Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Jateng II Yoyok Satiotomo mengatakan, nilai dari faktur pajak fiktif atau tidak berdasarkan transaksi yang sebenarnya itu diterbitkan atau digunakan oleh 36 wajib pajak (WP), akumulasi dari tahun 2013 hingga 2015.
"Kami mengupayakan penanganan secara persuasif melalui klarifikasi, di mana pengusaha kena pajak yang terindikasi sebagai pengguna faktur pajak fiktif disarankan kooperatif membayar kewajibannya. Apabila pengusaha kena pajak tidak kooperatif, maka akan dilanjutkan melalui pemeriksaan bukti permulaan atau langsung dilakukan penyidikan," tutur Yoyok di Solo, Jawa Tengah, Senin (3/8).
Wilayah kerja Kanwil DJP Jateng II meliputi Kantor Pajak Pratama (KPP) Purwokerto, KPP Pratama Cilacap, KPP Pratama Magelang, KPP Pratama Klaten, KPP Pratama Solo, KPP Pratama Boyolali, KPP Pratama Karanganyar, KPP Pratama Sukoharjo, dan KPP Pratama Temanggung.
Dari hasil pemeriksaan, nilai faktur pajak fiktif terbesar ditemukan di wilayah kerja KPP Pratama Solo, yakni Rp 10,9 miliar dengan pengguna 21 wajib pajak, KPP Pratama Boyolali Rp 2,872 miliar dengan jumlah pengguna 2 wajib pajak, dan KPP Pratama Klaten Rp 1,874 miliar dengan jumlah pengguna 4 wajib pajak.
Menurut Yoyok, 36 wajib pajak tersebut diberi waktu satu minggu untuk melakukan klarifikasi dan membayar kewajibannya. Apabila tidak kooperatif, akan dilanjutkan ke proses pidana. Wajib pajak yang tidak memiliki itikad baik membayar kewajiban pajak juga akan dikenai penyanderaan orang (gijzeling).
"Kami sudah melakukan gijzeling terhadap seorang WP di Purwokerto," katanya. Penyanderaan akan dilakukan terhadap WP yang memiliki kewajiban pajak terutang dengan nilai paling tidak Rp 100 juta.
Penyidik Direktorat Intelijen dan Penyidikan Pajak Sidik mengatakan, wajib pajak menggunakan sejumlah modus dalam penerbitan atau penggunaan faktur pajak fiktif. Salah satunya adalah untuk mendapatkan restitusi atau pengembalian kelebihan pajak sehingga negara dirugikan.