Follow Us :

ARTICLES

Menimbang untung rugi pengenaan PPh Final 3% atas penghasilan dari usaha jasa konstruksi ditengah penantian terbitnya PP baru.

Ketua Gabungan Pelaksana Konstruksi Nasional (Gapensi) dalam Mukernas November 2006 menghimbau pemerintah agar ketentuan Pajak Penghasilan (PPh) diperlakukan sama bagi semua pengusaha jasa konstruksi yaitu dengan Tarif Final tanpa membedakan kualifikasi Kecil, Menengah maupun Besar. Pertimbangannya antara lain karena lebih memberikan kepastian akan beban pajak yang harus dipikul oleh para kontraktor. Harapan tersebut tampaknya akan menjadi kenyataan ketika pada satu kesempatan pada bulan Nopember tahun lalu Dirjen Pajak memberikan keterangan kepada wartawan bahwa atas penghasilan yang diperoleh oleh semua pengusaha jasa konstruksi akan diberlakukan ketentuan PPh Final dengan tarif 3% dan akan berlaku efektif 1 Januari 2008 (Medan Bisnis, 29 Nopember 2007). Pernyataan yang sama juga diberikan pejabat eselon II Ditjen Pajak yang dikutip oleh sejumlah harian terkemuka. Namun, hingga menjelang akhir Januari 2008 ini Peraturan Pemerintah (PP) terkait dengan pemberlakuan tersebut belum kunjung terbit.

 

Lambatnya penerbitan PP tersebut mengingatkan penulis pada saat pencabutan PP Nomor 73 Tahun 1996 yang mengatur pertama kali pengenaan PPh Final atas penghasilan dari usaha jasa konstruksi. Peraturan pengganti yaitu PP Nomor 140 Tahun 2000 dan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 559/KMK.04/2000 sama-sama terbit pada akhir Desember 2000 tetapi ketentuan pelaksanaannya yakni Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor. SE-13/PJ.42/2002 baru terbit tanggal 22 Juli 2002 (terlambat satu setengah tahun). Hal ini tentu saja membuat para pelaku usaha jasa konstruksi dan pemilik proyek diliputi ketidakpastian akan perlakuan perpajakan pada masa transisi, terutama bagi pengusaha jasa konstruksi dengan kualifikasi Menengah dan Besar di mana sejak tahun 2001 tidak lagi terkena PPh Final melainkan tarif umum. Akibat SE yang terlambat terbit tersebut, para pelaku usaha jasa konstruksi dalam prakteknya tidak mempunyai acuan sehingga perlakuan menjadi beragam. Belakangan setelah SE terbit , banyak pengusaha jasa konstruksi kemudian melakukan pembetulan SPT PPh Badan Tahun 2001 yang berakibat kurang bayar maupun lebih bayar. Moga-moga saja kali ini hal tersebut tidak terulang kembali.

 

PPh Bersifat Final vs Tidak Final

PPh Final adalah pajak yang dikenakan selama tahun berjalan di mana dengan pembayaran, pemotongan atau pemungutan PPh Final tersebut, maka Wajib Pajak dianggap telah melakukan pelunasan kewajiban pajaknya. Dasar pengenaan PPh Final atas penghasilan dari usaha jasa konstruksi adalah dari penghasilan bruto (nilai kontrak di luar PPN) tanpa memperhitungkan biaya proyek dan biaya-biaya lainnya yang timbul untuk memperoleh penghasilan tersebut, dengan tarif 2% untuk jasa pelaksanaan serta 4% untuk jasa perencanaan dan pengawasan konstruksi. Berhubung PPh Final dikenakan dari penghasilan bruto maka dalam keadaan proyek menderita kerugianpun kontraktor tetap dikenakan PPh.

 

Berbeda dengan PPh Final, pengenaan PPh yang bersifat Tidak Final dihitung dari penghasilan neto yaitu penghasilan bruto setelah dikurangi biaya-biaya untuk memperoleh, menagih dan memelihara penghasilan tersebut. Dalam keadaan rugi Wajib Pajak tidak membayar PPh bahkan kerugian tersebut dapat dikompensasikan hingga ke 5 (lima) tahun pajak berikutnya dan PPh pasal 23 yang telah dipotong oleh pemberi kerja pada saat penerimaan uang muka maupun termijn dapat diminta pengembaliannya (restitusi). PPh yang bersifat tidak final dikenakan dengan tarif umum yang berlapis (pasal 17 ayat 1 UU PPh).

 

PPh Final yang dikenakan dari penghasilan bruto tanpa memperhitungkan biaya-biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh penghasilan tersebut jelas tidak memenuhi azas keadilan yang menganut “ability to pay principle” di mana pembebanan pajak didasarkan kepada kemampuan masing-masing Wajib Pajak. The more you earn, the more you pay tax, demikianlah seharusnya yang adil. Kemampuan membayar pajak dicerminkan oleh penghasilan neto, bukan penghasilan bruto. Ketidakadilan ini semakin terasa ketika Wajib Pajak harus membayar PPh meskipun menderita kerugian dan kerugian tersebut tidak boleh dikompensasikan ke tahun-tahun pajak berikutnya. Selain itu penerapan PPh Final dengan tarif khusus di luar tarif umum secara langsung telah membeda-bedakan (diskriminasi) jenis atau sumber penghasilan untuk kepentingan pemajakan.

 

Ketentuan Yang Berlaku Saat Ini

Peraturan Pemerintah Nomor 140 Tahun 2000 (mencabut PP No.73 tahun 1996) yang berlaku sejak 1 Januari 2001 membedakan pengenaan PPh atas penghasilan dari usaha jasa konstruksi antara final dan tidak final. PPh Final berlaku terhadap Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap dalam hal:

 

  1. kualifikasi penerima penghasilan adalah sebagai usaha kecil berdasarkan sertifikat yang dikeluarkan oleh lembaga yang berwenang, dan
  2. mempunyai nilai pengadaan sampai dengan Rp.1.000.000.000 (satu milyar rupiah)

 

Kedua persyaratan diatas bersifat kumulatif. Jika salah satu syarat tidak terpenuhi, maka ketentuan PPh Final tidak berlaku, melainkan dikenakan tarif umum pasal 17 ayat (1) UU PPh yang progresif. Kontraktor dengan kualifikasi usaha Menengah dan Besar tidak terkena PPh Final melainkan tarif umum.

 

Analisis Ekonomis Antara PPh Final dan Non-Final

Berikut ini penulis memberikan analisis sederhana untuk melihat apakah suatu perusahaan jasa konstruksi diuntungkan atau dirugikan jika pemerintah merealisasi penerbitan PP yang mengenakan PPh Final 3% atas penghasilan dari usaha jasa konstruksi. Dengan menerapkan tarif tunggal sebesar 28% untuk Wajib Pajak Badan yang diusulkan dalam RUU Perpajakan yang masih dibahas di DPR saat ini sebagai illustrasi, maka penulis menyajikan persamaan untuk melihat pada titik mana suatu perusahaan jasa konstruksi tidak diuntungkan dan tidak dirugikan, baik apabila dikenakan dengan ketentuan PPh Final maupun Tidak Final.

 

PPh Final = 3% x nilai kontrak
PPh tidak Final = 28% x penghasilan neto
Penghasilan neto = Y% x nilai kontrak
Y = persentase Laba Sebelum PPh terhadap nilai kontrak

 

Persamaan :

PPh Final = PPh Tidak Final
3% x nilai kontrak = 28% x penghasilan neto
3% x nilai kontrak = 28% x (Y% x nilai kontrak)
3% = 28% x
Y = 0,1071 = 10,7142%

 

Dari persamaan tersebut diperoleh hasil Y sebesar 10,7142%.Jadi:

3% x nilai kontrak = 28% x 10,7142 % x nilai kontrak

 

Persentase (10,7142%) tersebut adalah batas perolehan Laba Usaha Sebelum PPh terhadap nilai kontrak yang akan mengindikasikan apakah beban PPh Final lebih besar atau lebih kecil dari beban PPh dengan tarif umum.

Contoh:

  Tidak Final Final
Pendapatan kontrak Rp. 1.000.000.000 Rp. 1.000.000.000
Beban kontrak Rp. 792.858.000  
Laba Kotor Rp. 207.142.000  
Beban Usaha Rp. 90.000.000  
Laba Usaha Rp. 117.142.000  
Penghasilan (beban) Lainnya (Rp. 10.000.000)  
Laba Sebelum PPh Rp. 107.142.000 (10,7142%)
Beban Pajak Rp. 30.000.000 Rp. 30.000.000
  (28% x Rp.107.142.000) (3% x Rp. 1 milyar)

 

Sebuah perusahaan jasa konstruksi akan diuntungkan dengan ketentuan PPh Final dibandingkan dengan tarif umum apabila perusahaan tersebut mampu memperoleh Laba Usaha Sebelum PPh diatas 10,7142 % dari nilai kontrak dan sebaliknya akan dirugikan jika memperoleh di bawah 10,7142% apalagi jika kontraktor tersebut mengalami kerugian. Untuk lebih jelasnya, berikut ini diberikan contoh perhitungan.

  Tidak Final Final
Pendapatan kontrak Rp. 1.000.000.000 Rp. 1.000.000.000
Beban kontrak Rp. 877.500.000  
Laba Kotor Rp. 122.500.000  
Beban Usaha Rp. 67.500.000  
Laba Usaha Rp. 55.000.000  
Penghasilan (beban) Lainnya (Rp. 5.000.000)  
Laba Sebelum PPh Rp. 50.000.000 (5%)
Beban Pajak Rp. 14.000.000 Rp. 30.000.000
  (28% x Rp. 50 juta) (3% x Rp. 1 milyar)

 

Catatan :

Pendapatan dan beban tersebut diasumsikan telah memenuhi ketentuan perpajakan (telah memperhitungkan koreksi fiskal).

 

Laba Sebelum PPh dalam contoh tersebut adalah Rp.50.000.000 yaitu 5% dari Pendapatan Kontrak, kurang dari titik equilibrium 10,7142% sehingga beban PPh dengan tarif umum (Rp.14.000.000) lebih kecil dari PPh Final (Rp.30.000.000). Selanjutnya jika perusahaan tersebut mampu memperoleh Laba Sebelum PPh lebih dari 10,7142% misalnya 15% dari nilai kontrak yaitu Rp.150.000.000, maka beban PPh dengan tarif umum akan menjadi Rp.42.000.000. Dalam hal ini jelas pengenaan dengan tarif final sebesar Rp.30.000.000 akan lebih menghemat pajak.

 

Dalam prakteknya rata-rata keuntungan yang diperoleh kontraktor ternyata berkisar 3% – 7% ( Sumber: Pemberitaan DPR ,10 Maret 2006 ) dan menurut Ketua Gapensi untuk kontrak yang nilainya mencapai puluhan miliar rupiah, keuntungan rata-ratanya hanya 4% ( Sumber: Harian Seputar Indonesia, 14 November 2006 ). Kisaran keuntungan dibawah titik equilibrium 10,7142%. Jika informasi tersebut benar, dapat disimpulkan bahwa usulan Ketua Gapensi untuk memperoleh perlakuan PPh Final bagi pengusaha jasa konstruksi dengan kualifikasi Menengah dan Besar agar sama perlakuannya dengan yang berkualifikasi Kecil tampak tidak menguntungkan dari sisi penghematan pajak.

 

Penulis berpendapat bahwa terhadap kontraktor yang berkualifikasi Kecil pun seharusnya lebih adil dengan menerapkan tarif umum. Hanya saja barangkali karena kelompok ini dianggap termasuk sebagai Wajib Pajak yang hard to tax dengan pertimbangan antara lain ketidakmampuan untuk menyelenggarakan pembukuan dan keterbatasan dalam pemahaman atas ketentuan perpajakan yang sangat kompleks, maka untuk kemudahan administrasi dan kepastian hukum pemerintah mengenakan pajak terhadap mereka dengan cara presumtive dan bersifat final.

 

Pengenaan pajak dengan cara presumtive secara praktis dapat dilakukan dengan berbagai alasan sebagai berikut(Victor Thuronyi,1996):

 

  1. Simplifikasi, khususnya terkait dengan beratnya beban administrasi dalam pemenuhan ketentuan perpajakan bagi kelompok Wajib Pajak yang peredaran usahanya sangat kecil, begitu pula dengan beban administrasi bagi Fiskus dalam melakukan pemeriksaan.
  2. Apabila dilakukan dengan tepat maka pemajakan dengan presumption akan lebih efektif dalam mengeliminir penghindaran dan penyelundupan pajak dibandingkan dengan pemajakan dengan berbasis pembukuan.
  3. Distribusi beban pajak lebih merata apabila cara penghitungan pajak yang umum tidak dapat dipercaya akibat masalah ketidakpatuhan Wajib Pajak maupun masalah korupsi yang melibatkan aparat perpajakan.
  4. Dapat dipertimbangkan sebagai alat insentif bagi Wajib Pajak yang memperoleh penghasilan lebih besar.
  5. Kombinasi berbagai pertimbangan seperti kepentingan penerimaan, pertimbangan keadilan dan politik.

 

Penerapan PPh Final berbasis bruto lebih condong kepada turnover tax dibandingkan dengan income tax. Dari sisi teknis dan administrasi, hal ini sangat memudahkan bagi Fiskus dalam menggenjot penerimaan pajak. Problem utama sistem ini adalah tidak mencerminkan keadilan. Penerapan PPh Final bagi sebagian besar pengusaha jasa konstruksi dengan tarif 3% final dapat menjadi sangat memberatkan dan sebaliknya sangat menguntungkan bagi kontraktor mampu memperoleh margin besar. Masalahnya, jika kelompok yang terakhir ini menduduki porsi terbesar, maka perlakuan ketentuan PPh Final ini lebih merupakan bentuk proteksi pemerintah terhadap kontraktor tertentu dibandingkan dengan keinginan untuk meningkatkan penerimaan pajak.

error: Content is protected