JAKARTA: Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menegaskan alasan audit pajak tidak bisa dijadikan pegangan oleh Badan Pemeriksa Keuangan untuk terus menetapkan status disclaimer (tidak memberikan pendapat) atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat.
Menkeu mengatakan tidak dapat menerima alasan yang menyebutkan keberadaan UU No.28/2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) sebagai penyebab BPK selalu tidak menyatakan pendapat atas laporan keuangan pemerintah.
"Saya tidak terima kalau tidak ada akses [pajak] menjadikan BPK serta-merta memberi disclaimer laporan keuangan pemerintah," jelasnya, dalam seminar mengenai kebijakan publik, kemarin.
Secara khusus dia menyebutkan Pasal 34 ayat 2 UU tersebut tidak menutup akses BPK untuk melakukan audit.
Pejabat atau tenaga ahli di Departemen Keuangan hanya diharuskan mendapatkan izin Menteri Keuangan terlebih dahulu sebelum memberikan keterangan kepada BPK atau lembaga pemeriksa keuangan lain.
Menkeu menilai BPK dan Departemen Keuangan seharusnya dapat duduk bersama untuk membahas langkah yang dapat ditempuh guna mencari solusi satu per satu atas kekurangan LKPP. Menurutnya, BPK dan Depkeu merupakan dua institusi yang sangat erat hubungannya untuk memastikan keuangan negara dikelola dengan transparan dan akuntabel.
Sri Mulyani dapat menerima jika pengelolaan aset negara mendapat opini disclaimer dari BPK. Dia mengakui sampai saat ini hanya sebagian kecil aset yang dapat diinventarisasi senilai Rp1.600 triliun atau masih di bawah perkiraan.
"Kalau mengenai aset, mungkin saya bisa terima karena memang pendataan aset negara baru dimulai beberapa terakhir, termasuk penilaian kembali," ujarnya.
Aset negara
Akan tetapi, dia menekankan adanya upaya dari Direktorat Jenderal Kekayaan Negara Depkeu untuk menyelesaikan inventarisasi semua aset negara dalam perkiraan tiga tahun mendatang. Selama kurun waktu itu, dia menyatakan siap menerima status disclaimer dari BPK atas alasan laporan pengelolaan aset negara.
Upaya inventarisasi aset, lanjut Menkeu, sebenarnya dapat dipercepat tetapi penilaian kembali membutuhkan waktu lama. Apalagi sebagian besar aset negara belum pernah diperkirakan nilainya dalam neraca keuangan pemerintah.
Dia mencontohkan nilai Lapangan Banteng dalam neraca keuangan negara yang diperhitungkan Rp800 miliar. Setelah disesuaikan dengan nilai saat ini ternyata lapangan itu berharga Rp4 triliun.
Sementara itu, aset yang dikelola kementerian dan lembaga negara (K/L) lain, seperti irigasi, belum penah dicatat nilainya oleh Departemen Pekerjaan Umum sehingga membutuhkan waktu cukup panjang untuk dinilai kembali.
Erna S. U. Girsang