JAKARTA: Sebanyak 43 pesawat impor milik berbagai maskapai nasional belum melengkapi dokumen izin pemberitahuan impor barang (PIB) dan surat keterangan bebas pajak pertambahan nilai (SKB PPN).
Kabar adanya armada angkutan udara yang diimpor tanpa dokumen kepabeanan tersebut terungkap dalam rapat Komite Pengawas Perpajakan, Rabu (2/6). Rapat tersebut sedianya membahas masalah 1.000 kapal yang diimpor tanpa dokumen PIB dan SKB PPN.
Namun, dalam rapat tersebut, Kementerian Perhubungan (Kemenhub) menyampaikan ada 43 unit pesawat impor yang belum melengkapi dokumen kepabeanan, padahal armada itu sudah beroperasi di Indonesia.
"Alat transportasi yang masih bodong juga ada di sektor angkutan udara, tidak hanya di armada angkutan laut nasional," kata Ketua Indonesian National Shipowners' Association (INSA) Johnson W. Sutjipto kemarin.
Johnson yang menjadi peserta rapat Komite Pajak tersebut menambahkan Ditjen Pajak sudah berkomitmen untuk mencarikan solusi dengan menghindari upaya penangkapan supaya kegiatan transportasi nasional tidak terganggu.
Komite Pengawas Perpajakan diketua oleh Anwar Suprijadi (Mantan Dirjen Bea dan Cukai) dengan wakil mantan Dirjen Anggaran Kemenkeu yang juga pernah menjabat sebagai Dirjen Pajak Abdul Anshari Ritonga.
Berdasarkan dokumen undangan rapat No. Und-24/KPP/2010 tertanggal 27 Mei 2010, tercatat ada enam instansi yang diundang yakni Direktur Peraturan Perpajakan I Ditjen Pajak, Direktur Teknis Kepabeanan Ditjen Bea dan Cukai, Ditjen Perhubungan Laut, Ditjen Perhubungan Udara, Ketua Indonesia National Air Carriers Association (INACA), dan Ketua INSA.
Sekretaris Jenderal INACA Tengku Burhanuddin saat dikonfirmasi mengatakan belum mengetahui adanya pesawat bodong.
"Katanya kami diundang dalam rapat itu, tetapi tidak ada konfirmasi ke saya," katanya.
Ketika ditanya mengenai kebenaran kabar tersebut, Tengku menjelaskan impor pesawat ada dua yakni pesawat charter dan milik.
"Sekarang pesawat untuk apa yang diimpor tanpa dua dokumen itu? Kami akan menelusurinya," ujarnya.
Kepala Pusat Komunikasi Publik Kemenhub Bambang S. Ervan mengatakan pihaknya tidak akan mengandangkan (grounded) 43 pesawat bermasalah tersebut.
"Grounded dilakukan jika tak memenuhi syarat kelaikan. Kalau masalah dokumen impor itu bukan kewenangan kami," tegasnya.
Kapal bodong
Direktur Jenderal Bea dan Cukai Thomas Sugijata menegaskan tidak ada tunggakan pajak impor oleh sejumlah kapal laut dan pesawat niaga tersebut.
Menurut dia, sesuai dengan ketentuan kapal laut dan pesawat terbang yang aktivitasnya diperuntukan bagi kegiatan niaga, selain bebas bea masuk (0%), seharusnya juga bisa mendapatkan pembebasan pertambahan nilai (PPN) impor setelah mendapatkan surat keterangan bebas (SKB) dari DJP.
"Itu berdasarkan hasil rapat koordinasi antara DJBC, Ditjen Perhubungan Laut, Ditjen Perhubungan Udara, INSA, DJP di kantor Komwas Perpajakan, Rabu lalu," tuturnya.
Untuk kapal laut, jelas Thomas, bermula dari penyegelan sejumlah kapal yang berganti bendera oleh DJBC karena proses administrasi belum selesai, yakni tidak memiliki dokumen pemberitahuan impor barang (PIB).
Kemudian, setelah berkoordinasi dengan INSA, DJBC disodorkan daftar sekitar 1.000 kapal yang bernasib sama dan belum memenuhi kewajibannya.
"1.000 kapal yang dilaporkan INSA itu merupakan akumulasi (masalah administrasi) dalam beberapa tahun," ungkapnya.
Johnson menjelaskan Ditjen Bea dan Cukai sudah meminta INSA agar mendata kapal-kapal bodong tersebut untuk diserahkan kepada Ditjen Perhubungan Laut yang nantinya diberikan kepada Ditjen Bea dan Cukai.
Saat ini, katanya, pihaknya sudah meminta kepada perusahaan pelayaran nasional agar mendaftarkan kapalnya tersebut baik melalui DPC INSA maupun DPP INSA.