biaya administrasi yang tinggi, pemerintah sebaiknya memberikan kompensasi atau fasilitas yang memudahkan pelaporan.

“Sosialisasi dan edukasi harus optimal. Kedua langkah ini perlu diikuti penyiapan perangkat administrasi yang memudahkan registrasi NPWP ataupun pelaporan pajak,” ujar dia.

error: Content is protected