Follow Us :

TAX REGULATIONS

Undang-Undang
No. 36 TAHUN 2008

PERUBAHAN KEEMPAT ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK
INDONESIA
NOMOR 36 TAHUN 2008

TENTANG

PERUBAHAN KEEMPAT ATAS UNDANG-UNDANG
NOMOR 7 TAHUN 1983
TENTANG PAJAK PENGHASILAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

  1. bahwa dalam upaya mengamankan penerimaan negara yang
    semakin
    meningkat, mewujudkan sistem perpajakan yang netral, sederhana, stabil,
    lebih memberikan keadilan, dan lebih dapat menciptakan kepastian hukum
    serta transparansi perlu dilakukan perubahan terhadap Undang-Undang
    Nomor 7 Tahun 1983
    tentang Pajak Penghasilan sebagaimana
    telah beberapa
    kali diubah terakhir dengan Undang-Undang
    Nomor 17 Tahun 2000
    tentang
    Perubahan Ketiga atas Undang-Undang
    Nomor 7 Tahun 1983
    tentang Pajak
    Penghasilan;
  2. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam
    huruf
    a, perlu membentuk Undang-Undang tentang Perubahan Keempat atas
    Undang-Undang
    Nomor 7 Tahun 1983
    tentang Pajak Penghasilan;

Mengingat :

  1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, dan Pasal 23A Undang-Undang
    Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
  2. Undang-Undang
    Nomor 6 Tahun 1983
    tentang Ketentuan Umum dan Tata
    Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor
    49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana
    telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor
    28 Tahun
    2007
    tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 6
    Tahun 1983

    tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara
    Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara
    Republik Indonesia Nomor 4740);
  3. Undang-Undang
    Nomor 7 Tahun 1983
    tentang Pajak Penghasilan
    (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan
    Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah
    beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17
    Tahun 2000

    tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 7
    Tahun 1983
    tentang
    Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor
    127, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3985);
Dengan Persetujuan
Bersama

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT
REPUBLIK INDONESIA

dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN:

Menetapkan:

UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7
TAHUN 1983
TENTANG PAJAK PENGHASILAN.

Pasal I

Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1983
tentang Pajak
Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) yang telah
beberapa kali diubah dengan Undang-Undang:

  1. Nomor
    7 Tahun 1991
    (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1991
    Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3459);
  2. Nomor
    10 Tahun 1994
    (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
    1994 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3567);
  3. Nomor
    17 Tahun 2000
    (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
    2000 Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3985);

diubah sebagai berikut:

  1. Ketentuan Pasal 1 substansi tetap dan Penjelasannya diubah
    sehingga rumusan Penjelasan Pasal 1 adalah sebagaimana tercantum dalam
    Penjelasan Pasal demi Pasal Angka 1 Undang-Undang ini.
  2. Ketentuan Pasal 2 ayat (1) sampai dengan ayat (5) diubah
    dan di
    antara ayat (1) dan ayat (2) disisipkan 1 (satu) ayat, yakni ayat (1a)
    sehingga Pasal 2 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 2

(1) Yang
menjadi subjek pajak adalah:

a.

  1. orang pribadi;
  2. warisan yang belum terbagi sebagai satu
    kesatuan menggantikan yang berhak;
b. badan;
dan
c. bentuk
usaha tetap.
(1a)
Bentuk usaha tetap merupakan subjek pajak yang perlakuan perpajakannya
dipersamakan dengan subjek pajak badan.
(2) Subjek
pajak dibedakan menjadi subjek pajak dalam negeri dan subjek pajak luar
negeri.
(3) Subjek
pajak dalam negeri adalah:

  1. orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia,
    orang
    pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh
    tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau orang pribadi
    yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat
    untuk bertempat tinggal di Indonesia;
  2. badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di
    Indonesia, kecuali unit tertentu dari badan pemerintah yang memenuhi
    kriteria:
    1. pembentukannya berdasarkan ketentuan peraturan
      perundang-undangan;
    2. pembiayaannya bersumber dari Anggaran Pendapatan
      dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah;
    3. penerimaannya dimasukkan dalam anggaran Pemerintah
      Pusat atau Pemerintah Daerah; dan
    4. pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan
      fungsional negara; dan
  3. warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan
    menggantikan yang berhak.
(4) Subjek
pajak luar negeri adalah:

  1. orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di
    Indonesia, orang
    pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan
    puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan
    yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang
    menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di
    Indonesia; dan
  2. orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di
    Indonesia, orang
    pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan
    puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan
    yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang
    dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia tidak dari
    menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di
    Indonesia.
(5) Bentuk
usaha tetap adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi
yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di
Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam
jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan
tidak bertempat kedudukan di Indonesia untuk menjalankan usaha atau
melakukan kegiatan di Indonesia, yang dapat berupa:

  1. tempat kedudukan manajemen;
  2. cabang perusahaan;
  3. kantor perwakilan;
  4. gedung kantor;
  5. pabrik;
  6. bengkel;
  7. gudang;
  8. ruang untuk promosi dan penjualan;
  9. pertambangan dan penggalian sumber alam;
  10. wilayah kerja pertambangan minyak dan gas bumi;
  11. perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan,atau
    kehutanan;
  12. proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan;
  13. pemberian jasa dalam bentuk apa pun oleh pegawai atau
    orang
    lain, sepanjang dilakukan lebih dari 60 (enam puluh) hari dalam jangka
    waktu 12 (dua belas) bulan;
  14. orang atau badan yang bertindak selaku agen yang
    kedudukannya tidak bebas;
  15. agen atau pegawai dari perusahan asuransi yang tidak
    didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menerima
    premi asuransi atau menanggung risiko di Indonesia; dan
  16. komputer, agen elektronik, atau peralatan otomatis
    yang
    dimiliki, disewa, atau digunakan oleh penyelenggara transaksi
    elektronik untuk menjalankan kegiatan usaha melalui internet.
(6) Tempat
tinggal orang pribadi
atau tempat kedudukan badan ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak
menurut keadaan yang sebenarnya.
  1. Ketentuan Pasal 3 diubah dan ditambah 1 (satu) ayat, yakni
    ayat (2) sehingga Pasal 3 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 3

(1) Yang
tidak termasuk subjek pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 adalah:

  1. kantor perwakilan negara asing;
  2. pejabat-pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat
    atau
    pejabat-pejabat lain dari negara asing dan orang-orang yang
    diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat tinggal
    bersama-sama mereka dengan syarat bukan warga negara Indonesia dan di
    Indonesia tidak menerima atau memperoleh penghasilan di luar jabatan
    atau pekerjaannya tersebut serta negara bersangkutan memberikan
    perlakuan timbal balik;
  3. organisasi-organisasi internasional dengan syarat:
    1. Indonesia menjadi anggota organisasi tersebut;dan
    2. tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk
      memperoleh penghasilan
      dari Indonesia selain memberikan pinjaman kepada pemerintah yang
      dananya berasal dari iuran para anggota;
  4. pejabat-pejabat perwakilan organisasi internasional
    sebagaimana
    dimaksud pada huruf c, dengan syarat bukan warga negara Indonesia dan
    tidak menjalankan usaha, kegiatan, atau pekerjaan lain untuk
    memperoleh penghasilan dari Indonesia.
(2) Organisasi
internasional yang tidak termasuk subjek pajak sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf c ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan.
  1. Ketentuan Pasal 4 ayat (1) huruf d, huruf e, huruf h, huruf
    l,
    dan Penjelasan huruf k diubah dan ditambah 3 (tiga) huruf, yakni huruf
    q sampai dengan huruf s, ayat (2) diubah, ayat (3) huruf a, huruf d,
    huruf f, huruf i, dan huruf k diubah, huruf j dihapus, dan ditambah 3
    (tiga) huruf, yakni huruf l, huruf m, dan huruf n sehingga Pasal 4
    berbunyi sebagai berikut:
Pasal 4

(1) Yang
menjadi objek pajak adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan
kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang
berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai
untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang
bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun, termasuk:

  1. Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan
    atau jasa yang
    diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium,
    komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk
    lainnya, kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang ini;
  2. hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan
    penghargaan;
  3. laba usaha;
  4. keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan
    harta termasuk:
    1. keuntungan karena pengalihan harta kepada
      perseroan, persekutuan, dan
      badan lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal;
    2. keuntungan karena pengalihan harta kepada pemegang
      saham, sekutu, atau
      anggota yang diperoleh perseroan, persekutuan, dan badan lainnya;
    3. keuntungan karena likuidasi, penggabungan,
      peleburan, pemekaran,
      pemecahan, pengambilalihan usaha, atau reorganisasi dengan nama dan
      dalam bentuk apa pun;
    4. keuntungan karena pengalihan harta berupa
      hibah, bantuan, atau sumbangan, kecuali yang diberikan kepada keluarga
      sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat dan badan keagamaan,
      badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi, atau orang
      pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya
      diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang tidak
      ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di
      antara pihak-pihak yang bersangkutan; dan
    5. keuntungan karena penjualan atau pengalihan
      sebagian atau seluruh hak
      penambangan, tanda turut serta dalam pembiayaan, atau permodalan dalam
      perusahaan pertambangan;
  5. penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah
    dibebankan sebagai biaya dan pembayaran tambahan pengembalian pajak;
  6. bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena
    jaminan pengembalian utang;
  7. dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun,
    termasuk dividen dari
    perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil
    usaha koperasi;
  8. royalti atau imbalan atas penggunaan hak;
  9. sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan
    penggunaan harta;
  10. penerimaan atau perolehan pembayaran berkala;
  11. keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai
    dengan jumlah tertentu yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah;
  12. keuntungan selisih kurs mata uang asing;
  13. selisih lebih karena penilaian kembali aktiva;
  14. premi asuransi;
  15. iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari
    anggotanya yang
    terdiri dari Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas;
  16. tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan
    yang belum dikenakan pajak;
  17. penghasilan dari usaha berbasis syariah;
  18. imbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam
    Undang-Undang yang mengatur mengenai ketentuan umum dan tata cara
    perpajakan; dan
  19. surplus Bank Indonesia.
(2) Penghasilan
di bawah ini dapat dikenai pajak bersifat final:

  1. penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan
    lainnya, bunga obligasi
    dan surat utang negara, dan bunga simpanan yang dibayarkan oleh
    koperasi kepada anggota koperasi orang pribadi;
  2. penghasilan berupa hadiah undian;
  3. penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas
    lainnya, transaksi
    derivatif yang diperdagangkan di bursa, dan transaksi penjualan saham
    atau pengalihan penyertaan modal pada perusahaan pasangannya yang
    diterima oleh perusahaan modal ventura;
  4. penghasilan dari
    transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan, usaha jasa
    konstruksi, usaha real
    estate, dan persewaan tanah dan/atau bangunan;
    dan
  5. penghasilan tertentu lainnya,

yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.

(3) Yang
dikecualikan dari objek pajak adalah:

a.

  1. bantuan atau sumbangan, termasuk zakat yang
    diterima oleh badan amil
    zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh
    pemerintah dan yang diterima oleh penerima zakat yang berhak atau
    sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui
    di Indonesia, yang diterima oleh lembaga keagamaan yang dibentuk atau
    disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh penerima sumbangan yang
    berhak, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
    Pemerintah; dan
  2. harta hibahan yang diterima oleh keluarga
    sedarah
    dalam garis keturunan lurus satu derajat, badan keagamaan, badan
    pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi, atau orang pribadi
    yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur dengan
    atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan,

sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau
penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan;

b. warisan;
c. harta
termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b sebagai pengganti saham atau
sebagai pengganti penyertaan modal;
d. penggantian
atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang
diterima atau diperoleh dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan dari
Wajib Pajak atau Pemerintah, kecuali yang diberikan oleh bukan Wajib
Pajak, Wajib Pajak yang dikenakan pajak secara final atau Wajib Pajak
yang menggunakan norma penghitungan khusus (deemed profit)
sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 15;
e. pembayaran
dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan
dengan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi
dwiguna, dan asuransi bea siswa;
f. dividen
atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan
terbatas sebagai Wajib Pajak dalam negeri, koperasi, badan usaha milik
negara, atau badan usaha milik daerah, dari penyertaan modal pada badan
usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat:

  1. dividen berasal dari cadangan laba yang
    ditahan; dan
  2. bagi
    perseroan terbatas, badan usaha milik negara dan badan usaha milik
    daerah yang menerima dividen, kepemilikan saham pada badan yang
    memberikan dividen paling rendah 25% (dua puluh lima persen) dari
    jumlah modal yang disetor;
g. iuran
yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya
telah disahkan Menteri Keuangan, baik yang dibayar oleh pemberi kerja
maupun pegawai;
h. penghasilan
dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiun sebagaimana
dimaksud pada huruf g, dalam bidang-bidang tertentu yang ditetapkan
dengan Keputusan Menteri Keuangan;
i. bagian
laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan
komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan,
perkumpulan, firma, dan kongsi, termasuk pemegang unit penyertaan
kontrak investasi kolektif;
j. dihapus;
k. penghasilan
yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura
berupa bagian laba dari badan pasangan usaha yang didirikan dan
menjalankan usaha atau kegiatan di Indonesia, dengan syarat badan
pasangan usaha tersebut:

  1. merupakan perusahaan mikro, kecil, menengah,
    atau yang menjalankan
    kegiatan dalam sektor-sektor usaha yang diatur dengan atau berdasarkan
    Peraturan Menteri Keuangan; dan
  2. sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek di
    Indonesia;
l. beasiswa
yang memenuhi persyaratan tertentu yang ketentuannya diatur
lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan;
m. sisa
lebih yang diterima atau diperoleh badan atau lembaga nirlaba
yang bergerak dalam bidang pendidikan dan/atau bidang penelitian dan
pengembangan, yang telah terdaftar pada instansi yang membidanginya,
yang ditanamkan kembali dalam bentuk sarana dan prasarana kegiatan
pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan, dalam jangka waktu
paling lama 4 (empat) tahun sejak diperolehnya sisa lebih tersebut,
yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan
Menteri Keuangan; dan
n. bantuan
atau santunan yang dibayarkan oleh Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial kepada Wajib Pajak tertentu, yang ketentuannya diatur
lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
  1. Ketentuan Pasal 6 ayat (1) huruf a, huruf e, huruf g, dan
    huruf h
    diubah dan ditambah 5 (lima) huruf, yakni huruf i sampai dengan huruf
    m, serta ayat (2) diubah sehingga Pasal 6 berbunyi sebagai berikut :
Pasal 6

(1) Besarnya
Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan
bentuk usaha tetap, ditentukan berdasarkan penghasilan bruto dikurangi
biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, termasuk:

  1. biaya yang secara langsung atau tidak langsung
    berkaitan dengan kegiatan usaha, antara lain:
    1. biaya pembelian bahan;
    2. biaya berkenaan dengan pekerjaan atau jasa termasuk
      upah, gaji,
      honorarium, bonus, gratifikasi, dan tunjangan yang diberikan dalam
      bentuk uang;
    3. bunga, sewa, dan royalti;
    4. biaya perjalanan;
    5. biaya pengolahan limbah;
    6. premi asuransi;
    7. biaya promosi dan penjualan yang diatur dengan atau
      berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan;
    8. biaya administrasi; dan
    9. pajak kecuali Pajak Penghasilan;
  2. penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh harta
    berwujud dan
    amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak dan atas biaya lain
    yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun sebagaimana
    dimaksud dalam Pasal 11 dan Pasal 11A;
  3. iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya telah
    disahkan oleh Menteri Keuangan;
  4. kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang
    dimiliki dan
    digunakan dalam perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan,
    menagih, dan memelihara penghasilan;
  5. kerugian selisih kurs mata uang asing;
  6. biaya penelitian dan pengembangan perusahaan yang
    dilakukan di Indonesia;
  7. biaya beasiswa, magang, dan pelatihan;
  8. piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dengan
    syarat:

    1. telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba
      rugi komersial;
    2. Wajib Pajak harus menyerahkan daftar piutang yang
      tidak dapat ditagih kepada Direktorat Jenderal Pajak; dan
    3. telah diserahkan perkara penagihannya kepada
      Pengadilan Negeri atau
      instansi pemerintah yang menangani piutang negara; atau adanya
      perjanjian tertulis mengenai penghapusan piutang/pembebasan utang
      antara kreditur dan debitur yang bersangkutan; atau telah
      dipublikasikan dalam penerbitan umum atau khusus; atau adanya pengakuan
      dari debitur bahwa utangnya telah dihapuskan untuk jumlah utang
      tertentu;
    4. syarat sebagaimana dimaksud pada angka 3 tidak
      berlaku
      untuk penghapusan piutang tak tertagih debitur kecil sebagaimana
      dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf k;

    yang pelaksanaannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan
    Peraturan Menteri Keuangan;

  9. sumbangan dalam rangka penanggulangan bencana
    nasional yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah;
  10. sumbangan dalam rangka penelitian dan pengembangan
    yang dilakukan di
    Indonesia yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah;
  11. biaya pembangunan infrastruktur sosial yang
    ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah;
  12. sumbangan fasilitas pendidikan yang ketentuannya
    diatur dengan Peraturan Pemerintah; dan
  13. sumbangan dalam rangka pembinaan olahraga yang
    ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah.
(2) Apabila
penghasilan bruto setelah pengurangan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) didapat kerugian, kerugian tersebut dikompensasikan dengan
penghasilan mulai tahun pajak berikutnya berturut-turut sampai dengan 5
(lima) tahun.
(3) Kepada
orang pribadi sebagai Wajib Pajak dalam negeri diberikan
pengurangan berupa Penghasilan Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7.
  1. Ketentuan Pasal 7 diubah sehingga Pasal 7 berbunyi sebagai
    berikut:

Pasal 7

(1) Penghasilan
Tidak Kena Pajak per tahun diberikan paling sedikit sebesar:

  1. Rp15.840.000,00 (lima belas juta delapan ratus empat
    puluh ribu rupiah) untuk diri Wajib Pajak orang pribadi;
  2. Rp1.320.000,00 (satu juta tiga ratus dua puluh ribu
    rupiah) tambahan untuk Wajib Pajak yang kawin;
  3. Rp15.840.000,00 (lima belas juta delapan ratus empat
    puluh ribu rupiah)
    tambahan untuk seorang isteri yang penghasilannya digabung dengan
    penghasilan suami sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1); dan
  4. Rp1.320.000,00 (satu juta tiga ratus dua puluh ribu
    rupiah) tambahan
    untuk setiap anggota keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis
    keturunan lurus serta anak angkat, yang menjadi tanggungan sepenuhnya,
    paling banyak 3 (tiga) orang untuk setiap keluarga.
(2) Penerapan
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan oleh
keadaan pada awal tahun pajak atau awal bagian tahun pajak.
(3) Penyesuaian
besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan setelah
dikonsultasikan dengan Dewan Perwakilan Rakyat.
  1. Ketentuan Pasal 8 ayat (2) sampai dengan ayat (4) dan
    Penjelasan ayat (1) diubah sehingga Pasal 8 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 8

(1) Seluruh
penghasilan atau kerugian bagi wanita yang telah kawin pada
awal tahun pajak atau pada awal bagian tahun pajak, begitu pula
kerugiannya yang berasal dari tahun-tahun sebelumnya yang belum
dikompensasikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) dianggap
sebagai penghasilan atau kerugian suaminya, kecuali penghasilan
tersebut semata-mata diterima atau diperoleh dari 1 (satu) pemberi
kerja yang telah dipotong pajak berdasarkan ketentuan Pasal 21 dan
pekerjaan tersebut tidak ada hubungannya dengan usaha atau pekerjaan
bebas suami atau anggota keluarga lainnya.
(2) Penghasilan
suami-isteri dikenai pajak secara terpisah apabila:

  1. suami-isteri telah hidup berpisah berdasarkan putusan
    hakim;
  2. dikehendaki secara tertulis oleh suami-isteri
    berdasarkan perjanjian pemisahan harta dan penghasilan; atau
  3. dikehendaki oleh isteri yang memilih untuk
    menjalankan hak dan kewajiban perpajakannya sendiri.
(3) Penghasilan
neto suami-isteri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf
b dan huruf c dikenai pajak berdasarkan penggabungan penghasilan neto
suami isteri dan besarnya pajak yang harus dilunasi oleh masing-masing
suami-isteri dihitung sesuai dengan perbandingan penghasilan neto
mereka.
(4) Penghasilan
anak yang belum dewasa digabung dengan penghasilan orang tuanya.
  1. Ketentuan Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf e, dan huruf g
    serta
    Penjelasan huruf f diubah sehingga Pasal 9 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 9

(1) Untuk
menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam
negeri dan bentuk usaha tetap tidak boleh dikurangkan:

  1. pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apapun
    seperti dividen,
    termasuk dividen yang dibayarkan oleh perusahaan asuransi kepada
    pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi;
  2. biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk
    kepentingan pribadi pemegang saham, sekutu, atau anggota;
  3. pembentukan atau pemupukan dana cadangan, kecuali:
    1. cadangan piutang tak tertagih untuk usaha bank dan
      badan usaha lain
      yang menyalurkan kredit, sewa guna usaha dengan hak opsi, perusahaan
      pembiayaan konsumen, dan perusahaan anjak piutang;
    2. cadangan untuk usaha asuransi termasuk cadangan
      bantuan sosial yang dibentuk oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial;
    3. cadangan penjaminan untuk Lembaga Penjamin Simpanan;
    4. cadangan biaya reklamasi untuk usaha pertambangan;
    5. cadangan biaya penanaman kembali untuk usaha
      kehutanan; dan
    6. cadangan biaya penutupan dan pemeliharaan tempat
      pembuangan limbah industri untuk usaha pengolahan limbah
      industri,
yang ketentuan dan
syarat-syaratnya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan;
  1. premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan,
    asuransi jiwa, asuransi
    dwiguna, dan asuransi bea siswa, yang dibayar oleh Wajib Pajak orang
    pribadi, kecuali jika dibayar oleh pemberi kerja dan premi tersebut
    dihitung sebagai penghasilan bagi Wajib Pajak yang bersangkutan;
  2. penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan
    atau jasa yang
    diberikan dalam bentuk natura dan kenikmatan, kecuali penyediaan
    makanan dan minuman bagi seluruh pegawai serta penggantian atau imbalan
    dalam bentuk natura dan kenikmatan di daerah tertentu dan yang
    berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan yang diatur dengan atau
    berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan;
  3. jumlah yang melebihi
    kewajaran yang dibayarkan kepada pemegang saham atau kepada pihak yang
    mempunyai hubungan istimewa sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan
    yang dilakukan;
  4. harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan,
    dan warisan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan
    huruf b, kecuali sumbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1)
    huruf i sampai dengan huruf m serta zakat yang diterima oleh badan amil
    zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh
    pemerintah atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk
    agama yang diakui di Indonesia, yang diterima oleh lembaga keagamaan
    yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah, yang ketentuannya diatur
    dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah;
  5. Pajak Penghasilan;
  6. biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk
    kepentingan pribadi Wajib Pajak atau orang yang menjadi tanggungannya;
  7. gaji yang dibayarkan kepada anggota persekutuan,
    firma, atau perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham;
  8. sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan
    serta sanksi
    pidana berupa denda yang berkenaan dengan pelaksanaan
    perundang-undangan
    di bidang perpajakan.
(2) Pengeluaran
untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang
mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun tidak dibolehkan untuk
dibebankan sekaligus, melainkan dibebankan melalui penyusutan atau
amortisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 atau Pasal 11A.
  1. Ketentuan Pasal 11 ayat (7) dan ayat (11) serta Penjelasan
    ayat
    (1) sampai dengan ayat (4) diubah sehingga Pasal 11 berbunyi sebagai
    berikut:
Pasal 11

(1) Penyusutan
atas pengeluaran untuk pembelian, pendirian, penambahan,
perbaikan, atau perubahan harta berwujud, kecuali tanah yang berstatus
hak milik, hak guna bangunan, hak guna usaha, dan hak pakai, yang
dimiliki dan digunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara
penghasilan yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun
dilakukan dalam bagian-bagian yang sama besar selama masa manfaat yang
telah ditentukan bagi harta tersebut.
(2) Penyusutan
atas pengeluaran harta berwujud sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) selain bangunan, dapat juga dilakukan dalam bagian-bagian yang
menurun selama masa manfaat, yang dihitung dengan cara menerapkan tarif
penyusutan atas nilai sisa buku, dan pada akhir masa manfaat nilai sisa
buku disusutkan sekaligus, dengan syarat dilakukan secara taat asas.
(3) Penyusutan
dimulai pada bulan dilakukannya pengeluaran, kecuali untuk
harta yang masih dalam proses pengerjaan, penyusutannya dimulai pada
bulan selesainya pengerjaan harta tersebut.
(4) Dengan
persetujuan Direktur Jenderal Pajak, Wajib Pajak diperkenankan
melakukan penyusutan mulai pada bulan harta tersebut digunakan untuk
mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan atau pada bulan harta
yang bersangkutan mulai menghasilkan.
(5) Apabila
Wajib Pajak melakukan penilaian kembali aktiva berdasarkan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, maka dasar penyusutan
atas harta adalah nilai setelah dilakukan penilaian kembali aktiva
tersebut.
(6) Untuk
menghitung penyusutan, masa manfaat dan tarif penyusutan harta berwujud
ditetapkan sebagai berikut:

Kelompok Harta
Berwujud
Masa
Manfaat
Tarif Penyusutan sebagaimana
dimaksud dalam
Ayat
(1)
Ayat
(2)
I.
Bukan bangunan
Kelompok 1
Kelompok 2
Kelompok 3
Kelompok 4
4 tahun
8 tahun
16 tahun
20 tahun

25%
12,5%
6,25%
5%

50%
25%
12,5%
10%
II.
Bangunan
Permanen
Tidak Permanen
20 tahun
10 tahun

5%
10%
(7) Ketentuan
lebih lanjut mengenai penyusutan atas harta berwujud yang
dimiliki dan digunakan dalam bidang usaha tertentu diatur dengan
Peraturan Menteri Keuangan.
(8) Apabila
terjadi pengalihan atau penarikan harta sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (1) huruf d atau penarikan harta karena sebab
lainnya, maka jumlah nilai sisa buku harta tersebut dibebankan sebagai
kerugian dan jumlah harga jual atau penggantian asuransinya yang
diterima atau diperoleh dibukukan sebagai penghasilan pada tahun
terjadinya penarikan harta tersebut.
(9) Apabila
hasil penggantian asuransi yang akan diterima jumlahnya
baru dapat diketahui dengan pasti di masa kemudian, maka dengan
persetujuan Direktur Jenderal Pajak jumlah sebesar kerugian sebagaimana
dimaksud pada ayat (8) dibukukan sebagai beban masa kemudian tersebut.
(10) Apabila
terjadi pengalihan harta yang memenuhi syarat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b, yang berupa harta
berwujud, maka jumlah nilai sisa buku harta tersebut tidak boleh
dibebankan sebagai kerugian bagi pihak yang mengalihkan.
(11) Ketentuan
lebih lanjut mengenai kelompok harta berwujud sesuai dengan
masa manfaat sebagaimana dimaksud pada ayat (6) diatur dengan Peraturan
Menteri Keuangan.
  1. Ketentuan Pasal 11A ayat (1) dan Penjelasan ayat (5) diubah
    serta
    di antara ayat (1) dan ayat (2) disisipkan 1 (satu) ayat, yakni ayat
    (1a) sehingga Pasal 11A berbunyi sebagai berikut:
Pasal 11A

(1) Amortisasi
atas pengeluaran untuk memperoleh harta tak berwujud dan
pengeluaran lainnya termasuk biaya perpanjangan hak guna bangunan, hak
guna usaha, hak pakai, dan muhibah (goodwill)
yang mempunyai masa
manfaat lebih dari 1 (satu) tahun yang dipergunakan untuk mendapatkan,
menagih, dan memelihara penghasilan dilakukan dalam bagian-bagian yang
sama besar atau dalam bagian-bagian yang menurun selama masa manfaat,
yang dihitung dengan cara menerapkan tarif amortisasi atas pengeluaran
tersebut atau atas nilai sisa buku dan pada akhir masa manfaat
diamortisasi sekaligus dengan syarat dilakukan secara taat asas.
(1a) Amortisasi
dimulai pada bulan dilakukannya pengeluaran, kecuali untuk
bidang usaha tertentu yang diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri
Keuangan.
(2) Untuk
menghitung amortisasi, masa manfaat dan tarif amortisasi ditetapkan
sebagai berikut:

Kelompok Harta
Tak Berwujud
Masa Manfaat Tarif Amortisasi berdasarkan
metode
Garis
Lurus
Saldo
Menurun
Kelompok
1
Kelompok 2
Kelompok 3
Kelompok 4
4
tahun
8 tahun
16 tahun
20 tahun
25%
12,5%
6,25%
5%
50%
25%
12,5%
10%
(3) Pengeluaran
untuk biaya pendirian dan biaya perluasan modal suatu
perusahaan dibebankan pada tahun terjadinya pengeluaran atau
diamortisasi sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2).
(4) Amortisasi
atas pengeluaran untuk memperoleh hak dan pengeluaran lain
yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun di bidang
penambangan minyak dan gas bumi dilakukan dengan menggunakan metode
satuan produksi.
(5) Amortisasi
atas pengeluaran untuk memperoleh hak penambangan selain
yang dimaksud pada ayat (4), hak pengusahaan hutan, dan hak pengusahaan
sumber alam serta hasil alam lainnya yang mempunyai masa manfaat lebih
dari 1 (satu) tahun, dilakukan dengan menggunakan metode satuan
produksi setinggi-tingginya 20% (dua puluh persen) setahun.
(6) Pengeluaran
yang dilakukan sebelum operasi komersial yang mempunyai
masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun, dikapitalisasi dan kemudian
diamortisasi sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2).
(7) Apabila
terjadi pengalihan harta tak berwujud atau hak-hak sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), ayat (4), dan ayat (5), maka nilai sisa buku
harta atau hak-hak tersebut dibebankan sebagai kerugian dan jumlah yang
diterima sebagai penggantian merupakan penghasilan pada tahun
terjadinya pengalihan tersebut.
(8) Apabila
terjadi pengalihan harta yang memenuhi syarat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b, yang berupa harta
tak berwujud, maka jumlah nilai sisa buku harta tersebut tidak boleh
dibebankan sebagai kerugian bagi pihak yang mengalihkan.
  1. Ketentuan Pasal 14 ayat (2), ayat (3), ayat (5), dan ayat
    (7)
    serta Penjelasan ayat (4) diubah sehingga Pasal 14 berbunyi sebagai
    berikut:

Pasal 14

(1) Norma
Penghitungan Penghasilan Neto untuk menentukan penghasilan neto,
dibuat dan disempurnakan terus-menerus serta diterbitkan oleh Direktur
Jenderal Pajak.
(2) Wajib
Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan
bebas yang peredaran brutonya dalam 1 (satu) tahun kurang dari
Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) boleh
menghitung penghasilan neto dengan menggunakan Norma Penghitungan
Penghasilan Neto sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dengan syarat
memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu 3
(tiga) bulan pertama dari tahun pajak yang bersangkutan.
(3) Wajib
Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang menghitung
penghasilan netonya dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan
Neto wajib menyelenggarakan pencatatan sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang yang mengatur mengenai ketentuan umum dan tata cara
perpajakan.
(4) Wajib
Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang tidak
memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak untuk menghitung
penghasilan neto dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan
Neto, dianggap memilih menyelenggarakan pembukuan.
(5) Wajib
Pajak yang wajib menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan,
termasuk Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4),
yang ternyata tidak atau tidak sepenuhnya menyelenggarakan pencatatan
atau pembukuan atau tidak memperlihatkan pencatatan atau bukti-bukti
pendukungnya maka penghasilan netonya dihitung berdasarkan Norma
Penghitungan Penghasilan Neto dan peredaran brutonya dihitung dengan
cara lain yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan.
(6) Dihapus.
(7) Besarnya
peredaran bruto sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diubah dengan
Peraturan Menteri Keuangan.
  1. Ketentuan Pasal 16 ayat (1) sampai dengan ayat (3) dan
    Penjelasan ayat (4) diubah sehingga Pasal 16 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 16

(1) Penghasilan
Kena Pajak sebagai dasar penerapan tarif bagi Wajib Pajak
dalam negeri dalam suatu tahun pajak dihitung dengan cara mengurangkan
dari penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dengan
pengurangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2),
Pasal 7 ayat (1), serta Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf e, dan
huruf g.
(2) Penghasilan
Kena Pajak bagi Wajib Pajak orang pribadi dan badan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dihitung dengan menggunakan norma
penghitungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dan untuk Wajib Pajak
orang pribadi dikurangi dengan Penghasilan Tidak Kena Pajak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1).
(3) Penghasilan
Kena Pajak bagi Wajib Pajak luar negeri yang menjalankan
usaha atau melakukan kegiatan melalui suatu bentuk usaha tetap di
Indonesia dalam suatu tahun pajak dihitung dengan cara mengurangkan
dari penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dengan
memerhatikan ketentuan dalam Pasal 4 ayat (1) dengan pengurangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 6 ayat
(1) dan ayat (2), serta Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf e, dan
huruf g.
(4) Penghasilan
Kena Pajak bagi Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri yang
terutang pajak dalam suatu bagian tahun pajak sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2A ayat (6) dihitung berdasarkan penghasilan neto yang
diterima atau diperoleh dalam bagian tahun pajak yang disetahunkan.
  1. Ketentuan Pasal 17 ayat (1) sampai dengan ayat (3) dan
    Penjelasan
    ayat (5) sampai dengan ayat (7) diubah serta di antara ayat (2) dan
    ayat (3) disisipkan 4 (empat) ayat, yakni ayat (2a) sampai dengan ayat
    (2d) sehingga Pasal 17 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 17

(1) Tarif
pajak yang diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak bagi:

  1. Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri adalah sebagai
    berikut:

    Lapisan
    Penghasilan Kena Pajak
    Tarif
    Pajak
    sampai
    dengan Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah)
    5%
    (lima persen)
    di
    atas Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) sampai dengan
    Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah)
    15%
    (lima belas persen)
    di
    atas Rp 250.000.000,00 (dua ratus
    lima puluh juta rupiah) sampai dengan Rp500.000.000,00 (lima ratus juta
    rupiah)
    25%
    (dua puluh lima
    persen)
    di
    atas Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)
    30%
    (tiga puluh persen)

  2. Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap
    adalah sebesar 28% (dua puluh delapan persen).
(2) Tarif
tertinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat
diturunkan menjadi paling rendah 25% (dua puluh lima persen) yang
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
(2a) Tarif
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b menjadi 25% (dua puluh lima
persen) yang mulai berlaku sejak tahun pajak 2010.
(2b) Wajib
Pajak badan dalam negeri yang berbentuk perseroan terbuka yang
paling sedikit 40% (empat puluh persen) dari jumlah keseluruhan saham
yang disetor diperdagangkan di bursa efek di Indonesia dan memenuhi
persyaratan tertentu lainnya dapat memperoleh tarif sebesar 5% (lima
persen) lebih rendah daripada tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b dan ayat (2a) yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
Pemerintah.
(2c) Tarif
yang dikenakan atas penghasilan berupa dividen yang
dibagikan kepada Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri adalah paling
tinggi sebesar 10% (sepuluh persen) dan bersifat final.
(2d) Ketentuan
lebih lanjut mengenai besarnya tarif sebagaimana dimaksud pada ayat
(2c) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
(3) Besarnya
lapisan Penghasilan Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf a dapat diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan.
(4) Untuk
keperluan penerapan tarif pajak sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), jumlah Penghasilan Kena Pajak dibulatkan ke bawah dalam
ribuan rupiah penuh.
(5) Besarnya
pajak yang terutang bagi Wajib Pajak orang pribadi dalam
negeri yang terutang pajak dalam bagian tahun pajak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 16 ayat (4), dihitung sebanyak jumlah hari dalam
bagian tahun pajak tersebut dibagi 360 (tiga ratus enam puluh)
dikalikan dengan pajak yang terutang untuk 1 (satu) tahun pajak.
(6) Untuk
keperluan penghitungan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (5), tiap
bulan yang penuh dihitung 30 (tiga puluh) hari.
(7) Dengan
Peraturan Pemerintah dapat ditetapkan tarif pajak tersendiri
atas penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2), sepanjang
tidak melebihi tarif pajak tertinggi sebagaimana tersebut pada ayat (1).
  1. Ketentuan Pasal 18 ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan
    Penjelasan
    ayat (1) diubah serta di antara ayat (3a) dan ayat (4) disisipkan 4
    (empat) ayat, yakni ayat (3b) sampai dengan ayat (3e) sehingga Pasal 18
    berbunyi sebagai berikut :

Pasal 18

(1) Menteri
Keuangan berwenang mengeluarkan keputusan mengenai besarnya
perbandingan antara utang dan modal perusahaan untuk keperluan
penghitungan pajak berdasarkan Undang-undang ini.
(2) Menteri
Keuangan berwenang menetapkan saat diperolehnya dividen oleh
Wajib Pajak dalam negeri atas penyertaan modal pada badan usaha di luar
negeri selain badan usaha yang menjual sahamnya di bursa efek, dengan
ketentuan sebagai berikut:

  1. besarnya penyertaan modal Wajib Pajak
    dalam negeri tersebut paling rendah 50% (lima puluh persen) dari jumlah
    saham yang disetor; atau
  2. secara bersama-sama dengan Wajib Pajak
    dalam negeri lainnya memiliki penyertaan modal paling rendah 50% (lima
    puluh persen) dari jumlah saham yang disetor.
(3) Direktur
Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan kembali besarnya
penghasilan dan pengurangan serta menentukan utang sebagai modal untuk
menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak yang
mempunyai hubungan istimewa dengan Wajib Pajak lainnya sesuai dengan
kewajaran dan kelaziman usaha yang tidak dipengaruhi oleh hubungan
istimewa dengan menggunakan metode perbandingan harga antara pihak yang
independen, metode harga penjualan kembali, metode biaya-plus, atau
metode lainnya.
(3a) Direktur
Jenderal Pajak berwenang melakukan perjanjian dengan
Wajib Pajak dan bekerja sama dengan pihak otoritas pajak negara lain
untuk menentukan harga transaksi antar pihak-pihak yang mempunyai
hubungan istimewa sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), yang berlaku
selama suatu periode tertentu dan mengawasi pelaksanaannya serta
melakukan renegosiasi setelah periode tertentu tersebut berakhir.
(3b) Wajib
Pajak yang melakukan pembelian saham atau aktiva perusahaan
melalui pihak lain atau badan yang dibentuk untuk maksud demikian
(special purpose company),
dapat ditetapkan sebagai pihak yang
sebenarnya melakukan pembelian tersebut sepanjang Wajib Pajak yang
bersangkutan mempunyai hubungan istimewa dengan pihak lain atau badan
tersebut dan terdapat ketidakwajaran penetapan harga.
(3c) Penjualan
atau pengalihan saham perusahaan antara (conduit company
atau special purpose
company) yang didirikan atau bertempat kedudukan
di negara yang memberikan perlindungan pajak (tax haven country)
yang
mempunyai hubungan istimewa dengan badan yang didirikan atau bertempat
kedudukan di Indonesia atau bentuk usaha tetap di Indonesia dapat
ditetapkan sebagai penjualan atau pengalihan saham badan yang didirikan
atau bertempat kedudukan di Indonesia atau bentuk usaha tetap di
Indonesia.
(3d) Besarnya
penghasilan yang diperoleh Wajib Pajak orang pribadi
dalam negeri dari pemberi kerja yang memiliki hubungan istimewa dengan
perusahaan lain yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di
Indonesia dapat ditentukan kembali, dalam hal pemberi kerja mengalihkan
seluruh atau sebagian penghasilan Wajib Pajak orang pribadi dalam
negeri tersebut ke dalam bentuk biaya atau pengeluaran lainnya yang
dibayarkan kepada perusahaan yang tidak didirikan dan tidak bertempat
kedudukan di Indonesia tersebut.
(3e) Pelaksanaan
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3b), ayat (3c),
dan ayat (3d) diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan
Menteri Keuangan.
(4) Hubungan
istimewa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sampai dengan ayat
(3d), Pasal 9 ayat (1) huruf f, dan Pasal 10 ayat (1) dianggap ada
apabila:

  1. Wajib Pajak mempunyai penyertaan modal langsung atau
    tidak langsung paling rendah 25% (dua puluh lima persen) pada Wajib
    Pajak lain; hubungan antara Wajib Pajak dengan penyertaan paling rendah
    25% (dua puluh lima persen) pada dua Wajib Pajak atau lebih; atau
    hubungan di antara dua Wajib Pajak atau lebih yang disebut terakhir;
  2. Wajib Pajak menguasai Wajib Pajak lainnya atau dua
    atau lebih Wajib
    Pajak berada di bawah penguasaan yang sama baik langsung maupun tidak
    langsung; atau
  3. terdapat hubungan keluarga baik sedarah maupun
    semenda dalam garis keturunan lurus dan/atau ke samping satu derajat.
(5) Dihapus.
  1. Ketentuan Pasal 19 ayat (2) diubah sehingga Pasal 19
    berbunyi sebagai berikut:

Pasal 19

(1) Menteri
Keuangan berwenang menetapkan peraturan tentang penilaian
kembali aktiva dan faktor penyesuaian apabila terjadi ketidaksesuaian
antara unsur-unsur biaya dengan penghasilan karena perkembangan harga.
(2) Atas
selisih penilaian kembali aktiva sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diterapkan tarif pajak tersendiri dengan Peraturan Menteri Keuangan
sepanjang tidak melebihi tarif pajak tertinggi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 17 ayat (1).

  1. Ketentuan Pasal 21 ayat (1) sampai dengan ayat (5), dan
    ayat (8)
    diubah, serta di antara ayat (5) dan ayat (6) disisipkan 1 (satu) ayat,
    yakni ayat (5a) sehingga Pasal 21 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 21

(1) Pemotongan
pajak atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa,
atau kegiatan dengan nama dan dalam bentuk apa pun yang diterima atau
diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri wajib dilakukan oleh:

  1. pemberi kerja yang membayar gaji, upah, honorarium,
    tunjangan, dan
    pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang
    dilakukan oleh pegawai atau bukan pegawai;
  2. bendahara pemerintah
    yang membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain
    sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan;
  3. dana pensiun atau badan lain yang membayarkan uang
    pensiun dan pembayaran lain dengan nama apa pun dalam rangka pensiun;
  4. badan yang membayar honorarium atau pembayaran lain
    sebagai imbalan
    sehubungan dengan jasa termasuk jasa tenaga ahli yang melakukan
    pekerjaan bebas; dan
  5. penyelenggara kegiatan yang melakukan pembayaran
    sehubungan dengan pelaksanaan suatu kegiatan.
(2) Tidak
termasuk sebagai pemberi kerja yang wajib melakukan pemotongan
pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a adalah kantor
perwakilan negara asing dan organisasi-organisasi internasional
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3.
(3) Penghasilan
pegawai tetap atau pensiunan yang dipotong pajak untuk
setiap bulan adalah jumlah penghasilan bruto setelah dikurangi dengan
biaya jabatan atau biaya pensiun yang besarnya ditetapkan dengan
Peraturan Menteri Keuangan, iuran pensiun, dan Penghasilan Tidak Kena
Pajak.
(4) Penghasilan
pegawai harian, mingguan, serta pegawai tidak tetap lainnya
yang dipotong pajak adalah jumlah penghasilan bruto setelah dikurangi
bagian penghasilan yang tidak dikenakan pemotongan yang besarnya
ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan.
(5) Tarif
pemotongan atas penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
adalah tarif pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf
a, kecuali ditetapkan lain dengan Peraturan Pemerintah.
(5a) Besarnya
tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (5) yang diterapkan
terhadap Wajib Pajak yang tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak lebih
tinggi 20% (dua puluh persen) daripada tarif yang diterapkan terhadap
Wajib Pajak yang dapat menunjukkan Nomor Pokok Wajib Pajak.
(6) Dihapus.
(7) Dihapus.
(8) Ketentuan
mengenai petunjuk pelaksanaan pemotongan pajak atas
penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan diatur
dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
  1. Ketentuan Pasal 22 ayat (1) dan ayat (2) diubah, serta
    ditambah 1
    (satu) ayat, yakni ayat (3) sehingga Pasal 22 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 22

(1) Menteri
Keuangan dapat menetapkan:

  1. bendahara pemerintah untuk memungut pajak sehubungan
    dengan pembayaran atas penyerahan barang;
  2. badan-badan tertentu untuk memungut pajak dari Wajib
    Pajak yang
    melakukan kegiatan di bidang impor atau kegiatan usaha di bidang lain;
    dan
  3. Wajib Pajak badan tertentu untuk memungut pajak dari
    pembeli atas penjualan barang yang tergolong sangat mewah.
(2) Ketentuan
mengenai dasar pemungutan, kriteria, sifat, dan besarnya
pungutan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan atau
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
(3) Besarnya
pungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang diterapkan
terhadap Wajib Pajak yang tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak lebih
tinggi 100% (seratus persen) daripada tarif yang diterapkan terhadap
Wajib Pajak yang dapat menunjukkan Nomor Pokok Wajib Pajak.
  1. Ketentuan Pasal 23 ayat (1), ayat (2), dan ayat (4) huruf c
    diubah, ayat (4) huruf d dan huruf g dihapus dan ditambah 1 (satu)
    huruf, yakni huruf h, serta di antara ayat (1) dan ayat (2) disisipkan
    1 (satu) ayat, yakni ayat (1a) sehingga Pasal 23 berbunyi sebagai
    berikut:

Pasal 23

(1) Atas
penghasilan tersebut di bawah ini dengan nama dan dalam bentuk apa
pun yang dibayarkan, disediakan untuk dibayarkan, atau telah jatuh
tempo pembayarannya oleh badan pemerintah, subjek pajak badan dalam
negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan
perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak dalam negeri atau
bentuk usaha tetap, dipotong pajak oleh pihak yang wajib membayarkan:

  1. sebesar 15% (lima belas persen) dari jumlah bruto
    atas:
    1. dividen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1)
      huruf g;
    2. bunga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1)
      huruf f;
    3. royalti; dan
    4. hadiah, penghargaan, bonus, dan sejenisnya selain
      yang telah dipotong
      Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf e;
  2. dihapus;
  3. sebesar 2% (dua persen) dari jumlah bruto atas:
    1. sewa dan
      penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, kecuali sewa dan
      penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta yang telah dikenai
      Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2); dan
    2. imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa
      manajemen, jasa konstruksi,
      jasa konsultan, dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong Pajak
      Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21.
(1a) Dalam
hal Wajib Pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak memiliki Nomor Pokok Wajib
Pajak, besarnya tarif pemotongan adalah lebih tinggi 100% (seratus
persen) daripada tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(2) Ketentuan
lebih lanjut mengenai jenis jasa lain sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf c angka 2 diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
Menteri Keuangan.
(3) Orang
pribadi sebagai Wajib Pajak dalam negeri dapat ditunjuk oleh
Direktur Jenderal Pajak untuk memotong pajak sebagaimana dimaksud pada
ayat (1).
(4) Pemotongan
pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilakukan atas:

  1. penghasilan yang dibayar atau terutang kepada bank;
  2. sewa yang dibayarkan atau terutang sehubungan dengan
    sewa guna usaha dengan hak opsi;
  3. dividen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3)
    huruf f dan dividen
    yang diterima oleh orang pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17
    ayat (2c);
  4. dihapus;
  5. bagian laba sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat
    (3) huruf i;
  6. sisa hasil usaha koperasi yang dibayarkan oleh
    koperasi kepada anggotanya;
  7. dihapus; dan
  8. penghasilan yang dibayar atau terutang kepada badan
    usaha atas jasa
    keuangan yang berfungsi sebagai penyalur pinjaman dan/atau pembiayaan
    yang diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.
  1. Ketentuan Pasal 24 ayat (3) dan ayat (6) diubah sehingga
    Pasal 24 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 24

(1) Pajak
yang dibayar atau terutang di luar negeri atas penghasilan dari
luar negeri yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dalam negeri boleh
dikreditkan terhadap pajak yang terutang berdasarkan Undang-undang ini
dalam tahun pajak yang sama.
(2) Besarnya
kredit pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebesar
pajak penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri tetapi
tidak boleh melebihi penghitungan pajak yang terutang berdasarkan
Undang-undang ini.
(3) Dalam
menghitung batas jumlah pajak yang boleh dikreditkan, sumber
penghasilan ditentukan sebagai berikut:

  1. penghasilan dari saham dan sekuritas lainnya serta
    keuntungan dari
    pengalihan saham dan sekuritas lainnya adalah negara tempat badan yang
    menerbitkan saham atau sekuritas tersebut didirikan atau bertempat
    kedudukan;
  2. penghasilan berupa bunga, royalti, dan sewa
    sehubungan
    dengan
    penggunaan harta gerak adalah negara tempat pihak yang membayar atau
    dibebani bunga, royalti, atau sewa tersebut bertempat kedudukan atau
    berada;
  3. penghasilan berupa sewa sehubungan dengan penggunaan
    harta tak gerak adalah negara tempat harta tersebut terletak;
  4. penghasilan berupa imbalan sehubungan dengan jasa,
    pekerjaan, dan
    kegiatan adalah negara tempat pihak yang membayar atau dibebani imbalan
    tersebut bertempat kedudukan atau berada;
  5. penghasilan bentuk usaha tetap adalah negara tempat
    bentuk usaha tetap tersebut menjalankan usaha atau melakukan kegiatan;
  6. penghasilan dari pengalihan sebagian atau seluruh hak
    penambangan atau
    tanda turut serta dalam pembiayaan atau permodalan dalam perusahaan
    pertambangan adalah negara tempat lokasi penambangan berada;
  7. keuntungan karena pengalihan harta tetap adalah
    negara tempat harta tetap berada; dan
  8. keuntungan karena pengalihan harta yang menjadi
    bagian dari suatu
    bentuk usaha tetap adalah negara tempat bentuk usaha tetap berada.
(4) Penentuan
sumber penghasilan selain penghasilan sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) menggunakan prinsip yang sama dengan prinsip yang
dimaksud pada ayat tersebut.
(5) Apabila
pajak atas penghasilan dari luar negeri yang dikreditkan
ternyata kemudian dikurangkan atau dikembalikan, maka pajak yang
terutang menurut Undang-undang ini harus ditambah dengan jumlah
tersebut pada tahun pengurangan atau pengembalian itu dilakukan.
(6) Ketentuan
mengenai pelaksanaan pengkreditan pajak atas penghasilan dari
luar negeri diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
  1. Ketentuan Pasal 25 ayat (1), ayat (2), ayat (4), ayat (6),
    ayat
    (7), dan ayat (8) diubah, ayat (9) dihapus, serta di antara ayat (8)
    dan ayat (9) disisipkan 1 (satu) ayat, yakni ayat (8a) sehingga Pasal
    25 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 25

(1) Besarnya
angsuran pajak dalam tahun pajak berjalan yang harus dibayar
sendiri oleh Wajib Pajak untuk setiap bulan adalah sebesar Pajak
Penghasilan yang terutang menurut Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan tahun pajak yang lalu dikurangi dengan:

  1. Pajak
    Penghasilan yang dipotong sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dan Pasal
    23 serta Pajak Penghasilan yang dipungut sebagaimana dimaksud dalam
    Pasal 22; dan
  2. Pajak Penghasilan yang dibayar atau terutang di luar
    negeri yang boleh
    dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24,

dibagi 12 (dua belas)
atau banyaknya bulan dalam bagian tahun pajak.

(2) Besarnya
angsuran pajak yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak
untuk bulan-bulan sebelum Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan
disampaikan sebelum batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan
Pajak Penghasilan sama dengan besarnya angsuran pajak untuk bulan
terakhir tahun pajak yang lalu.
(3) Dihapus.
(4) Apabila
dalam tahun pajak berjalan diterbitkan surat ketetapan pajak
untuk tahun pajak yang lalu, besarnya angsuran pajak dihitung kembali
berdasarkan surat ketetapan pajak tersebut dan berlaku mulai bulan
berikutnya setelah bulan penerbitan surat ketetapan pajak.
(5) Dihapus.
(6) Direktur
Jenderal Pajak berwenang untuk menetapkan penghitungan
besarnya angsuran pajak dalam tahun pajak berjalan dalam hal-hal
tertentu, sebagai berikut:

  1. Wajib Pajak berhak atas kompensasi kerugian;
  2. Wajib Pajak memperoleh penghasilan tidak teratur;
  3. Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun
    yang lalu disampaikan setelah lewat batas waktu yang ditentukan;
  4. Wajib Pajak diberikan perpanjangan jangka waktu
    penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan;
  5. Wajib Pajak membetulkan sendiri Surat Pemberitahuan
    Tahunan Pajak
    Penghasilan yang mengakibatkan angsuran bulanan lebih besar dari
    angsuran bulanan sebelum pembetulan; dan
  6. terjadi perubahan keadaan usaha atau kegiatan Wajib
    Pajak.
(7) Menteri
Keuangan menetapkan penghitungan besarnya angsuran pajak bagi:

  1. Wajib Pajak baru;
  2. bank, badan usaha milik negara, badan usaha milik
    daerah,
    Wajib Pajak
    masuk bursa, dan Wajib Pajak lainnya yang berdasarkan ketentuan
    peraturan perundang-undangan harus membuat laporan keuangan berkala; dan
  3. Wajib Pajak orang pribadi pengusaha tertentu dengan
    tarif paling tinggi
    0,75% (nol koma tujuh puluh lima persen) dari peredaran bruto.
(8) Wajib
Pajak orang pribadi dalam negeri yang tidak memiliki Nomor Pokok
Wajib Pajak dan telah berusia 21 (dua puluh satu) tahun yang bertolak
ke luar negeri wajib membayar pajak yang ketentuannya diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
(8a) Ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (8) berlaku sampai dengan tanggal 31
Desember 2010.
(9) Dihapus.
  1. Ketentuan Pasal 26 ayat (1) diubah dan ditambah 2 (dua)
    huruf,
    yakni huruf g dan huruf h, ayat (2) sampai dengan ayat (5) diubah, di
    antara ayat (1) dan ayat (2) disisipkan 1 (satu) ayat, yakni ayat (1a),
    serta di antara ayat (2) dan ayat (3) disisipkan 1 (satu) ayat, yakni
    ayat (2a) sehingga Pasal 26 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 26

(1) Atas
penghasilan tersebut di bawah ini, dengan nama dan dalam bentuk
apa pun, yang dibayarkan, disediakan untuk dibayarkan, atau telah jatuh
tempo pembayarannya oleh badan pemerintah, subjek pajak dalam
negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan
perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak luar negeri selain
bentuk usaha tetap di Indonesia dipotong pajak sebesar 20% (dua puluh
persen) dari jumlah bruto oleh pihak yang wajib membayarkan:

  1. dividen;
  2. bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan
    sehubungan dengan jaminan pengembalian utang;
  3. royalti, sewa, dan penghasilan lain sehubungan dengan
    penggunaan harta;
  4. imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan
    kegiatan;
  5. hadiah dan penghargaan;
  6. pensiun dan pembayaran berkala lainnya;
  7. premi swap dan transaksi lindung nilai lainnya;
    dan/atau
  8. keuntungan karena pembebasan utang.
(1a) Negara
domisili dari Wajib Pajak luar negeri selain yang menjalankan
usaha atau melakukan kegiatan usaha melalui bentuk usaha tetap di
Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah negara tempat
tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak luar negeri yang sebenarnya
menerima manfaat dari penghasilan tersebut (beneficial owner).
(2) Atas
penghasilan dari penjualan atau pengalihan harta di Indonesia,
kecuali yang diatur dalam Pasal 4 ayat (2), yang diterima atau
diperoleh Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap di
Indonesia, dan premi asuransi yang dibayarkan kepada perusahaan
asuransi luar negeri dipotong pajak 20% (dua puluh persen) dari
perkiraan penghasilan neto.
(2a) Atas
penghasilan dari penjualan atau pengalihan saham sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 18 ayat (3c) dipotong pajak sebesar 20% (dua puluh
persen) dari perkiraan penghasilan neto.
(3) Pelaksanaan
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat
(2a) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
(4) Penghasilan
Kena Pajak sesudah dikurangi pajak dari suatu bentuk usaha
tetap di Indonesia dikenai pajak sebesar 20% (dua puluh persen),
kecuali penghasilan tersebut ditanamkan kembali di Indonesia, yang
ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan
Menteri Keuangan.
(5) Pemotongan
pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (2a), dan ayat
(4) bersifat final, kecuali:

  1. pemotongan atas penghasilan sebagaimana dimaksud
    dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b dan huruf c; dan
  2. pemotongan atas penghasilan yang diterima atau
    diperoleh orang pribadi
    atau badan luar negeri yang berubah status menjadi Wajib Pajak dalam
    negeri atau bentuk usaha tetap.
  1. Ketentuan Pasal 29 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 29

Apabila pajak yang
terutang untuk suatu
tahun pajak ternyata lebih besar daripada kredit pajak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1), kekurangan pembayaran pajak yang
terutang harus dilunasi sebelum Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan disampaikan.

  1. Ketentuan Pasal 31A diubah sehingga berbunyi sebagai
    berikut:
Pasal 31A

(1) Kepada
Wajib Pajak yang melakukan penanaman modal di bidang-bidang
usaha tertentu dan/atau di daerah-daerah tertentu yang mendapat
prioritas tinggi dalam skala nasional dapat diberikan fasilitas
perpajakan dalam bentuk:

  1. pengurangan penghasilan neto paling tinggi 30% (tiga
    puluh persen) dari jumlah penanaman yang dilakukan;
  2. penyusutan dan amortisasi yang dipercepat;
  3. kompensasi kerugian yang lebih lama, tetapi tidak
    lebih dari 10 (sepuluh) tahun; dan
  4. pengenaan Pajak Penghasilan atas dividen sebagaimana
    dimaksud dalam
    Pasal 26 sebesar 10% (sepuluh persen), kecuali apabila tarif menurut
    perjanjian perpajakan yang berlaku menetapkan lebih rendah.
(2) Ketentuan
lebih lanjut mengenai bidang-bidang usaha tertentu dan/atau
daerah-daerah tertentu yang mendapat prioritas tinggi dalam skala
nasional serta pemberian fasilitas perpajakan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
  1. Pasal 31B dihapus.
  2. Ketentuan Pasal 31C ayat (2) dihapus sehingga Pasal 31C
    berbunyi sebagai berikut:

Pasal 31C

(1) Penerimaan
negara dari Pajak Penghasilan orang pribadi dalam negeri dan
Pajak Penghasilan Pasal 21 yang dipotong oleh pemberi kerja dibagi
dengan imbangan 80% untuk Pemerintah Pusat dan 20% untuk Pemerintah
Daerah tempat Wajib Pajak terdaftar.
(2) Dihapus.
  1. Di antara Pasal 31C dan Pasal 32 disisipkan 2 (dua) pasal,
    yakni Pasal 31D dan Pasal 31E sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 31D

Ketentuan mengenai
perpajakan bagi
bidang usaha pertambangan minyak dan gas bumi, bidang usaha panas bumi,
bidang usaha pertambangan umum termasuk batubara, dan bidang usaha
berbasis syariah diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.

Pasal 31E

(1) Wajib
Pajak badan dalam negeri dengan peredaran bruto sampai dengan
Rp 50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) mendapat fasilitas
berupa pengurangan tarif sebesar 50% (lima puluh persen) dari tarif
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf b dan ayat (2a) yang
dikenakan atas Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto
sampai dengan Rp 4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta
rupiah).
(2) Besarnya
bagian peredaran bruto sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dinaikkan dengan Peraturan Menteri Keuangan.
  1. Ketentuan Pasal 32 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 32

Tata cara pengenaan pajak
dan
sanksi-sanksi berkenaan dengan pelaksanaan Undang-Undang ini dilakukan
sesuai dengan Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 1983
tentang Ketentuan Umum
dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 28 Tahun 2007
tentang Perubahan
Ketiga atas Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 1983
tentang Ketentuan Umum dan
Tata Cara Perpajakan.
  1. Di antara Pasal 32A dan Pasal 33 disisipkan 1 (satu) pasal,
    yakni Pasal 32B sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 32B

Ketentuan mengenai
pengenaan pajak atas
bunga atau diskonto Obligasi Negara yang diperdagangkan di negara lain
berdasarkan perjanjian perlakuan timbal balik dengan negara lain
tersebut diatur dengan Peraturan Pemerintah.

  1. Ketentuan Pasal 35 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 35

Hal-hal yang belum cukup
diatur dalam rangka pelaksanaan Undang-Undang ini diatur lebih lanjut
dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal II

Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku:

  1. Wajib Pajak yang tahun bukunya berakhir setelah tanggal 30
    Juni
    2001 wajib menghitung pajaknya berdasarkan ketentuan sebagaimana diatur
    dalam Undang-Undang
    Nomor 7 Tahun 1983
    tentang Pajak Penghasilan
    sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang
    Nomor 17 Tahun 2000
    tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 7
    Tahun 1983
    tentang Pajak Penghasilan.
  2. Wajib Pajak yang tahun bukunya berakhir setelah tanggal 30
    Juni
    2009 wajib menghitung pajaknya berdasarkan ketentuan sebagaimana diatur
    dalam Undang-Undang
    Nomor 7 Tahun 1983
    sebagaimana telah beberapa kali
    diubah terakhir dengan Undang-Undang ini.

Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2009.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.

Disahkan di Jakarta
pada tanggal 23 September 2008
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd

DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 23 September 2008
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,

ttd

ANDI MATTALATTA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK
INDONESIA TAHUN 2008 NOMOR 133

PENJELASAN
ATAS

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 36 TAHUN 2008

TENTANG

PERUBAHAN KEEMPAT ATAS UNDANG-UNDANG
NOMOR 7 TAHUN 1983
TENTANG PAJAK PENGHASILAN

  1. UMUM

1. Peraturan
perundang-undangan perpajakan yang mengatur tentang
Pajak Penghasilan yang berlaku sejak 1 Januari 1984 adalah
Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1983
tentang Pajak Penghasilan sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17
Tahun
2000
tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1983

tentang Pajak Penghasilan. Undang-Undang Pajak Penghasilan ini
dilandasi falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 yang di dalamnya tertuang ketentuan yang
menjunjung tinggi hak warga negara dan menempatkan kewajiban perpajakan
sebagai kewajiban kenegaraan dan merupakan sarana peran serta rakyat
dalam pembiayaan negara dan pembangunan nasional.
2. Dengan
pesatnya perkembangan sosial ekonomi sebagai hasil
pembangunan nasional dan globalisasi serta reformasi di berbagai bidang
dipandang perlu untuk dilakukan perubahan Undang-Undang tersebut guna
meningkatkan fungsi dan peranannya dalam rangka mendukung kebijakan
pembangunan nasional khususnya di bidang ekonomi.
3. Perubahan
Undang-Undang Pajak Penghasilan dimaksud tetap
berpegang pada prinsip-prinsip perpajakan yang dianut secara universal,
yaitu keadilan, kemudahan, dan efisiensi administrasi, serta
peningkatan dan optimalisasi penerimaan negara dengan tetap
mempertahankan sistem self
assessment. Oleh karena itu, arah dan tujuan
penyempurnaan Undang-Undang Pajak Penghasilan ini adalah sebagai
berikut:

  1. lebih meningkatkan keadilan pengenaan pajak;
  2. lebih memberikan kemudahan kepada Wajib Pajak;
  3. lebih memberikan kesederhanaan administrasi
    perpajakan;
  4. lebih memberikan kepastian hukum, konsistensi, dan
    transparansi; dan
  5. lebih menunjang kebijakan pemerintah dalam rangka
    meningkatkan daya
    saing dalam menarik investasi langsung di Indonesia baik penanaman
    modal asing maupun penanaman modal dalam negeri di bidang-bidang usaha
    tertentu dan daerah-daerah tertentu yang mendapat prioritas.
4. Dengan
berlandaskan pada arah dan tujuan penyempurnaan tersebut perlu
dilakukan perubahan Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1983
tentang Pajak
Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2000
tentang Perubahan Ketiga atas
Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1983
tentang Pajak Penghasilan meliputi
pokok-pokok sebagai berikut:

  1. dalam rangka meningkatkan keadilan
    pengenaan pajak maka dilakukan perluasan subjek dan objek pajak dalam
    hal-hal tertentu dan pembatasan pengecualian atau pembebasan pajak
    dalam hal lainnya;
  2. dalam rangka meningkatkan daya saing dengan
    negera-negara lain, mengedepankan prinsip keadilan dan netralitas dalam
    penetapan tarif, dan memberikan dorongan bagi berkembangnya usaha-usaha
    kecil, struktur tarif pajak yang berlaku juga perlu diubah dan
    disederhanakan yang meliputi penurunan tarif secara bertahap,
    terencana, pembedaan tarif, serta penyederhanaan lapisan yang
    dimaksudkan untuk memberikan beban pajak yang lebih proporsional bagi
    tiap-tiap golongan Wajib Pajak tersebut; dan
  3. untuk lebih
    memberikan kemudahan kepada Wajib Pajak, sistem self assessment
    tetap
    dipertahankan dan diperbaiki. Perbaikan terutama dilakukan pada sistem
    pelaporan dan tata cara pembayaran pajak dalam tahun berjalan agar
    tidak mengganggu likuiditas Wajib Pajak dan lebih sesuai dengan
    perkiraan pajak yang akan terutang. Bagi Wajib Pajak orang pribadi yang
    menjalankan usaha atau pekerjaan bebas, kemudahan yang diberikan berupa
    peningkatan batas peredaran bruto untuk dapat menggunakan norma
    penghitungan penghasilan neto. Peningkatan batas peredaran bruto untuk
    menggunakan norma ini sejalan dengan realitas dunia usaha saat ini yang
    makin berkembang tanpa melupakan usaha dan pembinaan Wajib Pajak agar
    dapat melaksanakan pembukuan dengan tertib dan taat asas.
  1. PASAL DEMI PASAL
Pasal I

Angka 1

Pasal 1

Undang-Undang ini mengatur
pengenaan
Pajak Penghasilan terhadap subjek pajak berkenaan dengan penghasilan
yang diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak. Subjek pajak
tersebut dikenai pajak apabila menerima atau memperoleh penghasilan.
Subjek pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan, dalam
Undang-Undang ini disebut Wajib Pajak. Wajib Pajak dikenai pajak atas
penghasilan yang diterima atau diperolehnya selama satu tahun pajak
atau dapat pula dikenai pajak untuk penghasilan dalam bagian tahun
pajak apabila kewajiban pajak subjektifnya dimulai atau berakhir dalam
tahun pajak.

Yang dimaksud dengan “tahun pajak” dalam
Undang-Undang ini
adalah tahun kalender, tetapi Wajib Pajak dapat menggunakan tahun buku
yang tidak sama dengan tahun kalender, sepanjang tahun buku tersebut
meliputi jangka waktu 12 (dua belas) bulan.

Angka 2

Pasal 2

Ayat (1)

Huruf a

Orang pribadi sebagai subjek pajak dapat bertempat tinggal atau berada
di Indonesia ataupun di luar Indonesia. Warisan yang belum terbagi
sebagai satu kesatuan merupakan subjek pajak pengganti, menggantikan
mereka yang berhak yaitu ahli waris. Penunjukan warisan yang belum
terbagi sebagai subjek pajak pengganti dimaksudkan agar pengenaan pajak
atas penghasilan yang berasal dari warisan tersebut tetap dapat
dilaksanakan.

Huruf b

Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan
baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang
meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya,
badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan
dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun,
persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial
politik, atau organisasi lainnya, lembaga, dan bentuk badan lainnya
termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.

Badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah merupakan subjek
pajak tanpa memperhatikan nama dan bentuknya sehingga setiap unit
tertentu dari badan Pemerintah, misalnya lembaga, badan, dan sebagainya
yang dimiliki oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan untuk memperoleh penghasilan
merupakan subjek pajak.

Dalam pengertian perkumpulan termasuk pula asosiasi, persatuan,
perhimpunan, atau ikatan dari pihak-pihak yang mempunyai kepentingan
yang sama.

Huruf c

Cukup jelas.

Ayat (1a)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Subjek pajak dibedakan menjadi subjek pajak dalam negeri dan subjek
pajak luar negeri. Subjek pajak orang pribadi dalam negeri menjadi
Wajib Pajak apabila telah menerima atau memperoleh penghasilan yang
besarnya melebihi Penghasilan Tidak Kena Pajak. Subjek pajak badan
dalam negeri menjadi Wajib Pajak sejak saat didirikan, atau bertempat
kedudukan di Indonesia. Subjek pajak luar negeri baik orang pribadi
maupun badan sekaligus menjadi Wajib Pajak karena menerima dan/atau
memperoleh penghasilan yang bersumber dari Indonesia atau menerima
dan/atau memperoleh penghasilan yang bersumber dari Indonesia melalui
bentuk usaha tetap di Indonesia. Dengan perkataan lain, Wajib Pajak
adalah orang pribadi atau badan yang telah memenuhi kewajiban subjektif
dan objektif. Sehubungan dengan pemilikan Nomor Pokok Wajib Pajak
(NPWP), Wajib Pajak orang pribadi yang menerima penghasilan di bawah
Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) tidak wajib mendaftarkan diri untuk
memperoleh NPWP.

Perbedaan yang penting antara Wajib Pajak dalam negeri dan Wajib Pajak
luar negeri terletak dalam pemenuhan kewajiban pajaknya, antara lain:

  1. Wajib Pajak dalam negeri dikenai pajak atas penghasilan
    baik yang
    diterima atau diperoleh dari Indonesia maupun dari luar Indonesia,
    sedangkan Wajib Pajak luar negeri dikenai pajak hanya atas penghasilan
    yang berasal dari sumber penghasilan di Indonesia;
  2. Wajib Pajak dalam negeri dikenai pajak berdasarkan
    penghasilan
    neto dengan tarif umum, sedangkan Wajib Pajak luar negeri dikenai pajak
    berdasarkan penghasilan bruto dengan tarif pajak sepadan; dan
  3. Wajib Pajak dalam negeri wajib menyampaikan Surat
    Pemberitahuan
    Tahunan Pajak Penghasilan sebagai sarana untuk menetapkan pajak yang
    terutang dalam suatu tahun pajak, sedangkan Wajib Pajak luar negeri
    tidak wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan
    karena kewajiban pajaknya dipenuhi melalui pemotongan pajak yang
    bersifat final.
Bagi Wajib Pajak luar negeri yang menjalankan usaha atau melakukan
kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia, pemenuhan kewajiban
perpajakannya dipersamakan dengan pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib
Pajak badan dalam negeri
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini dan Undang-Undang yang
mengatur mengenai ketentuan umum dan tata cara perpajakan.

Ayat (3)

Huruf a

Pada prinsipnya orang pribadi yang menjadi subjek pajak dalam negeri
adalah orang pribadi yang bertempat tinggal atau berada di Indonesia.
Termasuk dalam pengertian orang pribadi yang bertempat tinggal di
Indonesia adalah mereka yang mempunyai niat untuk bertempat tinggal di
Indonesia.
Apakah seseorang mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia
ditimbang menurut keadaan.

Keberadaan orang pribadi di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan
puluh tiga) hari tidaklah harus berturut-turut, tetapi ditentukan oleh
jumlah hari orang tersebut berada di Indonesia dalam jangka waktu 12
(dua belas) bulan sejak kedatangannya di Indonesia.

Huruf b

Cukup jelas.

Huruf c

Warisan yang belum terbagi yang ditinggalkan oleh orang pribadi subjek
pajak dalam negeri dianggap sebagai subjek pajak dalam negeri dalam
pengertian Undang-Undang ini mengikuti status pewaris. Adapun untuk
pelaksanaan pemenuhan kewajiban perpajakannya, warisan tersebut
menggantikan kewajiban ahli waris yang berhak. Apabila warisan tersebut
telah dibagi, kewajiban perpajakannya beralih kepada ahli waris.

Warisan yang belum terbagi yang ditinggalkan oleh orang pribadi sebagai
subjek pajak luar negeri yang tidak menjalankan usaha atau melakukan
kegiatan melalui suatu bentuk usaha tetap di Indonesia, tidak dianggap
sebagai subjek pajak pengganti karena pengenaan pajak atas penghasilan
yang diterima atau diperoleh orang pribadi dimaksud melekat pada
objeknya.

Ayat (4)

Huruf a dan huruf b

Subjek pajak luar negeri adalah orang pribadi atau badan yang bertempat
tinggal atau bertempat kedudukan di luar Indonesia yang dapat menerima
atau memperoleh penghasilan dari Indonesia, baik melalui maupun tanpa
melalui bentuk usaha tetap. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal
di Indonesia, tetapi berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus
delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan maka
orang tersebut adalah subjek pajak luar negeri.

Apabila penghasilan diterima atau diperoleh melalui bentuk usaha tetap
maka terhadap orang pribadi atau badan tersebut dikenai pajak melalui
bentuk usaha tetap. Orang pribadi atau badan tersebut, statusnya tetap
sebagai subjek pajak luar negeri. Dengan demikian, bentuk usaha tetap
tersebut menggantikan orang pribadi atau badan sebagai subjek pajak
luar negeri dalam memenuhi kewajiban perpajakannya di Indonesia. Dalam
hal penghasilan tersebut diterima atau diperoleh tanpa melalui bentuk
usaha tetap maka pengenaan pajaknya dilakukan langsung kepada subjek
pajak luar negeri tersebut.

Ayat (5)

Suatu bentuk usaha tetap mengandung pengertian adanya suatu tempat
usaha (place of business)
yaitu fasilitas yang dapat berupa tanah dan
gedung termasuk juga mesin-mesin, peralatan, gudang dan komputer atau
agen elektronik atau peralatan otomatis (automated equipment)
yang
dimiliki, disewa, atau digunakan oleh penyelenggara transaksi
elektronik untuk menjalankan aktivitas usaha melalui internet.

Tempat usaha tersebut bersifat permanen dan digunakan untuk menjalankan
usaha atau melakukan kegiatan dari orang pribadi yang tidak bertempat
tinggal atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan
di Indonesia.

Pengertian bentuk usaha tetap mencakup pula orang pribadi atau badan
selaku agen yang kedudukannya tidak bebas yang bertindak untuk dan atas
nama orang pribadi atau badan yang tidak bertempat tinggal atau tidak
bertempat kedudukan di Indonesia. Orang pribadi yang tidak bertempat
tinggal atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan
di Indonesia tidak dapat dianggap mempunyai bentuk usaha tetap di
Indonesia apabila orang pribadi atau badan dalam menjalankan usaha atau
melakukan kegiatan di Indonesia menggunakan agen, broker atau perantara
yang mempunyai kedudukan bebas, asalkan agen atau perantara tersebut
dalam kenyataannya bertindak sepenuhnya dalam rangka menjalankan
perusahaannya sendiri.

Perusahaan asuransi yang didirikan dan bertempat kedudukan di luar
Indonesia dianggap mempunyai bentuk usaha tetap di Indonesia apabila
perusahaan asuransi tersebut menerima pembayaran premi asuransi atau
menanggung risiko di Indonesia melalui pegawai, perwakilan atau agennya
di Indonesia. Menanggung risiko di Indonesia tidak berarti bahwa
peristiwa yang mengakibatkan risiko tersebut terjadi di Indonesia. Yang
perlu diperhatikan adalah bahwa pihak tertanggung bertempat tinggal,
berada, atau bertempat kedudukan di Indonesia.

Ayat (6)

Penentuan tempat tinggal orang pribadi atau tempat kedudukan badan
penting untuk menetapkan Kantor Pelayanan Pajak mana yang mempunyai
yurisdiksi pemajakan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh
orang pribadi atau badan tersebut.

Pada dasarnya tempat tinggal orang pribadi atau tempat kedudukan badan
ditentukan menurut keadaan yang sebenarnya. Dengan demikian penentuan
tempat tinggal atau tempat kedudukan tidak hanya didasarkan pada
pertimbangan yang bersifat formal, tetapi lebih didasarkan pada
kenyataan.

Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan oleh Direktur Jenderal Pajak
dalam menentukan tempat tinggal seseorang atau tempat kedudukan badan
tersebut, antara lain domisili, alamat tempat tinggal, tempat tinggal
keluarga, tempat menjalankan usaha pokok atau hal-hal lain yang perlu
dipertimbangkan untuk memudahkan pelaksanaan pemenuhan kewajiban pajak.

Angka 3

Pasal 3

Ayat (1)

Sesuai dengan kelaziman internasional, kantor perwakilan negara asing
beserta pejabat-pejabat perwakilan diplomatik, konsulat dan
pejabat-pejabat lainnya, dikecualikan sebagai subjek pajak di tempat
mereka mewakili negaranya.

Pengecualian sebagai subjek pajak bagi pejabat-pejabat tersebut tidak
berlaku apabila mereka memperoleh penghasilan lain di luar jabatannya
atau mereka adalah Warga Negara Indonesia.

Dengan demikian apabila pejabat perwakilan suatu negara asing
memperoleh penghasilan lain di Indonesia di luar jabatan atau
pekerjaannya tersebut, maka ia termasuk subjek pajak yang dapat dikenai
pajak atas penghasilan lain tersebut.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Angka 4

Pasal 4

Ayat (1)

Undang-Undang ini menganut prinsip pemajakan atas penghasilan dalam
pengertian yang luas, yaitu bahwa pajak dikenakan atas setiap tambahan
kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dari
manapun asalnya yang dapat dipergunakan untuk konsumsi atau menambah
kekayaan Wajib Pajak tersebut.

Pengertian penghasilan dalam Undang-Undang ini tidak memperhatikan
adanya penghasilan dari sumber tertentu, tetapi pada adanya tambahan
kemampuan ekonomis.
Tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak
merupakan ukuran terbaik mengenai kemampuan Wajib Pajak tersebut untuk
ikut bersama-sama memikul biaya yang diperlukan pemerintah untuk
kegiatan rutin dan pembangunan.

Dilihat dari mengalirnya tambahan kemampuan ekonomis kepada Wajib
Pajak, penghasilan dapat dikelompokkan menjadi:

  1. penghasilan dari pekerjaan dalam hubungan kerja dan
    pekerjaan
    bebas seperti gaji, honorarium, penghasilan dari praktek dokter,
    notaris, aktuaris, akuntan, pengacara, dan sebagainya;
  2. penghasilan dari usaha dan kegiatan;
  3. penghasilan dari modal, yang berupa harta gerak ataupun
    harta tak
    gerak, seperti bunga, dividen, royalti, sewa, dan keuntungan penjualan
    harta atau hak yang tidak dipergunakan untuk usaha; dan
  4. penghasilan lain-lain, seperti pembebasan utang dan hadiah.
Dilihat dari penggunaannya, penghasilan dapat dipakai untuk konsumsi
dan dapat pula ditabung untuk menambah kekayaan Wajib Pajak.

Karena Undang-Undang ini menganut pengertian penghasilan yang luas maka
semua jenis penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam suatu tahun
pajak digabungkan untuk mendapatkan dasar pengenaan pajak. Dengan
demikian, apabila dalam satu tahun pajak suatu usaha atau kegiatan
menderita kerugian, kerugian tersebut dikompensasikan dengan
penghasilan lainnya (kompensasi horizontal), kecuali kerugian yang
diderita di luar negeri. Namun demikian, apabila suatu jenis
penghasilan dikenai pajak dengan tarif yang bersifat final atau
dikecualikan dari objek pajak, maka penghasilan tersebut tidak boleh
digabungkan dengan penghasilan lain yang dikenai tarif umum.

Contoh-contoh penghasilan yang disebut dalam ketentuan ini dimaksudkan
untuk memperjelas pengertian tentang penghasilan yang luas yang tidak
terbatas pada contoh-contoh dimaksud.

Huruf a

Semua pembayaran atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan, seperti
upah, gaji, premi asuransi jiwa, dan asuransi kesehatan yang dibayar
oleh pemberi kerja, atau imbalan dalam bentuk lainnya adalah Objek
Pajak.

Pengertian imbalan dalam bentuk lainnya termasuk imbalan dalam bentuk
natura yang pada hakikatnya merupakan penghasilan.

Huruf b

Dalam pengertian hadiah termasuk hadiah dari undian, pekerjaan, dan
kegiatan seperti hadiah undian tabungan, hadiah dari pertandingan
olahraga dan lain sebagainya.

Yang dimaksud dengan penghargaan adalah imbalan yang diberikan
sehubungan dengan kegiatan tertentu, misalnya imbalan yang diterima
sehubungan dengan penemuan benda-benda purbakala.

Huruf c

Cukup jelas.

Huruf d

Apabila Wajib Pajak menjual harta dengan harga yang lebih tinggi dari
nilai sisa buku atau lebih tinggi dari harga atau nilai perolehan,
selisih harga tersebut merupakan keuntungan. Dalam hal penjualan harta
tersebut terjadi antara badan usaha dan pemegang sahamnya, harga jual
yang dipakai sebagai dasar untuk penghitungan keuntungan dari penjualan
tersebut adalah harga pasar.

Misalnya, PT S memiliki sebuah mobil yang digunakan dalam kegiatan
usahanya dengan nilai sisa buku sebesar Rp 40.000.000,00 (empat puluh
juta rupiah). Mobil tersebut dijual dengan harga Rp 60.000.000,00 (enam
puluh juta rupiah). Dengan demikian, keuntungan PT S yang diperoleh
karena penjualan mobil tersebut adalah Rp 20.000.000,00 (dua puluh juta
rupiah). Apabila mobil tersebut dijual kepada salah seorang pemegang
sahamnya dengan harga Rp 55.000.000,00 (lima puluh lima juta rupiah),
nilai jual mobil tersebut tetap dihitung berdasarkan harga pasar
sebesar Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah). Selisih sebesar
Rp 20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah) merupakan keuntungan bagi PT S
dan bagi pemegang saham yang membeli mobil tersebut selisih sebesar
Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah) merupakan penghasilan.

Apabila suatu badan dilikuidasi, keuntungan dari penjualan harta, yaitu
selisih antara harga jual berdasarkan harga pasar dan nilai sisa buku
harta tersebut, merupakan objek pajak. Demikian juga selisih lebih
antara harga pasar dan nilai sisa buku dalam hal terjadi penggabungan,
peleburan, pemekaran, pemecahan, dan pengambilalihan usaha merupakan
penghasilan.

Dalam hal terjadi pengalihan harta sebagai pengganti saham atau
penyertaan modal, keuntungan berupa selisih antara harga pasar dari
harta yang diserahkan dan nilai bukunya merupakan penghasilan.

Keuntungan berupa selisih antara harga pasar dan nilai perolehan atau
nilai sisa buku atas pengalihan harta berupa hibah, bantuan atau
sumbangan merupakan penghasilan bagi pihak yang mengalihkan kecuali
harta tersebut dihibahkan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan
lurus satu derajat. Demikian juga, keuntungan berupa selisih antara
harga pasar dan nilai perolehan atau nilai sisa buku atas pengalihan
harta berupa bantuan atau sumbangan dan hibah kepada badan keagamaan,
badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi, atau orang
pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya
diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan bukan merupakan
penghasilan, sepanjang tidak ada hubungannya dengan usaha, pekerjaan,
kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan.

Dalam hal Wajib Pajak pemilik hak penambangan mengalihkan sebagian atau
seluruh hak tersebut kepada Wajib Pajak lain, keuntungan yang diperoleh
merupakan objek pajak.

Huruf e

Pengembalian pajak yang telah dibebankan sebagai biaya pada saat
menghitung Penghasilan Kena Pajak merupakan objek pajak.

Sebagai contoh, Pajak Bumi dan Bangunan yang sudah dibayar dan
dibebankan sebagai biaya, yang karena sesuatu sebab dikembalikan, maka
jumlah sebesar pengembalian tersebut merupakan penghasilan.

Huruf f

Dalam pengertian bunga termasuk pula premium, diskonto dan imbalan
sehubungan dengan jaminan pengembalian utang.

Premium terjadi apabila misalnya surat obligasi dijual di atas nilai
nominalnya sedangkan diskonto terjadi apabila surat obligasi dibeli di
bawah nilai nominalnya. Premium tersebut merupakan penghasilan bagi
yang menerbitkan obligasi dan diskonto merupakan penghasilan bagi yang
membeli obligasi.

Huruf g

Dividen merupakan bagian laba yang diperoleh pemegang saham atau
pemegang polis asuransi atau pembagian sisa hasil usaha koperasi yang
diperoleh anggota koperasi.

Termasuk dalam pengertian dividen adalah:

1) pembagian
laba baik secara langsung ataupun tidak langsung, dengan nama dan dalam
bentuk apapun;
2) pembayaran
kembali karena likuidasi yang melebihi jumlah modal yang disetor;
3) pemberian
saham bonus yang dilakukan tanpa penyetoran termasuk saham bonus yang
berasal dari kapitalisasi agio saham;
4) pembagian
laba dalam bentuk saham;
5) pencatatan
tambahan modal yang dilakukan tanpa penyetoran;
6) jumlah
yang melebihi jumlah setoran sahamnya yang diterima atau
diperoleh pemegang saham karena pembelian kembali saham-saham oleh
perseroan yang bersangkutan;
7) pembayaran
kembali seluruhnya atau sebagian dari modal yang disetorkan,
jika dalam tahun-tahun yang lampau diperoleh keuntungan, kecuali jika
pembayaran kembali itu adalah akibat dari pengecilan modal dasar
(statuter) yang dilakukan secara sah;
8) pembayaran
sehubungan dengan tanda-tanda laba, termasuk yang diterima sebagai
penebusan tanda-tanda laba tersebut;
9) bagian
laba sehubungan dengan pemilikan obligasi;
10) bagian
laba yang diterima oleh pemegang polis;
11) pembagian
berupa sisa hasil usaha kepada anggota koperasi;
12) pengeluaran
perusahaan untuk keperluan pribadi pemegang saham yang dibebankan
sebagai biaya perusahaan.

Dalam praktek sering dijumpai pembagian atau pembayaran dividen secara
terselubung, misalnya dalam hal pemegang saham yang telah menyetor
penuh modalnya dan memberikan pinjaman kepada perseroan dengan imbalan
bunga yang melebihi kewajaran. Apabila terjadi hal yang demikian maka
selisih lebih antara bunga yang dibayarkan dan tingkat bunga yang
berlaku di pasar, diperlakukan sebagai dividen. Bagian bunga yang
diperlakukan sebagai dividen tersebut tidak boleh dibebankan sebagai
biaya oleh perseroan yang bersangkutan.

Huruf h

Royalti adalah suatu jumlah yang dibayarkan atau terutang dengan cara
atau perhitungan apa pun, baik dilakukan secara berkala maupun tidak,
sebagai imbalan atas:
  1. penggunaan atau hak menggunakan hak cipta di bidang
    kesusastraan,
    kesenian atau karya ilmiah, paten, desain atau model, rencana, formula
    atau proses rahasia, merek dagang, atau bentuk hak kekayaan
    intelektual/industrial atau hak serupa lainnya;
  2. penggunaan atau hak menggunakan peralatan/perlengkapan
    industrial, komersial, atau ilmiah;
  3. pemberian pengetahuan atau informasi di bidang ilmiah,
    teknikal, industrial, atau komersial;
  4. pemberian bantuan tambahan atau pelengkap sehubungan dengan
    penggunaan atau hak menggunakan hak-hak tersebut pada angka 1,
    penggunaan atau hak menggunakan peralatan/perlengkapan tersebut pada
    angka 2, atau pemberian pengetahuan atau informasi tersebut pada angka
    3, berupa:

    a) penerimaan
    atau hak menerima rekaman gambar atau rekaman suara atau
    keduanya, yang disalurkan kepada masyarakat melalui satelit, kabel,
    serat optik, atau teknologi yang serupa;
    b) penggunaan
    atau hak menggunakan rekaman gambar atau rekaman suara atau
    keduanya, untuk siaran televisi atau radio yang disiarkan/dipancarkan
    melalui satelit, kabel, serat optik, atau teknologi yang serupa;
    c) penggunaan
    atau hak menggunakan sebagian atau seluruh spektrum radio komunikasi;

  1. penggunaan atau hak menggunakan film gambar hidup (motion picture
    films), film atau pita video untuk siaran televisi, atau
    pita suara
    untuk siaran radio; dan
  2. pelepasan seluruhnya atau sebagian hak yang berkenaan
    dengan
    penggunaan atau pemberian hak kekayaan intelektual/industrial atau
    hak-hak lainnya sebagaimana tersebut di atas.
Huruf i

Dalam pengertian sewa termasuk imbalan yang diterima atau diperoleh
dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan penggunaan harta
gerak atau harta tak gerak, misalnya sewa mobil, sewa kantor, sewa
rumah, dan sewa gudang.

Huruf j

Penerimaan berupa pembayaran berkala, misalnya “alimentasi” atau
tunjangan seumur hidup yang dibayar secara berulang-ulang dalam waktu
tertentu.

Huruf k

Pembebasan utang oleh pihak yang berpiutang dianggap sebagai
penghasilan bagi pihak yang semula berutang, sedangkan bagi pihak yang
berpiutang dapat dibebankan sebagai biaya. Namun, dengan Peraturan
Pemerintah dapat ditetapkan bahwa pembebasan utang debitur kecil
misalnya Kredit Usaha Keluarga Prasejahtera (Kukesra), Kredit Usaha
Tani (KUT), Kredit Usaha Rakyat (KUR), kredit untuk perumahan sangat
sederhana, serta kredit kecil lainnya sampai dengan jumlah tertentu
dikecualikan sebagai objek pajak.

Huruf l

Keuntungan yang diperoleh karena fluktuasi kurs mata uang asing diakui
berdasarkan sistem pembukuan yang dianut dan dilakukan secara taat asas
sesuai dengan Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku di Indonesia.

Huruf m

Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 19 merupakan penghasilan.

Huruf n

Dalam pengertian premi asuransi termasuk premi reasuransi.

Huruf o

Cukup jelas.

Huruf p

Tambahan kekayaan neto pada hakekatnya merupakan akumulasi penghasilan
baik yang telah dikenakan pajak dan yang bukan Objek Pajak serta yang
belum dikenakan pajak.
Apabila diketahui adanya tambahan kekayaan neto yang melebihi akumulasi
penghasilan yang telah dikenakan pajak dan yang bukan Objek Pajak, maka
tambahan kekayaan neto tersebut merupakan penghasilan.

Huruf q

Kegiatan usaha berbasis syariah memiliki landasan filosofi yang berbeda
dengan kegiatan usaha yang bersifat konvensional. Namun, penghasilan
yang diterima atau diperoleh dari kegiatan usaha berbasis syariah
tersebut tetap merupakan objek pajak menurut Undang-Undang ini.

Huruf r

Cukup jelas.

Huruf s

Cukup jelas.

Ayat (2)

Sesuai dengan ketentuan pada ayat (1), penghasilan-penghasilan
sebagaimana dimaksud pada ayat ini merupakan objek pajak. Berdasarkan
pertimbangan-pertimbangan antara lain:

perlu
adanya dorongan dalam rangka perkembangan investasi dan tabungan
masyarakat;
kesederhanaan
dalam pemungutan pajak;
berkurangnya
beban administrasi baik bagi Wajib Pajak maupun Direktorat Jenderal
Pajak;
pemerataan
dalam pengenaan pajaknya; dan
memerhatikan
perkembangan ekonomi dan moneter,

atas penghasilan-penghasilan tersebut perlu diberikan perlakuan
tersendiri dalam pengenaan pajaknya.

Perlakuan tersendiri dalam pengenaan pajak atas jenis penghasilan
tersebut termasuk sifat, besarnya, dan tata cara pelaksanaan
pembayaran, pemotongan, atau pemungutan diatur dengan Peraturan
Pemerintah.

Obligasi sebagaimana dimaksud pada ayat ini termasuk surat utang
berjangka waktu lebih dari 12 (dua belas) bulan, seperti Medium Term
Note, Floating Rate Note yang berjangka waktu lebih dari
12 (dua belas)
bulan.

Surat Utang Negara yang dimaksud pada ayat ini meliputi Obligasi Negara
dan Surat Perbendaharaan Negara.

Ayat (3)

Huruf a

Bantuan atau sumbangan bagi pihak yang menerima bukan merupakan objek
pajak sepanjang diterima tidak dalam rangka hubungan kerja, hubungan
usaha, hubungan kepemilikan, atau hubungan penguasaan di antara
pihak-pihak yang bersangkutan. Zakat yang diterima oleh badan amil
zakat
atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan
para penerima zakat yang berhak serta sumbangan keagamaan yang sifatnya
wajib bagi pemeluk agama lainnya yang diakui di Indonesia yang diterima
oleh lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan
yang diterima oleh penerima sumbangan yang berhak diperlakukan sama
seperti bantuan atau sumbangan. Yang dimaksud dengan
“zakat” adalah zakat sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang yang mengatur mengenai zakat.

Hubungan usaha antara pihak yang memberi dan yang menerima dapat
terjadi, misalnya PT A sebagai produsen suatu jenis barang yang bahan
baku utamanya diproduksi oleh PT B. Apabila PT B memberikan sumbangan
bahan baku kepada PT A, sumbangan bahan baku yang diterima oleh PT A
merupakan objek pajak.

Harta hibahan bagi pihak yang menerima bukan merupakan objek pajak
apabila diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu
derajat, dan oleh badan keagamaan, badan pendidikan, atau badan sosial
termasuk yayasan atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan
kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan,
sepanjang diterima tidak dalam rangka hubungan kerja, hubungan usaha,
hubungan kepemilikan, atau hubungan penguasaan antara pihak-pihak yang
bersangkutan.

Huruf b

Cukup jelas.

Huruf c

Pada prinsipnya harta, termasuk setoran tunai, yang diterima oleh badan
merupakan tambahan kemampuan ekonomis bagi badan tersebut. Namun karena
harta tersebut diterima sebagai pengganti saham atau penyertaan modal,
maka berdasarkan ketentuan ini, harta yang diterima tersebut bukan
merupakan objek pajak.

Huruf d

Penggantian atau imbalan dalam bentuk natura atau kenikmatan berkenaan
dengan pekerjaan atau jasa merupakan tambahan kemampuan ekonomis yang
diterima bukan dalam bentuk uang. Penggantian atau imbalan dalam bentuk
natura seperti beras, gula, dan sebagainya, dan imbalan dalam bentuk
kenikmatan, seperti penggunaan mobil, rumah, dan fasilitas pengobatan
bukan merupakan objek pajak.

Apabila yang memberi imbalan berupa natura atau kenikmatan tersebut
bukan Wajib Pajak atau Wajib Pajak yang dikenai Pajak Penghasilan yang
bersifat final dan Wajib Pajak yang dikenai Pajak Penghasilan
berdasarkan norma penghitungan khusus (deemed profit),
imbalan dalam
bentuk natura atau kenikmatan tersebut merupakan penghasilan bagi yang
menerima atau memperolehnya.

Misalnya, seorang penduduk Indonesia menjadi pegawai pada suatu
perwakilan diplomatik asing di Jakarta. Pegawai tersebut memperoleh
kenikmatan menempati rumah yang disewa oleh perwakilan diplomatik
tersebut atau kenikmatan-kenikmatan lainnya. Kenikmatan-kenikmatan
tersebut merupakan penghasilan bagi pegawai tersebut sebab perwakilan
diplomatik yang bersangkutan bukan merupakan Wajib Pajak.

Huruf e

Penggantian atau santunan
yang diterima
oleh orang pribadi dari
perusahaan asuransi sehubungan dengan polis asuransi kesehatan,
asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea
siswa, bukan merupakan Objek Pajak. Hal ini selaras dengan ketentuan
dalam Pasal 9 ayat (1) huruf d, yaitu bahwa premi asuransi yang dibayar
oleh Wajib Pajak orang pribadi untuk kepentingan dirinya tidak boleh
dikurangkan dalam penghitungan Penghasilan Kena Pajak.

Huruf f

Berdasarkan ketentuan ini, dividen yang dananya berasal dari laba
setelah dikurangi pajak dan diterima atau diperoleh perseroan terbatas
sebagai Wajib Pajak dalam negeri, dan badan usaha milik negara atau
badan usaha milik daerah, dari penyertaannya pada badan usaha lainnya
yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia, dengan penyertaan
sekurang-kurangnya 25% (dua puluh lima persen), tidak termasuk objek
pajak. Yang dimaksud dengan “badan usaha milik
negara” dan
“badan usaha milik daerah” pada ayat ini, antara
lain,
adalah perusahaan perseroan (Persero), bank pemerintah, dan bank
pembangunan daerah.

Perlu ditegaskan bahwa dalam hal penerima dividen atau bagian laba
adalah Wajib Pajak selain badan-badan tersebut di atas, seperti orang
pribadi baik dalam negeri maupun luar negeri, firma, perseroan
komanditer, yayasan dan organisasi sejenis dan sebagainya, penghasilan
berupa dividen atau bagian laba tersebut tetap merupakan objek pajak.

Huruf g

Pengecualian sebagai Objek Pajak berdasarkan ketentuan ini hanya
berlaku bagi dana pensiun yang pendiriannya telah mendapat pengesahan
dari Menteri Keuangan. Yang dikecualikan dari Objek Pajak adalah iuran
yang diterima dari peserta pensiun, baik atas beban sendiri maupun yang
ditanggung pemberi kerja. Pada dasarnya iuran yang diterima oleh dana
pensiun tersebut merupakan dana milik dari peserta pensiun, yang akan
dibayarkan kembali kepada mereka pada waktunya. Pengenaan pajak atas
iuran tersebut berarti mengurangi hak para peserta pensiun, dan oleh
karena itu iuran tersebut dikecualikan sebagai Objek Pajak.

Huruf h

Sebagaimana tersebut dalam huruf g, pengecualian sebagai Objek Pajak
berdasarkan ketentuan ini hanya berlaku bagi dana pensiun yang
pendiriannya telah mendapat pengesahan dari Menteri Keuangan. Yang
dikecualikan dari Objek Pajak dalam hal ini adalah penghasilan dari
modal yang ditanamkan di bidang-bidang tertentu berdasarkan Keputusan
Menteri Keuangan. Penanaman modal oleh dana pensiun dimaksudkan untuk
pengembangan dan merupakan dana untuk pembayaran kembali
kepada
peserta pensiun di kemudian hari, sehingga penanaman modal tersebut
perlu diarahkan pada bidang-bidang yang tidak bersifat spekulatif atau
yang berisiko tinggi. Oleh karena itu penentuan bidang-bidang tertentu
dimaksud ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan.

Huruf i

Untuk kepentingan pengenaan pajak, badan-badan sebagaimana disebut
dalam ketentuan ini yang merupakan himpunan para anggotanya dikenai
pajak sebagai satu kesatuan, yaitu pada tingkat badan tersebut. Oleh
karena itu, bagian laba yang diterima oleh para anggota badan tersebut
bukan lagi merupakan objek pajak.

Huruf j

Cukup jelas.

Huruf k

Yang dimaksud dengan “perusahaan modal ventura”
adalah
suatu perusahaan yang kegiatan usahanya membiayai badan usaha (sebagai
pasangan usaha) dalam bentuk penyertaan modal untuk suatu jangka waktu
tertentu.
Berdasarkan ketentuan ini, bagian laba yang diterima atau diperoleh
dari perusahaan pasangan usaha tidak termasuk sebagai objek pajak,
dengan syarat perusahaan pasangan usaha tersebut merupakan perusahaan
mikro, kecil, menengah, atau yang menjalankan usaha atau melakukan
kegiatan dalam sektor-sektor tertentu yang ditetapkan oleh Menteri
Keuangan, dan saham perusahaan tersebut tidak diperdagangkan di bursa
efek di Indonesia.

Apabila pasangan usaha perusahaan modal ventura memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf f, dividen yang diterima atau
diperoleh perusahaan modal ventura bukan merupakan objek pajak.

Agar kegiatan perusahaan modal ventura dapat diarahkan kepada
sektor-sektor kegiatan ekonomi yang memperoleh prioritas untuk
dikembangkan, misalnya untuk meningkatkan ekspor nonmigas, usaha atau
kegiatan dari perusahaan pasangan usaha tersebut diatur oleh Menteri
Keuangan.

Mengingat perusahaan modal ventura merupakan alternatif pembiayaan
dalam bentuk penyertaan modal, penyertaan modal yang akan dilakukan
oleh perusahaan modal ventura diarahkan pada perusahaan-perusahaan yang
belum mempunyai akses ke bursa efek.

Huruf l

Cukup jelas.

Huruf m

Bahwa dalam rangka mendukung usaha peningkatan kualitas sumber daya
manusia melalui pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan
diperlukan sarana dan prasarana yang memadai. Untuk itu dipandang perlu
memberikan fasilitas perpajakan berupa pengecualian pengenaan pajak
atas sisa lebih yang diterima atau diperoleh sepanjang sisa lebih
tersebut ditanamkan kembali dalam bentuk pembangunan dan pengadaan
sarana dan prasarana kegiatan dimaksud. Penanaman kembali sisa lebih
dimaksud harus direalisasikan paling lama dalam jangka waktu 4 (empat)
tahun sejak sisa lebih tersebut diterima atau diperoleh.

Untuk menjamin tercapainya tujuan pemberian fasilitas ini, maka lembaga
atau badan yang menyelenggarakan pendidikan harus bersifat nirlaba.
Pendidikan serta penelitian dan pengembangan yang diselenggarakan
bersifat terbuka kepada siapa saja dan telah mendapat pengesahan dari
instansi yang membidanginya.

Huruf n

Bantuan atau santunan yang diberikan oleh Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial (BPJS) kepada Wajib Pajak tertentu adalah bantuan sosial yang
diberikan khusus kepada Wajib Pajak atau anggota masyarakat yang tidak
mampu atau sedang mendapat bencana alam atau tertimpa musibah.

Angka 5
Pasal 6
Ayat (1)

Beban-beban yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto dapat dibagi
dalam 2 (dua) golongan, yaitu beban atau biaya yang mempunyai masa
manfaat tidak lebih dari 1 (satu) tahun dan yang mempunyai masa manfaat
lebih dari 1 (satu) tahun.
Beban yang mempunyai masa manfaat tidak lebih dari 1 (satu) tahun
merupakan biaya pada tahun yang bersangkutan, misalnya gaji, biaya
administrasi dan bunga, biaya rutin pengolahan limbah dan sebagainya,
sedangkan pengeluaran yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu)
tahun, pembebanannya dilakukan melalui penyusutan atau melalui
amortisasi. Di samping itu, apabila dalam suatu tahun pajak didapat
kerugian karena penjualan harta atau karena selisih kurs,
kerugian-kerugian tersebut dapat dikurangkan dari penghasilan bruto.

Huruf a

Biaya-biaya yang dimaksud pada ayat ini lazim disebut biaya sehari-hari
yang boleh dibebankan pada tahun pengeluaran.
Untuk dapat dibebankan sebagai biaya, pengeluaran-pengeluaran tersebut
harus mempunyai hubungan langsung maupun tidak langsung dengan kegiatan
usaha atau kegiatan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara
penghasilan yang merupakan objek pajak.

Dengan demikian, pengeluaran-pengeluaran untuk mendapatkan, menagih,
dan memelihara penghasilan yang bukan merupakan objek pajak tidak boleh
dibebankan sebagai biaya.

Contoh:

Dana Pensiun A yang pendiriannya telah mendapat pengesahan dari Menteri
Keuangan memperoleh penghasilan bruto yang terdiri dari:

a. penghasilan
yang bukan merupakan objek pajak sesuai dengan Pasal 4 ayat (3) huruf h

Rp100.000.000,00
b. penghasilan
bruto lainnya sebesar

Rp300.000.000,00
(+)
Jumlah
penghasilan bruto
Rp400.000.000,00

Apabila seluruh biaya
adalah sebesar Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta
rupiah), biaya yang boleh dikurangkan untuk mendapatkan, menagih dan
memelihara penghasilan adalah sebesar 3/4 x Rp200.000.000,00 =
Rp150.000.000,00.
Demikian pula bunga atas pinjaman yang dipergunakan untuk membeli saham
tidak dapat dibebankan sebagai biaya sepanjang dividen yang diterimanya
tidak merupakan objek pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3)
huruf f.
Bunga pinjaman yang tidak boleh dibiayakan tersebut dapat
dikapitalisasi sebagai penambah harga perolehan saham.

Pengeluaran-pengeluaran yang tidak ada hubungannya dengan upaya untuk
mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, misalnya
pengeluaran-pengeluaran untuk keperluan pribadi pemegang saham,
pembayaran bunga atas pinjaman yang dipergunakan untuk keperluan
pribadi peminjam serta pembayaran premi asuransi untuk kepentingan
pribadi, tidak boleh dibebankan sebagai biaya.
Pembayaran premi asuransi oleh pemberi kerja untuk kepentingan
pegawainya boleh dibebankan sebagai biaya perusahaan, tetapi bagi
pegawai yang bersangkutan premi tersebut merupakan penghasilan.

Pengeluaran-pengeluaransehubungan dengan pekerjaan yang boleh
dikurangkan dari penghasilan bruto harus dilakukan dalam bentuk uang.
Pengeluaran yang dilakukan dalam bentuk natura atau kenikmatan,
misalnya fasilitas menempati rumah dengan cuma-cuma, tidak boleh
dibebankan sebagai biaya, dan bagi pihak yang menerima atau menikmati
bukan merupakan penghasilan. Namun, pengeluaran dalam bentuk natura
atau kenikmatan tertentu sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat (1)
huruf e, boleh dibebankan sebagai biaya dan bagi pihak yang menerima
atau menikmati bukan merupakan penghasilan.

Pengeluaran-pengeluaran yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto
harus dilakukan dalam batas-batas yang wajar sesuai dengan adat
kebiasaan pedagang yang baik. Dengan demikian, apabila pengeluaran yang
melampaui batas kewajaran tersebut dipengaruhi oleh hubungan istimewa,
jumlah yang melampaui batas kewajaran tersebut tidak boleh dikurangkan
dari penghasilan bruto.

Selanjutnya lihat ketentuan dalam Pasal 9 ayat (1) huruf f dan Pasal 18
beserta penjelasannya.

Pajak-pajak yang menjadi beban perusahaan dalam rangka usahanya selain
Pajak Penghasilan, misalnya Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Meterai
(BM), Pajak Hotel, dan Pajak Restoran, dapat dibebankan sebagai biaya.

Mengenai pengeluaran untuk promosi perlu dibedakan antara biaya yang
benar-benar dikeluarkan untuk promosi dan biaya yang pada hakikatnya
merupakan sumbangan. Biaya yang benar-benar dikeluarkan untuk promosi
boleh dikurangkan dari penghasilan bruto.

Besarnya biaya promosi dan penjualan yang diperkenankan sebagai
pengurang penghasilan bruto diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
Menteri Keuangan.

Huruf b

Pengeluaran-pengeluaran
untuk
memperoleh harta berwujud dan harta tak berwujud serta pengeluaran lain
yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun, pembebanannya
dilakukan melalui penyusutan atau amortisasi.

Selanjutnya lihat
ketentuan Pasal 9
ayat (2), Pasal 11, dan Pasal 11A beserta penjelasannya.

Pengeluaran
yang menurut sifatnya merupakan pembayaran di muka, misalnya sewa untuk
beberapa tahun yang dibayar sekaligus, pembebanannya dapat dilakukan
melalui alokasi.

Huruf c

Iuran kepada dana pensiun
yang
pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan boleh dibebankan
sebagai biaya, sedangkan iuran yang dibayarkan kepada dana pensiun yang
pendiriannya tidak atau belum disahkan oleh Menteri Keuangan tidak
boleh dibebankan sebagai biaya.

Huruf d

Kerugian karena penjualan
atau
pengalihan harta yang menurut tujuan semula tidak dimaksudkan untuk
dijual atau dialihkan yang dimiliki dan dipergunakan dalam perusahaan
atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih dan memelihara
penghasilan dapat dikurangkan dari penghasilan bruto.

Kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki tetapi
tidak digunakan dalam perusahaan, atau yang dimiliki tetapi tidak
digunakan untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan, tidak
boleh dikurangkan dari penghasilan bruto.

Huruf e

Kerugian karena fluktuasi
kurs mata
uang asing diakui berdasarkan sistem pembukuan yang dianut dan
dilakukan secara taat asas sesuai dengan Standar Akuntansi Keuangan
yang berlaku di Indonesia.

Huruf f

Biaya penelitian dan
pengembangan
perusahaan yang dilakukan di Indonesia dalam jumlah yang wajar untuk
menemukan teknologi atau sistem baru bagi pengembangan perusahaan boleh
dibebankan sebagai biaya perusahaan.

Huruf g

Biaya yang dikeluarkan
untuk keperluan
beasiswa, magang, dan pelatihan dalam rangka peningkatan kualitas
sumber daya manusia dapat dibebankan sebagai biaya perusahaan dengan
memperhatikan kewajaran, termasuk beasiswa yang dapat dibebankan
sebagai biaya adalah beasiswa yang diberikan kepada pelajar, mahasiswa,
dan pihak lain.

Huruf h

Piutang yang nyata-nyata
tidak dapat
ditagih dapat dibebankan sebagai biaya sepanjang Wajib Pajak telah
mengakuinya sebagai biaya dalam laporan laba-rugi komersial dan telah
melakukan upaya-upaya penagihan yang maksimal atau terakhir.

Yang dimaksud dengan penerbitan tidak hanya berarti penerbitan berskala
nasional, melainkan juga penerbitan internal asosiasi dan sejenisnya.

Tata cara pelaksanaan persyaratan yang ditentukan dalam ayat (1) huruf
h ini diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan.

Huruf i

Cukup jelas.

Huruf j

Cukup jelas.

Huruf k

Cukup jelas.

Huruf l

Cukup jelas.

Huruf m

Cukup jelas.

Ayat (2)

Jika
pengeluaran-pengeluaran yang
diperkenankan berdasarkan ketentuan pada ayat (1) setelah dikurangkan
dari penghasilan bruto didapat kerugian, kerugian tersebut
dikompensasikan dengan penghasilan neto atau laba fiskal selama 5
(lima) tahun berturut-turut dimulai sejak tahun berikutnya sesudah
tahun didapatnya kerugian tersebut.

Contoh :

PT A dalam tahun 2009 menderita kerugian fiskal sebesar
Rp1.200.000.000,00 (satu miliar dua ratus juta rupiah). Dalam 5 (lima)
tahun berikutnya laba rugi fiskal PT A sebagai berikut :
2010 : laba fiskal Rp200.000.000,00
2011 : rugi fiskal (Rp300.000.000,00)
2012 : laba fiskal Rp N I H I L
2013 : laba fiskal Rp100.000.000,00
2014 : laba fiskal Rp800.000.000,00

Kompensasi kerugian dilakukan sebagai berikut :

Rugi
fiskal tahun 2009
(Rp1.200.000.000,00)
Laba
fiskal tahun 2010
Rp
200.000.000,00 (+)
Sisa
rugi fiskal tahun 2009
(Rp1.000.000.000,00)
Rugi
fiskal tahun 2011
(Rp
300.000.000,00)
Sisa
rugi fiskal tahun 2009
(Rp1.000.000.000,00)
Laba
fiskal tahun 2012
Rp
N I H I L
(+)
Sisa
rugi fiskal tahun 2009
(Rp1.000.000.000,00)
Laba
fiskal tahun 2013
Rp
100.000.000,00 (+)
Sisa
rugi fiskal tahun 2009
(Rp
900.000.000,00)
Laba
fiskal tahun 2014
Rp
800.000.000,00 (+)
Sisa
rugi fiskal tahun 2009
(Rp
100.000.000,00)

Rugi fiskal tahun 2009 sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta
rupiah) yang masih tersisa pada akhir tahun 2014 tidak boleh
dikompensasikan lagi dengan laba fiskal tahun 2015, sedangkan rugi
fiskal tahun 2011 sebesar Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah)
hanya boleh dikompensasikan dengan laba fiskal tahun 2015 dan tahun
2016, karena jangka waktu lima tahun yang dimulai sejak tahun 2012
berakhir pada akhir tahun 2016.


Ayat (3)

Dalam menghitung
Penghasilan Kena Pajak
Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri, kepadanya diberikan pengurangan
berupa Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) berdasarkan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7.

Angka 6

Pasal 7

Ayat (1)

Untuk menghitung besarnya
Penghasilan
Kena Pajak dari Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri, penghasilan
netonya dikurangi dengan jumlah Penghasilan Tidak Kena Pajak. Di
samping untuk dirinya, kepada Wajib Pajak yang sudah kawin diberikan
tambahan Penghasilan Tidak Kena Pajak.

Bagi Wajib Pajak yang isterinya menerima atau memperoleh penghasilan
yang digabung dengan penghasilannya, Wajib Pajak tersebut mendapat
tambahan Penghasilan Tidak Kena Pajak untuk seorang isteri paling
sedikit sebesar Rp15.840.000,00 (lima belas juta delapan ratus empat
puluh ribu rupiah).

Wajib Pajak yang mempunyai anggota keluarga sedarah dan semenda dalam
garis keturunan lurus yang menjadi tanggungan sepenuhnya, misalnya
orang tua, mertua, anak kandung, atau anak angkat diberikan tambahan
Penghasilan Tidak Kena Pajak untuk paling banyak 3 (tiga) orang. Yang
dimaksud dengan “anggota keluarga yang menjadi tanggungan
sepenuhnya” adalah anggota keluarga yang tidak mempunyai
penghasilan dan seluruh biaya hidupnya ditanggung oleh Wajib Pajak.

Contoh:

Wajib Pajak A mempunyai seorang isteri dengan tanggungan 4 (empat)
orang anak. Apabila isterinya memperoleh penghasilan dari satu pemberi
kerja yang sudah dipotong Pajak Penghasilan Pasal 21 dan pekerjaan
tersebut tidak ada hubungannya dengan usaha suami atau anggota keluarga
lainnya, besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak yang diberikan kepada
Wajib Pajak A adalah sebesar Rp 21.120.000,00 {Rp15.840.000,00 +
Rp1.320.000,00 + (3 x Rp1.320.000,00)}, sedangkan untuk isterinya, pada
saat pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 oleh pemberi kerja diberikan
Penghasilan Tidak Kena Pajak sebesar Rp 15.840.000,00. Apabila
penghasilan isteri harus digabung dengan penghasilan suami, besarnya
Penghasilan Tidak Kena Pajak yang diberikan kepada Wajib Pajak A adalah
sebesar Rp36.960.000,00 (Rp21.120.000,00 + Rp15.840.000,00).

Ayat (2)

Penghitungan besarnya
Penghasilan Tidak
Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan menurut
keadaan Wajib Pajak pada awal tahun pajak atau pada awal bagian tahun
pajak.

Misalnya, pada tanggal 1 Januari 2009 Wajib Pajak B berstatus kawin
dengan tanggungan 1 (satu) orang anak. Apabila anak yang kedua lahir
setelah tanggal 1 Januari 2009, besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak
yang diberikan kepada Wajib Pajak B untuk tahun pajak 2009 tetap
dihitung berdasarkan status kawin dengan 1 (satu) anak.

Ayat (3)

Berdasarkan ketentuan ini Menteri Keuangan diberikan wewenang untuk
mengubah besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) setelah berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat
Republik Indonesia dengan mempertimbangkan perkembangan ekonomi dan
moneter serta perkembangan harga kebutuhan pokok setiap tahunnya.

Angka 7

Pasal 8

Sistem pengenaan pajak
berdasarkan
Undang-Undang ini menempatkan keluarga sebagai satu kesatuan ekonomis,
artinya penghasilan atau kerugian dari seluruh anggota keluarga
digabungkan sebagai satu kesatuan yang dikenai pajak dan pemenuhan
kewajiban pajaknya dilakukan oleh kepala keluarga.

Namun, dalam hal-hal tertentu pemenuhan kewajiban pajak tersebut
dilakukan secara terpisah.

Ayat (1)

Penghasilan atau kerugian
bagi wanita
yang telah kawin pada awal tahun pajak atau pada awal bagian tahun
pajak dianggap sebagai penghasilan atau kerugian suaminya dan dikenai
pajak sebagai satu kesatuan. Penggabungan tersebut tidak dilakukan
dalam hal penghasilan isteri diperoleh dari pekerjaan sebagai pegawai
yang telah dipotong pajak oleh pemberi kerja, dengan ketentuan bahwa:
  1. penghasilan isteri tersebut semata-mata diperoleh dari satu
    pemberi kerja, dan
  2. penghasilan isteri tersebut berasal dari pekerjaan yang
    tidak ada
    hubungannya dengan usaha atau pekerjaan bebas suami atau anggota
    keluarga lainnya.
Contoh:

Wajib Pajak A yang memperoleh penghasilan neto dari usaha sebesar
Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) mempunyai seorang isteri yang
menjadi pegawai dengan penghasilan neto sebesar Rp70.000.000,00 (tujuh
puluh juta rupiah). Apabila penghasilan isteri tersebut
diperoleh
dari satu pemberi kerja dan telah dipotong pajak oleh pemberi kerja dan
pekerjaan tersebut tidak ada hubungannya dengan usaha suami atau
anggota keluarga lainnya, penghasilan neto sebesar Rp70.000.000,00
(tujuh puluh juta rupiah) tidak digabung dengan penghasilan A dan
pengenaan pajak atas penghasilan isteri tersebut bersifat final.

Apabila selain menjadi pegawai, isteri A juga menjalankan usaha,
misalnya salon kecantikan dengan penghasilan neto sebesar
Rp80.000.000,00 (delapan puluh juta rupiah), seluruh penghasilan isteri
sebesar Rp150.000.000,00 (Rp70.000.000,00 + Rp80.000.000,00)
digabungkan dengan penghasilan A.
Dengan penggabungan tersebut, A dikenai pajak atas penghasilan neto
sebesar Rp250.000.000,00 (Rp100.000.000,00 + Rp70.000.000,00 +
Rp80.000.000,00). Potongan pajak atas penghasilan isteri tidak bersifat
final, artinya dapat dikreditkan terhadap pajak yang terutang atas
penghasilan sebesar Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah)
tersebut yang dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan.

Ayat (2) dan ayat (3)

Dalam hal suami-isteri
telah hidup
berpisah berdasarkan keputusan hakim, penghitungan Penghasilan Kena
Pajak dan pengenaan pajaknya dilakukan sendiri-sendiri. Apabila suami
isteri mengadakan perjanjian pemisahan harta dan penghasilan secara
tertulis atau jika isteri menghendaki untuk menjalankan hak dan
kewajiban perpajakannya sendiri, penghitungan pajaknya dilakukan
berdasarkan penjumlahan penghasilan neto suami-isteri dan masing-masing
memikul beban pajak sebanding dengan besarnya penghasilan neto.

Contoh:

Penghitungan pajak bagi suami-isteri yang mengadakan perjanjian
pemisahan penghasilan secara tertulis atau jika isteri menghendaki
untuk menjalankan hak dan kewajiban perpajakannya sendiri adalah
sebagai berikut.

Dari contoh pada ayat (1), apabila isteri menjalankan usaha salon
kecantikan, pengenaan pajaknya dihitung berdasarkan jumlah penghasilan
sebesar Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah).

Misalnya, pajak yang terutang atas jumlah penghasilan tersebut adalah
sebesar Rp27.550.000,00 (dua puluh tujuh juta lima ratus lima puluh
ribu rupiah) maka untuk masing-masing suami dan isteri pengenaan
pajaknya dihitung sebagai berikut:

Suami:
100.000.000,00
x Rp27.550.000,00

250.000.000,00

=
Rp11.020.000,00
Isteri
: 150.000.000,00
x Rp27.550.000,00

250.000.000,00

=
Rp16.530.000,00

Ayat (4)

Penghasilan anak yang
belum dewasa dari
mana pun sumber penghasilannya dan apa pun sifat pekerjaannya digabung
dengan penghasilan orang tuanya dalam tahun pajak yang sama.

Yang dimaksud dengan “anak yang belum dewasa”
adalah anak
yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah menikah.

Apabila seorang anak belum dewasa, yang orang tuanya telah berpisah,
menerima atau memperoleh penghasilan, pengenaan pajaknya digabungkan
dengan penghasilan ayah atau ibunya berdasarkan keadaan sebenarnya.

Angka 8

Pasal 9

Ayat (1)

Pengeluaran-pengeluaran
yang dilakukan
Wajib Pajak dapat dibedakan antara pengeluaran yang boleh dan yang
tidak boleh dibebankan sebagai biaya.

Pada prinsipnya biaya yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto
adalah biaya yang mempunyai hubungan langsung dan tidak langsung dengan
usaha atau kegiatan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara
penghasilan yang merupakan objek pajak yang pembebanannya dapat
dilakukan dalam tahun pengeluaran atau selama masa manfaat dari
pengeluaran tersebut. Pengeluaran yang tidak boleh dikurangkan dari
penghasilan bruto meliputi pengeluaran yang sifatnya pemakaian
penghasilan atau yang jumlahnya melebihi kewajaran.

Huruf a

Pembagian laba dengan nama
dan dalam
bentuk apa pun, termasuk pembayaran dividen kepada pemilik modal,
pembagian sisa hasil usaha koperasi kepada anggotanya, dan pembayaran
dividen oleh perusahaan asuransi kepada pemegang polis, tidak boleh
dikurangkan dari penghasilan badan yang membagikannya karena pembagian
laba tersebut merupakan bagian dari penghasilan badan tersebut yang
akan dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang ini.

Huruf b

Tidak dapat dikurangkan
dari
penghasilan bruto perusahaan adalah biaya-biaya yang dikeluarkan atau
dibebankan oleh perusahaan untuk kepentingan pribadi pemegang saham,
sekutu atau anggota, seperti perbaikan rumah pribadi, biaya perjalanan,
biaya premi asuransi yang dibayar oleh perusahaan untuk kepentingan
pribadi para pemegang saham atau keluarganya.

Huruf c

Cukup jelas.

Huruf d

Premi untuk asuransi
kesehatan,
asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea
siswa yang dibayar sendiri oleh Wajib Pajak orang pribadi tidak boleh
dikurangkan dari penghasilan bruto, dan pada saat orang pribadi
dimaksud menerima penggantian atau santunan asuransi, penerimaan
tersebut bukan merupakan Objek Pajak.

Apabila premi asuransi
tersebut
dibayar atau ditanggung oleh pemberi kerja, maka bagi pemberi kerja
pembayaran tersebut boleh dibebankan sebagai biaya dan bagi pegawai
yang bersangkutan merupakan penghasilan yang merupakan Objek Pajak.

Huruf e

Sebagaimana telah
diuraikan dalam
penjelasan Pasal 4 ayat (3) huruf d, penggantian atau imbalan dalam
bentuk natura dan kenikmatan dianggap bukan merupakan objek pajak.
Selaras dengan hal tersebut, dalam ketentuan ini penggantian atau
imbalan dimaksud dianggap bukan merupakan pengeluaran yang dapat
dibebankan sebagai biaya bagi pemberi kerja. Namun, dengan atau
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan, pemberian natura dan kenikmatan
berikut ini dapat dikurangkan dari penghasilan bruto pemberi kerja dan
bukan merupakan penghasilan pegawai yang menerimanya:
  1. penggantian atau imbalan dalam bentuk natura atau
    kenikmatan yang
    diberikan berkenaan dengan pelaksanaan pekerjaan di daerah tersebut
    dalam rangka menunjang kebijakan pemerintah untuk mendorong pembangunan
    di daerah terpencil;
  2. pemberian natura dan kenikmatan yang merupakan keharusan
    dalam
    pelaksanaan pekerjaan sebagai sarana keselamatan kerja atau karena
    sifat pekerjaan tersebut mengharuskannya, seperti pakaian dan peralatan
    untuk keselamatan kerja, pakaian seragam petugas keamanan (satpam),
    antar jemput karyawan, serta penginapan untuk awak kapal dan yang
    sejenisnya; dan
  3. pemberian atau penyediaan makanan dan atau minuman bagi
    seluruh pegawai yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan.
Huruf f

Dalam hubungan pekerjaan,
kemungkinan
dapat terjadi pembayaran imbalan yang diberikan kepada pegawai yang
juga pemegang saham. Karena pada dasarnya pengeluaran untuk
mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang boleh dikurangkan
dari penghasilan bruto adalah pengeluaran yang jumlahnya wajar sesuai
dengan kelaziman usaha, berdasarkan ketentuan ini jumlah yang melebihi
kewajaran tersebut tidak boleh dibebankan sebagai biaya.
Misalnya, seorang tenaga ahli yang merupakan pemegang saham dari suatu
badan memberikan jasa kepada badan tersebut dengan memperoleh imbalan
sebesar Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).

Apabila untuk jasa yang sama yang diberikan oleh tenaga ahli lain yang
setara hanya dibayar sebesar Rp20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah),
jumlah sebesar Rp30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah) tidak boleh
dibebankan sebagai biaya. Bagi tenaga ahli yang juga sebagai pemegang
saham tersebut jumlah sebesar Rp30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah)
dimaksud dianggap sebagai dividen.

Huruf g

Cukup jelas.

Huruf h

Yang dimaksudkan dengan
Pajak
Penghasilan dalam ketentuan ini adalah Pajak Penghasilan yang terutang
oleh Wajib Pajak yang bersangkutan.

Huruf i

Biaya untuk keperluan
pribadi Wajib
Pajak atau orang yang menjadi tanggungannya, pada hakekatnya merupakan
penggunaan penghasilan oleh Wajib Pajak yang bersangkutan. Oleh karena
itu biaya tersebut tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto
perusahaan.

Huruf j

Anggota firma, persekutuan
dan
perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham
diperlakukan sebagai satu kesatuan, sehingga tidak ada imbalan sebagai
gaji.
Dengan demikian gaji yang diterima oleh anggota persekutuan, firma,
atau perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham, bukan
merupakan pembayaran yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto
badan tersebut.

Huruf k

Cukup jelas.

Ayat (2)

Sesuai dengan kelaziman
usaha,
pengeluaran yang mempunyai peranan terhadap penghasilan untuk beberapa
tahun, pembebanannya dilakukan sesuai dengan jumlah tahun lamanya
pengeluaran tersebut berperan terhadap penghasilan.
Sejalan dengan prinsip penyelarasan antara pengeluaran dengan
penghasilan, dalam ketentuan ini pengeluaran untuk mendapatkan,
menagih, dan memelihara penghasilan yang mempunyai masa manfaat lebih
dari 1 (satu) tahun tidak dapat dikurangkan sebagai biaya perusahaan
sekaligus pada tahun pengeluaran, melainkan dibebankan melalui
penyusutan dan amortisasi selama masa manfaatnya sebagaimana diatur
dalam Pasal 11 dan Pasal 11A.

Angka 9

Pasal 11

Ayat (1) dan ayat (2)

Pengeluaran untuk
memperoleh harta
berwujud yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun harus
dibebankan sebagai biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara
penghasilan dengan cara mengalokasikan pengeluaran tersebut selama masa
manfaat harta berwujud melalui penyusutan. Pengeluaran-pengeluaran
untuk memperoleh tanah hak milik, termasuk tanah berstatus hak guna
bangunan, hak guna usaha, dan hak pakai yang pertama kali tidak boleh
disusutkan, kecuali apabila tanah tersebut dipergunakan dalam
perusahaan atau dimiliki untuk memperoleh penghasilan dengan syarat
nilai tanah tersebut berkurang karena penggunaannya untuk memperoleh
penghasilan, misalnya tanah dipergunakan untuk perusahaan genteng,
perusahaan keramik, atau perusahaan batu bata.

Yang dimaksud dengan “pengeluaran untuk memperoleh tanah hak
guna
bangunan, hak guna usaha, dan hak pakai yang pertama kali”
adalah
biaya perolehan tanah berstatus hak guna bangunan, hak guna usaha, dan
hak pakai dari pihak ketiga dan pengurusan hak-hak tersebut dari
instansi yang berwenang untuk pertama kalinya, sedangkan biaya
perpanjangan hak guna bangunan, hak guna usaha, dan hak pakai
diamortisasikan selama jangka waktu hak-hak tersebut.

Metode penyusutan yang
dibolehkan berdasarkan ketentuan ini dilakukan:
  1. dalam bagian-bagian yang sama besar selama masa manfaat
    yang
    ditetapkan bagi harta tersebut (metode garis lurus atau straight-line
    method); atau
  2. dalam bagian-bagian yang menurun dengan cara menerapkan
    tarif
    penyusutan atas nilai sisa buku (metode saldo menurun atau declining
    balance method).
Penggunaan metode
penyusutan atas harta harus dilakukan secara taat asas.

Untuk harta berwujud berupa bangunan hanya dapat disusutkan dengan
metode garis lurus. Harta berwujud selain bangunan dapat disusutkan
dengan metode garis lurus atau metode saldo menurun.

Dalam hal Wajib Pajak memilih menggunakan metode saldo menurun, nilai
sisa buku pada akhir masa manfaat harus disusutkan sekaligus.

Sesuai dengan pembukuan Wajib Pajak, alat-alat kecil (small tools) yang
sama atau sejenis dapat disusutkan dalam satu golongan.

Contoh penggunaan metode garis lurus:

Sebuah gedung yang harga perolehannya Rp1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah) dan masa manfaatnya 20 (dua puluh) tahun, penyusutannya setiap
tahun adalah sebesar Rp50.000.000,00 (Rp1.000.000.000,00 : 20).

Contoh penggunaan metode saldo menurun:

Sebuah mesin yang dibeli dan ditempatkan pada bulan Januari 2009 dengan
harga perolehan sebesar Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh juta
rupiah). Masa manfaat dari mesin tersebut adalah 4 (empat) tahun. Kalau
tarif penyusutan misalnya ditetapkan 50% (lima puluh persen),
penghitungan penyusutannya adalah sebagai berikut.

Tahun Tarif Penyusutan Nilai
Sisa Buku
Harga
Perolehan

150.000.000,00

2009 50%
75.000.000,00
75.000.000,00
2010 50%
37.500.000,00
37.500.000,00
2011 50%
18.750.000,00
18.750.000,00
2012 Disusutkan
sekaligus
18.750.000,00
0

Ayat (3)

Penyusutan dimulai pada
bulan
dilakukannya pengeluaran atau pada bulan selesainya pengerjaan suatu
harta sehingga penyusutan pada tahun pertama dihitung secara pro-rata.

Contoh 1:

Pengeluaran untuk pembangunan sebuah gedung adalah sebesar
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Pembangunan dimulai pada bulan
Oktober 2009 dan selesai untuk digunakan pada bulan Maret 2010.
Penyusutan atas harga perolehan bangunan gedung tersebut dimulai pada
bulan Maret tahun pajak 2010.

Contoh 2:

Sebuah mesin yang dibeli dan ditempatkan pada bulan Juli 2009 dengan
harga perolehan sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Masa
manfaat dari mesin tersebut adalah 4 (empat) tahun. Kalau tarif
penyusutan misalnya ditetapkan 50% (lima puluh persen), maka
penghitungan penyusutannya adalah sebagai berikut.

Tahun Tarif Penyusutan Nilai
Sisa Buku
Harga
Perolehan

100.000.000,00

2009 6/12
x 50%
25.000.000,00
75.000.000,00
2010 50%
37.500.000,00
37.500.000,00
2011 50%
18.750.000,00
18.750.000,00
2012 50%
9.375.000,00
9.375.000,00
2013 Disusutkan
sekaligus
9.375.000,00
0

Ayat (4)

Berdasarkan persetujuan
Direktur
Jenderal Pajak, saat mulainya penyusutan dapat dilakukan pada bulan
harta tersebut digunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara
penghasilan atau pada bulan harta tersebut mulai menghasilkan. Saat
mulai menghasilkan dalam ketentuan ini dikaitkan dengan saat mulai
berproduksi dan tidak dikaitkan dengan saat diterima atau diperolehnya
penghasilan.

Contoh:

PT X yang bergerak di bidang perkebunan membeli traktor pada tahun
2009. Perkebunan tersebut mulai menghasilkan (panen) pada tahun 2010.
Dengan persetujuan Direktur Jenderal Pajak, penyusutan traktor tersebut
dapat dilakukan mulai tahun 2010.

Ayat (5)

Cukup jelas.

Ayat (6)

Untuk memberikan kepastian
hukum bagi
Wajib Pajak dalam melakukan penyusutan atas pengeluaran harta berwujud,
ketentuan ini mengatur kelompok masa manfaat harta dan tarif penyusutan
baik menurut metode garis lurus maupun saldo menurun.

Yang dimaksud dengan “bangunan tidak permanen”
adalah
bangunan yang bersifat sementara dan terbuat dari bahan yang tidak
tahan lama atau bangunan yang dapat dipindah-pindahkan, yang masa
manfaatnya tidak lebih dari 10 (sepuluh) tahun, misalnya barak atau
asrama yang dibuat dari kayu untuk karyawan.

Ayat (7)

Dalam rangka menyesuaikan
dengan
karakteristik bidang-bidang usaha tertentu, seperti perkebunan tanaman
keras, kehutanan, dan peternakan, perlu diberikan pengaturan tersendiri
untuk penyusutan harta berwujud yang digunakan dalam bidang-bidang
usaha tertentu tersebut yang ketentuannya diatur dengan atau
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

Ayat (8) dan ayat (9)

Pada dasarnya keuntungan
atau kerugian karena pengalihan harta dikenai pajak dalam tahun
dilakukannya pengalihan harta tersebut.

Apabila harta tersebut dijual atau terbakar, maka penerimaan neto dari
penjualan harta tersebut, yaitu selisih antara harga penjualan dan
biaya yang dikeluarkan berkenaan dengan penjualan tersebut dan atau
penggantian asuransinya, dibukukan sebagai penghasilan pada tahun
terjadinya penjualan atau tahun diterimanya penggantian asuransi, dan
nilai sisa buku dari harta tersebut dibebankan sebagai kerugian dalam
tahun pajak yang bersangkutan.

Dalam hal penggantian asuransi yang diterima jumlahnya baru dapat
diketahui dengan pasti pada masa kemudian, Wajib Pajak dapat mengajukan
permohonan kepada Direktur Jenderal Pajak agar jumlah sebesar kerugian
tersebut dapat dibebankan dalam tahun penggantian asuransi tersebut.

Ayat (10)

Menyimpang dari ketentuan
sebagaimana
dimaksud dalam ayat (8), dalam hal pengalihan harta berwujud yang
memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan
huruf b, nilai sisa bukunya tidak boleh dibebankan sebagai kerugian
oleh pihak yang mengalihkan.

Ayat (11)

Dalam rangka memberikan
keseragaman
kepada Wajib Pajak untuk melakukan penyusutan, Menteri Keuangan diberi
wewenang menetapkan jenis-jenis harta yang termasuk dalam setiap
kelompok dan masa manfaat yang harus diikuti oleh Wajib Pajak.

Angka 10

Pasal 11A

Ayat (1)

Harga perolehan harta tak
berwujud dan
pengeluaran lainnya termasuk biaya perpanjangan hak guna bangunan, hak
guna usaha, hak pakai, dan muhibah (goodwill)
yang mempunyai masa
manfaat lebih dari 1 (satu) tahun diamortisasi dengan metode:
  1. dalam bagian-bagian yang sama setiap tahun selama masa
    manfaat; atau
  2. dalam bagian-bagian yang menurun setiap tahun dengan cara
    menerapkan tarif amortisasi atas nilai sisa buku.
Khusus untuk amortisasi
harta tak
berwujud yang menggunakan metode saldo menurun, pada akhir masa manfaat
nilai sisa buku harta tak berwujud atau hak-hak tersebut diamortisasi
sekaligus.

Ayat (1a)

Amortisasi dimulai pada
bulan dilakukannya pengeluaran sehingga amortisasi pada tahun pertama
dihitung secara prorata.

Dalam rangka menyesuaikan dengan karakteristik bidang-bidang usaha
tertentu perlu diberikan pengaturan tersendiri untuk amortisasi yang
ketentuannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan.

Ayat (2)

Penentuan masa manfaat dan
tarif
amortisasi atas pengeluaran harta tak berwujud dimaksudkan untuk
memberikan keseragaman bagi Wajib Pajak dalam melakukan amortisasi.
Wajib Pajak dapat melakukan amortisasi sesuai dengan metode yang
dipilihnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan masa manfaat
yang sebenarnya dari tiap harta tak berwujud. Tarif amortisasi yang
diterapkan didasarkan pada kelompok masa manfaat sebagaimana yang
diatur dalam ketentuan ini. Untuk harta tidak berwujud yang masa
manfaatnya tidak tercantum pada kelompok masa manfaat yang
ada,
maka Wajib Pajak menggunakan masa manfaat yang terdekat. Misalnya harta
tak berwujud dengan masa manfaat yang sebenarnya 6 (enam) tahun dapat
menggunakan kelompok masa manfaat 4 (empat) tahun atau 8 (delapan)
tahun. Dalam hal masa manfaat yang sebenarnya 5 (lima) tahun, maka
harta tak berwujud tersebut diamortisasi dengan menggunakan kelompok
masa manfaat 4 (empat) tahun.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Metode satuan produksi
dilakukan dengan
menerapkan persentase tarif amortisasi yang besarnya setiap tahun sama
dengan persentase perbandingan antara realisasi penambangan minyak dan
gas bumi pada tahun yang bersangkutan dengan taksiran jumlah seluruh
kandungan minyak dan gas bumi di lokasi tersebut yang dapat diproduksi.

Apabila ternyata jumlah
produksi yang
sebenarnya lebih kecil dari yang diperkirakan, sehingga masih terdapat
sisa pengeluaran untuk memperoleh hak atau pengeluaran lain, maka atas
sisa pengeluaran tersebut boleh dibebankan sekaligus dalam tahun pajak
yang bersangkutan.

Ayat (5)

Pengeluaran untuk
memperoleh hak
penambangan selain minyak dan gas bumi, hak pengusahaan hutan, dan hak
pengusahaan sumber alam serta hasil alam lainnya seperti hak
pengusahaan hasil laut diamortisasi berdasarkan metode satuan produksi
dengan jumlah paling tinggi 20% (dua puluh persen) setahun.

Contoh:

Pengeluaran untuk memperoleh hak pengusahaan hutan, yang mempunyai
potensi 10.000.000 (sepuluh juta) ton kayu, sebesar Rp500.000.000,00
(lima ratus juta rupiah) diamortisasi sesuai dengan persentase satuan
produksi yang direalisasikan dalam tahun yang bersangkutan. Jika dalam
1 (satu) tahun pajak ternyata jumlah produksi mencapai 3.000.000 (tiga
juta) ton yang berarti 30% (tiga puluh persen) dari potensi yang
tersedia, walaupun jumlah produksi pada tahun tersebut mencapai 30%
(tiga puluh persen) dari jumlah potensi yang tersedia, besarnya
amortisasi yang diperkenankan untuk dikurangkan dari penghasilan bruto
pada tahun tersebut adalah 20% (dua puluh persen) dari pengeluaran atau
Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

Ayat (6)

Dalam pengertian
pengeluaran yang
dilakukan sebelum operasi komersial, adalah biaya-biaya yang
dikeluarkan sebelum operasi komersial, misalnya biaya studi kelayakan
dan biaya produksi percobaan tetapi tidak termasuk biaya-biaya
operasional yang sifatnya rutin, seperti gaji pegawai, biaya rekening
listrik dan telepon, dan biaya kantor lainnya. Untuk pengeluaran
operasional yang rutin ini tidak boleh dikapitalisasi tetapi dibebankan
sekaligus pada tahun pengeluaran.

Ayat (7)

Contoh:

PT X mengeluarkan biaya untuk memperoleh hak penambangan minyak dan gas
bumi di suatu lokasi sebesar Rp500.000.000,00. Taksiran jumlah
kandungan minyak di daerah tersebut adalah sebanyak 200.000.000 (dua
ratus juta) barel. Setelah produksi minyak dan gas bumi mencapai
100.000.000 (seratus juta) barel, PT X menjual hak penambangan tersebut
kepada pihak lain dengan harga sebesar Rp300.000.000,00. Penghitungan
penghasilan dan kerugian dari penjualan hak tersebut adalah sebagai
berikut:

Harga
perolehan
Rp 500.000.000,00
Amortisasi
yang telah dilakukan:
100.000.000/200.000.000
barel (50%)
Rp 250.000.000,00
Nilai
buku harta
Rp 250.000.000,00
Harga
jual harta
Rp 300.000.000,00

Dengan demikian jumlah
nilai sisa buku sebesar Rp 250.000.000,00
dibebankan sebagai kerugian dan jumlah sebesar Rp300.000.000,00
dibukukan sebagai penghasilan.

Ayat (8)

Cukup jelas.

Angka 11

Pasal 14
Informasi yang benar dan
lengkap
tentang penghasilan Wajib Pajak sangat penting untuk dapat mengenakan
pajak yang adil dan wajar sesuai dengan kemampuan ekonomis Wajib Pajak.
Untuk dapat menyajikan informasi dimaksud, Wajib Pajak harus
menyelenggarakan pembukuan. Namun, disadari bahwa tidak semua Wajib
Pajak mampu menyelenggarakan pembukuan.
Semua Wajib Pajak badan dan bentuk usaha tetap diwajibkan
menyelenggarakan pembukuan. Wajib Pajak orang pribadi yang
menjalankan usaha atau melakukan pekerjaan bebas dengan jumlah
peredaran bruto tertentu tidak diwajibkan untuk menyelenggarakan
pembukuan.

Untuk memberikan kemudahan dalam menghitung besarnya penghasilan neto
bagi Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan
bebas dengan peredaran bruto tertentu, Direktur Jenderal Pajak
menerbitkan norma penghitungan.

Ayat (1)

Norma Penghitungan adalah
pedoman untuk
menentukan besarnya penghasilan neto yang diterbitkan oleh Direktur
Jenderal Pajak dan disempurnakan terus-menerus. Penggunaan Norma
Penghitungan tersebut pada dasarnya dilakukan dalam hal-hal:
  1. tidak terdapat dasar penghitungan yang lebih baik, yaitu
    pembukuan yang lengkap, atau
  2. pembukuan atau catatan peredaran bruto Wajib Pajak ternyata
    diselenggarakan secara tidak benar.
Norma Penghitungan
disusun sedemikian rupa berdasarkan hasil penelitian atau data lain,
dan dengan memperhatikan kewajaran.

Norma Penghitungan akan sangat membantu Wajib Pajak yang belum mampu
menyelenggarakan pembukuan untuk menghitung penghasilan neto.

Ayat (2)

Norma Penghitungan
Penghasilan Neto
hanya boleh digunakan oleh Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan
kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang peredaran brutonya kurang dari
jumlah Rp 4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah).
Untuk dapat menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto tersebut,
Wajib Pajak orang pribadi harus memberitahukan kepada Direktur Jenderal
Pajak dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan pertama dari tahun pajak yang
bersangkutan.

Ayat (3)

Wajib Pajak orang pribadi
yang
menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto tersebut wajib
menyelenggarakan pencatatan tentang peredaran brutonya sebagaimana
diatur dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai ketentuan umum dan
tata cara perpajakan.

Pencatatan tersebut dimaksudkan untuk memudahkan penerapan norma dalam
menghitung penghasilan neto.

Ayat (4)

Apabila Wajib Pajak orang
pribadi yang
berhak bermaksud untuk menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto,
tetapi tidak memberitahukannya kepada Direktur Jenderal Pajak dalam
jangka waktu yang ditentukan, Wajib Pajak tersebut dianggap memilih
menyelenggarakan pembukuan.

Ayat (5)

Wajib Pajak yang wajib
menyelenggarakan
pembukuan, wajib menyelenggarakan pencatatan, atau dianggap memilih
menyelenggarakan pembukuan, tetapi:
  1. tidak atau tidak sepenuhnya menyelenggarakan kewajiban
    pencatatan atau pembukuan; atau
  2. tidak bersedia memperlihatkan pembukuan atau pencatatan
    atau bukti-bukti pendukungnya pada waktu dilakukan pemeriksaan
sehingga mengakibatkan
peredaran bruto
dan penghasilan neto yang sebenarnya tidak diketahui maka peredaran
bruto Wajib Pajak yang bersangkutan dihitung dengan cara lain yang
diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan dan
penghasilan netonya dihitung dengan menggunakan Norma Penghitungan
Penghasilan Neto.

Ayat (6)

Cukup jelas.

Ayat (7)

Menteri Keuangan dapat
menyesuaikan
besarnya batas peredaran bruto sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dengan memerhatikan perkembangan ekonomi dan kemampuan masyarakat Wajib
Pajak untuk menyelenggarakan pembukuan.

Angka 12

Pasal 16

Penghasilan Kena Pajak
merupakan dasar
penghitungan untuk menentukan besarnya Pajak Penghasilan yang terutang.
Dalam Undang-Undang ini dikenal dua golongan Wajib Pajak, yaitu Wajib
Pajak dalam negeri dan Wajib Pajak luar negeri.
Bagi Wajib Pajak dalam
negeri pada
dasarnya terdapat dua cara untuk menentukan besarnya Penghasilan Kena
Pajak, yaitu penghitungan dengan cara biasa dan penghitungan dengan
menggunakan Norma Penghitungan.

Di samping itu terdapat cara penghitungan dengan mempergunakan Norma
Penghitungan Khusus, yang diperuntukkan bagi Wajib Pajak tertentu yang
diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

Bagi Wajib Pajak luar negeri penentuan besarnya Penghasilan Kena Pajak
dibedakan antara:

  1. Wajib Pajak luar negeri yang menjalankan usaha atau
    melakukan kegiatan melalui suatu bentuk usaha tetap di Indonesia; dan
  2. Wajib Pajak luar negeri lainnya.
Ayat (1)

Bagi Wajib Pajak dalam
negeri yang
menyelenggarakan pembukuan, Penghasilan Kena Pajaknya dihitung dengan
menggunakan cara penghitungan biasa dengan contoh sebagai berikut.

Peredaran
bruto
Rp6.000.000.000,00
Biaya
untuk mendapatkan, menagih,
dan memelihara penghasilan

Rp5.400.000.000,00(-)
Laba
usaha (penghasilan neto usaha)
Rp
600.000.000,00
Penghasilan
lainnya
Rp50.000.000,00
Biaya
untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan lainnya tersebut
Rp30.000.000,00(-)
Rp
20.000.000,00(+)
Jumlah
seluruh penghasilan neto
Rp
620.000.000,00
Kompensasi
kerugian
Rp
10.000.000,00(-)
Penghasilan
Kena Pajak
(bagi Wajib Pajak badan)
Rp 610.000.000,00
Pengurangan
berupa Penghasilan Tidak Kena Pajak untuk Wajib Pajak orang pribadi
(isteri + 2 anak)

Rp
19.800.000,00(-)

Penghasilan
Kena Pajak
(bagi
Wajib Pajak orang pribadi)
Rp
590.200. 000,00

Ayat (2)
Bagi Wajib Pajak orang
pribadi yang
berhak untuk tidak menyelenggarakan pembukuan, Penghasilan Kena
Pajaknya dihitung dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan
Neto dengan contoh sebagai berikut.

Peredaran
bruto
Rp
4.000.000.000,00
Penghasilan
neto (menurut Norma
Penghitungan) misalnya 20%
Rp 800.000.000,00
Penghasilan
neto lainnya
Rp
5.000.000,00 (+)
Jumlah
seluruh penghasilan neto
Rp
805.000.000,00
Penghasilan
Tidak Kena Pajak
(isteri + 3 anak)
Rp
21.120.000,00 (-)
Penghasilan
Kena Pajak
Rp
783.880.000,00

Ayat (3)
Bagi Wajib Pajak luar
negeri yang
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui suatu bentuk usaha
tetap di Indonesia, cara penghitungan Penghasilan Kena Pajaknya pada
dasarnya sama dengan cara penghitungan Penghasilan Kena Pajak bagi
Wajib Pajak badan dalam negeri. Karena bentuk usaha tetap
berkewajiban untuk menyelenggarakan pembukuan, Penghasilan Kena
Pajaknya dihitung dengan cara penghitungan biasa.

Contoh:

Peredaran
bruto
Rp10.000.000.000,00
Biaya
untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan

Rp 8.000.000.000,00(-)
Rp
2.000.000.000,00
Penghasilan
bunga
Rp
50.000.000,00
Penjualan
langsung barang yang sejenis dengan barang yang dijual bentuk usaha
tetap oleh kantor pusat

Rp 2.000.000.000,00

Biaya
untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan
Rp1.500.000.000,00(-)
Rp
500.000.000,00
Dividen
yang diterima atau diperoleh kantor pusat yang mempunyai hubungan
efektif dengan bentuk usaha tetap

Rp1.000.000.000,00(+)

Rp3.550.000.000,00
Biaya-biaya
menurut Pasal 5 ayat (3)
Rp
450.000.000,00(-)
Penghasilan
Kena Pajak
Rp3.100.000.000,00

Ayat (4)

Contoh:

Orang pribadi tidak kawin yang kewajiban pajak subjektifnya sebagai
subjek pajak dalam negeri adalah 3 (tiga) bulan dan dalam jangka waktu
tersebut memperoleh penghasilan sebesar Rp150.000.000,00 (seratus lima
puluh juta rupiah) maka penghitungan Penghasilan Kena Pajaknya adalah
sebagai berikut.

Penghasilan
selama 3 (tiga) bulan
Rp
150.000.000,00
Penghasilan
setahun sebesar:
(360
: (3×30)) x Rp150.000.000,00
Rp
600.000.000,00
Penghasilan
Tidak Kena Pajak
Rp
15.840.000,00(-)
Penghasilan
Kena Pajak
Rp
584.160.000,00

Angka 13

Pasal 17

Ayat (1)

Huruf a

Contoh penghitungan pajak
yang terutang untuk Wajib Pajak orang pribadi:
Jumlah Penghasilan Kena Pajak Rp 600.000.000,00.
Pajak Penghasilan yang terutang:

5%
x Rp50.000.000,00
= Rp
2.500.000,00
15%
x Rp200.000.000,00
= Rp
30.000.000,00
25%
x Rp250.000.000,00
= Rp
62.500.000,00
30%
x Rp100.000.000,00
= Rp
30.000.000,00 (+)
Rp125.000.000,00

Huruf b

Contoh penghitungan pajak
yang terutang untuk Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha
tetap:

Jumlah Penghasilan Kena Pajak Rp1.250.000.000,00
Pajak Penghasilan yang terutang:
28% x Rp1.250.000.000,00 = Rp350.000.000,00

Ayat (2)

Perubahan tarif
sebagaimana dimaksud
pada ayat ini akan diberlakukan secara nasional dimulai per 1 Januari,
diumumkan selambat-lambatnya 1 (satu) bulan sebelum tarif baru itu
berlaku efektif, serta dikemukakan oleh Pemerintah kepada Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia untuk dibahas dalam rangka
penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

Ayat (2a)

Cukup jelas.

Ayat (2b)

Cukup jelas.

Ayat (2c)

Cukup jelas.

Ayat (2d)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Besarnya lapisan
Penghasilan Kena Pajak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a tersebut akan disesuaikan
dengan faktor penyesuaian, antara lain tingkat inflasi, yang ditetapkan
dengan Keputusan Menteri Keuangan.

Ayat (4)

Contoh:

Penghasilan Kena Pajak sebesar Rp 5.050.900,00 untuk penerapan tarif
dibulatkan ke bawah menjadi Rp 5.050.000,00.

Ayat (5) dan ayat (6)

Contoh:

Penghasilan Kena Pajak setahun (dihitung sesuai dengan ketentuan dalam
Pasal 16 ayat (4)): Rp 584.160.000,00
Pajak Penghasilan setahun:

5%
x Rp 50.000.000,00
= Rp
2.500.000,00
15%
x Rp 200.000.000,00
= Rp
30.000.000,00
25%
x Rp 250.000.000,00
= Rp
62.500.000,00
30%
x Rp 84.160.000,00
=
Rp 25.248.000,00 (+)
Rp 120.248.000,00

Pajak Penghasilan yang
terutang dalam bagian tahun pajak (3 bulan)
((3 x 30) : 360) x Rp120.248.000,00 = Rp 30.062.000,00

Ayat (7)

Ketentuan pada ayat ini
memberi
wewenang kepada Pemerintah untuk menentukan tarif pajak tersendiri yang
dapat bersifat final atas jenis penghasilan tertentu sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2), sepanjang tidak lebih tinggi dari
tarif pajak tertinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Penentuan
tarif pajak tersendiri tersebut didasarkan atas pertimbangan
kesederhanaan, keadilan, dan pemerataan dalam pengenaan pajak.

Angka 14

Pasal 18

Ayat (1)

Undang-Undang ini memberi
wewenang
kepada Menteri Keuangan untuk memberi keputusan tentang besarnya
perbandingan antara utang dan modal perusahaan yang dapat dibenarkan
untuk keperluan penghitungan pajak. Dalam dunia usaha terdapat tingkat
perbandingan tertentu yang wajar mengenai besarnya perbandingan antara
utang dan modal (debt to
equity ratio). Apabila perbandingan antara
utang dan modal sangat besar melebihi batas-batas kewajaran, pada
umumnya perusahaan tersebut dalam keadaan tidak sehat. Dalam hal
demikian, untuk penghitungan Penghasilan Kena Pajak, Undang-Undang ini
menentukan adanya modal terselubung.

Istilah modal di sini menunjuk
kepada istilah atau pengertian ekuitas menurut standar akuntansi,
sedangkan yang dimaksud dengan “kewajaran atau kelaziman
usaha” adalah adat kebiasaan atau praktik menjalankan usaha
atau
melakukan kegiatan yang sehat dalam dunia usaha.

Ayat (2)

Dengan makin berkembangnya
ekonomi dan
perdagangan internasional sejalan dengan era globalisasi dapat terjadi
bahwa Wajib Pajak dalam negeri menanamkan modalnya di luar negeri.
Untuk mengurangi kemungkinan penghindaran pajak, terhadap penanaman
modal di luar negeri selain pada badan usaha yang menjual sahamnya di
bursa efek, Menteri Keuangan berwenang untuk menentukan saat
diperolehnya dividen.

Contoh:

PT A dan PT B masing-masing memiliki saham sebesar 40% dan 20% pada X
Ltd. yang bertempat kedudukan di negara Q. Saham X Ltd. tersebut tidak
diperdagangkan di bursa efek. Dalam tahun 2009 X Ltd. memperoleh laba
setelah pajak sejumlah Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Dalam hal demikian, Menteri Keuangan berwenang menetapkan saat
diperolehnya dividen dan dasar penghitungannya.

Ayat (3)

Maksud diadakannya
ketentuan ini adalah
untuk mencegah terjadinya penghindaran pajak yang dapat terjadi karena
adanya hubungan istimewa. Apabila terdapat hubungan istimewa,
kemungkinan dapat terjadi penghasilan dilaporkan kurang dari semestinya
ataupun pembebanan biaya melebihi dari yang seharusnya. Dalam hal
demikian, Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan kembali
besarnya penghasilan dan/atau biaya sesuai dengan keadaan seandainya di
antara para Wajib Pajak tersebut tidak terdapat hubungan istimewa.
Dalam menentukan kembali jumlah penghasilan dan/atau biaya tersebut
digunakan metode perbandingan harga antara pihak yang independen
(comparable uncontrolled
price method), metode harga penjualan kembali
(resale price method),
metode biaya-plus (cost-plus
method), atau
metode lainnya seperti metode pembagian laba (profit split method)
dan
metode laba bersih transaksional (transactional
net margin method).

Demikian pula kemungkinan
terdapat
penyertaan modal secara terselubung, dengan menyatakan penyertaan modal
tersebut sebagai utang maka Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk
menentukan utang tersebut sebagai modal perusahaan. Penentuan tersebut
dapat dilakukan, misalnya melalui indikasi mengenai perbandingan antara
modal dan utang yang lazim terjadi di antara para pihak yang tidak
dipengaruhi oleh hubungan istimewa atau berdasar data atau indikasi
lainnya.

Dengan demikian, bunga yang dibayarkan sehubungan dengan utang yang
dianggap sebagai penyertaan modal itu tidak diperbolehkan untuk
dikurangkan, sedangkan bagi pemegang saham yang menerima atau
memperoleh bunga tersebut dianggap sebagai dividen yang dikenai pajak.

Ayat (3a)

Kesepakatan harga transfer
(Advance
Pricing Agreement/APA) adalah kesepakatan antara Wajib
Pajak dan
Direktur Jenderal Pajak mengenai harga jual wajar produk yang
dihasilkannya kepada pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa
(related parties)
dengannya. Tujuan diadakannya APA adalah untuk
mengurangi terjadinya praktik penyalahgunaan transfer pricing
oleh
perusahaan multi nasional. Persetujuan antara Wajib Pajak dan Direktur
Jenderal Pajak tersebut dapat mencakup beberapa hal, antara lain harga
jual produk yang dihasilkan, dan jumlah royalti dan lain-lain,
tergantung pada kesepakatan. Keuntungan dari APA selain memberikan
kepastian hukum dan kemudahan penghitungan pajak, Fiskus tidak perlu
melakukan koreksi atas harga jual dan keuntungan produk yang dijual
Wajib Pajak kepada perusahaan dalam grup yang sama. APA dapat bersifat
unilateral, yaitu merupakan kesepakatan antara Direktur Jenderal Pajak
dengan Wajib Pajak atau bilateral, yaitu kesepakatan Direktur Jenderal
Pajak dengan otoritas perpajakan negara lain yang menyangkut Wajib
Pajak yang berada di wilayah yurisdiksinya.

Ayat (3b)

Ketentuan ini dimaksudkan
untuk
mencegah penghindaran pajak oleh Wajib Pajak yang melakukan pembelian
saham/penyertaan pada suatu perusahaan Wajib Pajak dalam negeri melalui
perusahaan luar negeri yang didirikan khusus untuk tujuan tersebut
(special purpose company).

Ayat (3c)

Contoh:

X Ltd. yang didirikan dan berkedudukan di negara A, sebuah negara yang
memberikan perlindungan pajak (tax
haven country), memiliki 95%
(sembilan puluh lima persen) saham PT X yang didirikan dan bertempat
kedudukan di Indonesia. X Ltd. ini adalah suatu perusahaan antara
(conduit company)
yang didirikan dan dimiliki sepenuhnya oleh Y Co.,
sebuah perusahaan di negara B, dengan tujuan sebagai perusahaan antara
dalam kepemilikannya atas mayoritas saham PT X.

Apabila Y Co. menjual seluruh kepemilikannya atas saham X Ltd. kepada
PT Z yang merupakan Wajib Pajak dalam negeri, secara legal formal
transaksi di atas merupakan pengalihan saham perusahaan luar negeri
oleh Wajib Pajak luar negeri.
Namun, pada hakikatnya transaksi ini merupakan pengalihan kepemilikan
(saham) perseroan Wajib Pajak dalam negeri oleh Wajib Pajak luar negeri
sehingga atas penghasilan dari pengalihan ini terutang Pajak
Penghasilan.

Ayat (3d)

Cukup jelas.

Ayat (3e)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Hubungan istimewa di
antara Wajib Pajak
dapat terjadi karena ketergantungan atau keterikatan satu dengan yang
lain yang disebabkan:
  1. kepemilikan atau penyertaan modal; atau
  2. adanya penguasaan melalui manajemen atau penggunaan
    teknologi.
Selain karena hal-hal
tersebut,
hubungan istimewa di antara Wajib Pajak orang pribadi dapat pula
terjadi karena adanya hubungan darah atau perkawinan.

Huruf a

Hubungan istimewa dianggap
ada apabila
terdapat hubungan kepemilikan yang berupa penyertaan modal sebesar 25%
(dua puluh lima persen) atau lebih secara langsung ataupun tidak
langsung.

Misalnya, PT A mempunyai 50% (lima puluh persen) saham PT B. Pemilikan
saham oleh PT A merupakan penyertaan langsung.

Selanjutnya, apabila PT B mempunyai 50% (lima puluh persen) saham PT C,
PT A sebagai pemegang saham PT B secara tidak langsung mempunyai
penyertaan pada PT C sebesar 25% (dua puluh lima persen). Dalam hal
demikian, antara PT A, PT B, dan PT C dianggap terdapat hubungan
istimewa. Apabila PT A juga memiliki 25% (dua puluh lima persen) saham
PT D, antara PT B, PT C, dan PT D dianggap terdapat hubungan istimewa.

Hubungan kepemilikan seperti di atas dapat juga terjadi antara orang
pribadi dan badan.

Huruf b

Hubungan istimewa di
antara Wajib Pajak
dapat juga terjadi karena penguasaan melalui manajemen atau penggunaan
teknologi walaupun tidak terdapat hubungan kepemilikan.

Hubungan istimewa dianggap ada apabila satu atau lebih perusahaan
berada di bawah penguasaan yang sama. Demikian juga hubungan di antara
beberapa perusahaan yang berada dalam penguasaan yang sama tersebut.

Huruf c

Yang dimaksud dengan
“hubungan
keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat”
adalah
ayah, ibu, dan anak, sedangkan “hubungan keluarga sedarah
dalam
garis keturunan ke samping satu derajat” adalah saudara.

Yang dimaksud dengan “keluarga semenda dalam garis keturunan
lurus satu derajat” adalah mertua dan anak tiri, sedangkan
“hubungan keluarga semenda dalam garis keturunan ke samping
satu
derajat” adalah ipar.

Ayat (5)

Cukup jelas.

Angka 15

Pasal 19

Ayat (1)

Adanya perkembangan harga
yang mencolok
atau perubahan kebijakan di bidang moneter dapat menyebabkan
kekurangserasian antara biaya dan penghasilan, yang dapat mengakibatkan
timbulnya beban pajak yang kurang wajar.
Dalam keadaan demikian, Menteri Keuangan diberi wewenang menetapkan
peraturan tentang penilaian kembali aktiva tetap (revaluasi) atau
indeksasi biaya dan penghasilan.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Angka 16
Pasal 21
Ayat (1)

Ketentuan ini mengatur
tentang
pembayaran pajak dalam tahun berjalan melalui pemotongan pajak atas
penghasilan yang diterima atau diperoleh oleh Wajib Pajak orang pribadi
dalam negeri sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan. Pihak
yang wajib melakukan pemotongan pajak adalah pemberi kerja, bendahara
pemerintah, dana pensiun, badan, perusahaan, dan penyelenggara kegiatan.

Huruf a

Pemberi kerja yang wajib
melakukan
pemotongan pajak adalah orang pribadi ataupun badan yang merupakan
induk, cabang, perwakilan, atau unit perusahaan yang membayar atau
terutang gaji, upah, tunjangan, honorarium, dan pembayaran lain dengan
nama apa pun kepada pengurus, pegawai atau bukan pegawai sebagai
imbalan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan yang
dilakukan. Dalam pengertian pemberi kerja termasuk juga organisasi
internasional yang tidak dikecualikan dari kewajiban memotong pajak.

Yang dimaksud dengan “pembayaran lain” adalah
pembayaran
dengan nama apa pun selain gaji, upah, tunjangan, honorarium, dan
pembayaran lain, seperti bonus, gratifikasi, dan tantiem.

Yang dimaksud dengan “bukan pegawai” adalah orang
pribadi
yang menerima atau memperoleh penghasilan dari pemberi kerja sehubungan
dengan ikatan kerja tidak tetap, misalnya artis yang menerima atau
memperoleh honorarium dari pemberi kerja.

Huruf b

Bendahara pemerintah
termasuk bendahara
Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, instansi atau lembaga pemerintah,
lembaga-lembaga negara lainnya, dan Kedutaan Besar Republik Indonesia
di luar negeri yang membayar gaji, upah, tunjangan, honorarium, dan
pembayaran lain sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan.

Yang termasuk juga dalam pengertian bendahara adalah pemegang kas dan
pejabat lain yang menjalankan fungsi yang sama.

Huruf c

Yang termasuk
“badan lain”,
misalnya, adalah badan penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja yang
membayarkan uang pensiun, tunjangan hari tua, tabungan hari tua, dan
pembayaran lain yang sejenis dengan nama apa pun.

Yang termasuk dalam pengertian uang pensiun atau pembayaran lain adalah
tunjangan-tunjangan baik yang dibayarkan secara berkala ataupun tidak
yang dibayarkan kepada penerima pensiun, penerima tunjangan hari tua,
dan penerima tabungan hari tua.

Huruf d

Yang termasuk dalam
pengertian badan adalah organisasi internasional yang tidak
dikecualikan berdasarkan ayat (2).
Yang termasuk tenaga ahli orang pribadi, misalnya, adalah dokter,
pengacara, dan akuntan, yang melakukan pekerjaan bebas dan bertindak
untuk dan atas namanya sendiri, bukan untuk dan atas nama
persekutuannya.

Huruf e

Penyelenggara kegiatan
wajib memotong
pajak atas pembayaran hadiah atau penghargaan dalam bentuk apa pun yang
diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri
berkenaan dengan suatu kegiatan. Dalam pengertian penyelenggara
kegiatan termasuk antara lain badan, badan pemerintah, organisasi
termasuk organisasi internasional, perkumpulan, orang pribadi, serta
lembaga lainnya yang menyelenggarakan kegiatan. Kegiatan yang
diselenggarakan, misalnya kegiatan olahraga, keagamaan, dan kesenian.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Bagi pegawai tetap
besarnya penghasilan
yang dipotong pajak adalah penghasilan bruto dikurangi dengan biaya
jabatan, iuran pensiun, dan Penghasilan Tidak Kena Pajak. Dalam
pengertian iuran pensiun termasuk juga iuran tunjangan hari tua atau
tabungan hari tua yang dibayar oleh pegawai.

Bagi pensiunan besarnya penghasilan yang dipotong pajak adalah jumlah
penghasilan bruto dikurangi dengan biaya pensiun dan Penghasilan Tidak
Kena Pajak. Dalam pengertian pensiunan termasuk juga penerima tunjangan
hari tua atau tabungan hari tua.

Ayat (4)

Besarnya penghasilan yang
dipotong
pajak bagi pegawai harian, mingguan, serta pegawai tidak tetap lainnya
adalah jumlah penghasilan bruto dikurangi dengan bagian penghasilan
yang tidak dikenai pemotongan yang besarnya ditetapkan dengan Peraturan
Menteri Keuangan, dengan memerhatikan Penghasilan Tidak Kena Pajak yang
berlaku.

Ayat (5)

Cukup jelas.

Ayat (5a)

Kepemilikan Nomor Pokok
Wajib Pajak (NPWP) dapat dibuktikan oleh Wajib Pajak, antara lain,
dengan cara menunjukkan kartu NPWP.

Contoh:

Penghasilan Kena Pajak sebesar Rp 75.000.000,00

Pajak Penghasilan yang harus dipotong bagi Wajib Pajak yang memiliki
NPWP adalah:

5%
x Rp50.000.000,00
=
Rp2.500.000,00
15%
x Rp25.000.000,00
= Rp3.750.000,00 (+)
Jumlah Rp6.250.000,00

Pajak Penghasilan yang
harus dipotong jika Wajib Pajak tidak memiliki NPWP adalah:

5%
x 120% x Rp50.000.000,00
=
Rp3.000.000,00
15%
x 120% x Rp25.000.000,00
= Rp4.500.000,00 (+)
Jumlah Rp7.500.000,00

Ayat (6)

Cukup jelas.

Ayat (7)

Cukup jelas.

Ayat (8)

Cukup jelas.

Angka 17

Pasal 22

Ayat (1)

Berdasarkan ketentuan ini, yang dapat ditunjuk sebagai pemungut pajak
adalah:

bendahara
pemerintah, termasuk bendahara pada Pemerintah Pusat,
Pemerintah Daerah, instansi atau lembaga pemerintah, dan
lembaga-lembaga negara lainnya, berkenaan dengan pembayaran atas
penyerahan barang, termasuk juga dalam pengertian bendahara adalah
pemegang kas dan pejabat lain yang menjalankan fungsi yang sama;
badan-badan
tertentu, baik badan pemerintah maupun swasta, berkenaan
dengan kegiatan di bidang impor atau kegiatan usaha di bidang lain,
seperti kegiatan usaha produksi barang tertentu antara lain otomotif
dan semen; dan
Wajib
Pajak badan tertentu untuk memungut pajak dari pembeli atas
penjualan barang yang tergolong sangat mewah. Pemungutan pajak oleh
Wajib Pajak badan tertentu ini akan dikenakan terhadap pembelian barang
yang memenuhi kriteria tertentu sebagai barang yang tergolong sangat
mewah baik dilihat dari jenis barangnya maupun harganya, seperti kapal
pesiar, rumah sangat mewah, apartemen dan kondominium sangat mewah,
serta kendaraan sangat mewah.

Dalam pelaksanaan
ketentuan ini Menteri Keuangan mempertimbangkan, antara lain:

penunjukan
pemungut pajak secara selektif, demi pelaksanaan pemungutan pajak
secara efektif dan efisien;
tidak
mengganggu kelancaran lalu lintas barang; dan
prosedur
pemungutan yang sederhana sehingga mudah dilaksanakan.

Pemungutan pajak
berdasarkan ketentuan ini dimaksudkan untuk
meningkatkan peran serta masyarakat dalam pengumpulan dana melalui
sistem pembayaran pajak dan untuk tujuan kesederhanaan, kemudahan, dan
pengenaan pajak yang tepat waktu. Sehubungan dengan hal tersebut,
pemungutan pajak berdasarkan ketentuan ini dapat bersifat final.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Kepemilikan Nomor Pokok
Wajib Pajak
dapat dibuktikan oleh Wajib Pajak, antara lain, dengan cara menunjukkan
kartu Nomor Pokok Wajib Pajak.

Angka 18

Pasal 23

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (1a)

Kepemilikan Nomor Pokok
Wajib Pajak
dapat dibuktikan oleh Wajib Pajak, antara lain, dengan cara menunjukkan
kartu Nomor Pokok Wajib Pajak.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Angka 19

Pasal 24

Pada dasarnya Wajib Pajak
dalam negeri
terutang pajak atas seluruh penghasilan, termasuk penghasilan yang
diterima atau diperoleh dari luar negeri. Untuk meringankan beban pajak
ganda yang dapat terjadi karena pengenaan pajak atas penghasilan yang
diterima atau diperoleh di luar negeri, ketentuan ini mengatur tentang
perhitungan besarnya pajak atas penghasilan yang dibayar atau terutang
di luar negeri yang dapat dikreditkan terhadap pajak yang terutang atas
seluruh penghasilan Wajib Pajak dalam negeri.

Ayat (1)

Pajak atas penghasilan
yang dibayar
atau terutang di luar negeri yang dapat dikreditkan terhadap pajak yang
terutang di Indonesia hanyalah pajak yang langsung dikenakan atas
penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak.

Contoh:

PT A di Indonesia merupakan pemegang saham tunggal dari Z Inc. di
Negara X. Z Inc. tersebut dalam tahun 1995 memperoleh keuntungan
sebesar US$100,000.00. Pajak Penghasilan yang berlaku di negara X
adalah 48% dan Pajak Dividen adalah 38%.
Penghitungan pajak atas dividen tersebut adalah sebagai berikut:

Keuntungan
Z Inc
US$ 100,000.00
Pajak
Penghasilan (Corporate
income tax)
atas
Z Inc.: (48%)
US$
48,000.00 (-)
US$ 52,000.00
Pajak
atas dividen (38%)
US$
19,760.00 (-)
Dividen
yang dikirim ke Indonesia
US$ 32,240.00

Pajak Penghasilan yang
dapat dikreditkan terhadap seluruh Pajak
Penghasilan yang terutang atas PT A adalah pajak yang langsung
dikenakan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh di luar negeri,
dalam contoh di atas yaitu jumlah sebesar US$19,760.00.
Pajak Penghasilan (Corporate
income tax) atas Z Inc. sebesar
US$48,000.00 tidak dapat dikreditkan terhadap Pajak Penghasilan yang
terutang atas PT A, karena pajak sebesar US$48,000.00 tersebut tidak
dikenakan langsung atas penghasilan yang diterima atau diperoleh PT A
dari luar negeri, melainkan pajak yang dikenakan atas keuntungan Z Inc.
di negara X.

Ayat (2)

Untuk memberikan perlakuan
pemajakan
yang sama antara penghasilan yang diterima atau diperoleh dari luar
negeri dan penghasilan yang diterima atau diperoleh di Indonesia, maka
besarnya pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri dapat
dikreditkan terhadap pajak yang terutang di Indonesia tetapi tidak
boleh melebihi besarnya pajak yang dihitung berdasarkan Undang-undang
ini. Cara penghitungan besarnya pajak yang dapat dikreditkan ditetapkan
oleh Menteri Keuangan berdasarkan wewenang sebagaimana diatur pada ayat
(6).

Ayat (3) dan (4)

Dalam perhitungan kredit
pajak atas
penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri yang dapat
dikreditkan terhadap pajak yang terutang menurut Undang-Undang ini,
penentuan sumber penghasilan menjadi sangat penting.
Selanjutnya, ketentuan ini
mengatur
tentang penentuan sumber penghasilan untuk memperhitungkan kredit pajak
luar negeri tersebut.

Mengingat Undang-Undang ini menganut pengertian penghasilan yang luas,
maka sesuai dengan ketentuan pada ayat (4) penentuan sumber dari
penghasilan selain yang tersebut pada ayat (3) dipergunakan prinsip
yang sama dengan prinsip sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tersebut,
misalnya A sebagai Wajib Pajak dalam negeri memiliki sebuah rumah di
Singapura dan dalam tahun 1995 rumah tersebut dijual.

Keuntungan yang diperoleh
dari
penjualan rumah tersebut merupakan penghasilan yang bersumber di
Singapura karena rumah tersebut terletak di Singapura.

Ayat (5)

Apabila terjadi
pengurangan atau
pengembalian pajak atas penghasilan yang dibayar di luar negeri,
sehingga besarnya pajak yang dapat dikreditkan di Indonesia menjadi
lebih kecil dari besarnya perhitungan semula, maka selisihnya
ditambahkan pada Pajak Penghasilan yang terutang menurut Undang-undang
ini. Misalnya, dalam tahun 1996, Wajib Pajak mendapat pengurangan pajak
atas penghasilan luar negeri tahun pajak 1995 sebesar Rp5.000.000,00
yang semula telah termasuk dalam jumlah pajak yang dikreditkan terhadap
pajak yang terutang untuk tahun pajak 1995, maka jumlah sebesar
Rp5.000.000,00 tersebut ditambahkan pada Pajak Penghasilan yang
terutang dalam tahun pajak 1996.

Ayat (6)

Cukup jelas.

Angka 20

Pasal 25

Ketentuan ini mengatur
tentang
penghitungan besarnya angsuran bulanan yang harus dibayar oleh Wajib
Pajak sendiri dalam tahun berjalan.

Ayat (1)

Contoh 1:

Pajak Penghasilan yang terutang berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan
Pajak Penghasilan

tahun 2009
dikurangi:
Rp
50.000.000,00
a. Pajak
Penghasilan yang dipotong
pemberi Kerja (Pasal 21)
Rp15.000.000,00
b. Pajak
Penghasilan yang dipungut
oleh pihak lain (Pasal 22)
Rp10.000.000,00
c. Pajak
Penghasilan yang dipotong
oleh pihak lain (Pasal 23)
Rp 2.500.000,00
d. Kredit
Pajak Penghasilan
luar negeri (Pasal 24)

Rp 7.500.000,00 (+)
Jumlah
kredit pajak
Rp35.000.000,00
(-)
Selisih Rp15.000.000,00

Besarnya angsuran pajak yang harus dibayar sendiri setiap bulan untuk
tahun 2010 adalah sebesar Rp1.250.000,00 (Rp15.000.000,00 dibagi 12).

Contoh 2:

Apabila Pajak Penghasilan
sebagaimana
dimaksud dalam contoh di atas berkenaan dengan penghasilan yang
diterima atau diperoleh untuk bagian tahun pajak yang meliputi masa 6
(enam) bulan dalam tahun 2009, besarnya angsuran bulanan yang harus
dibayar sendiri setiap bulan dalam tahun 2010 adalah sebesar
Rp2.500.000,00 (Rp15.000.000,00 dibagi 6).

Ayat (2)

Mengingat batas waktu
penyampaian Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak orang pribadi
adalah akhir bulan ketiga tahun pajak berikutnya dan bagi Wajib Pajak
badan adalah akhir bulan keempat tahun pajak berikutnya, besarnya
angsuran pajak yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak untuk
bulan-bulan sebelum Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan
disampaikan belum dapat dihitung sesuai dengan ketentuan pada ayat (1).

Berdasarkan ketentuan ini, besarnya angsuran pajak untuk bulan-bulan
sebelum Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan disampaikan
sebelum batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan adalah sama
dengan angsuran pajak untuk bulan terakhir dari tahun pajak yang lalu.

Contoh:

Apabila Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan disampaikan oleh
Wajib Pajak orang pribadi pada bulan Februari 2010, besarnya angsuran
pajak yang harus dibayar Wajib Pajak tersebut untuk bulan Januari 2010
adalah sebesar angsuran pajak bulan Desember 2009, misalnya sebesar
Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah).

Apabila dalam bulan September 2009 diterbitkan keputusan pengurangan
angsuran pajak menjadi nihil sehingga angsuran pajak sejak bulan
Oktober sampai dengan Desember 2009 menjadi nihil, besarnya angsuran
pajak yang harus dibayar Wajib Pajak untuk bulan Januari 2010 tetap
sama dengan angsuran bulan Desember 2009, yaitu nihil.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Apabila dalam tahun
berjalan
diterbitkan surat ketetapan pajak untuk tahun pajak yang lalu, angsuran
pajak dihitung berdasarkan surat ketetapan pajak tersebut. Perubahan
angsuran pajak tersebut berlaku mulai bulan berikutnya setelah bulan
diterbitkannya surat ketetapan pajak.

Contoh:

Berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak
2009 yang disampaikan Wajib Pajak dalam bulan Februari 2010,
perhitungan besarnya angsuran pajak yang harus dibayar adalah sebesar
Rp1.250.000,00 (satu juta dua ratus lima puluh ribu rupiah). Dalam
bulan Juni 2010 telah diterbitkan
surat ketetapan pajak tahun pajak 2009 yang menghasilkan besarnya
angsuran pajak setiap bulan sebesar Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah).

Berdasarkan ketentuan dalam ayat ini, besarnya angsuran pajak mulai
bulan Juli 2010 adalah sebesar Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah).
Penetapan besarnya angsuran pajak berdasarkan surat ketetapan pajak
tersebut bisa sama, lebih besar, atau lebih kecil dari angsuran pajak
sebelumnya berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan.

Ayat (5)

Cukup jelas.

Ayat (6)

Pada dasarnya besarnya
pembayaran
angsuran pajak oleh Wajib Pajak sendiri dalam tahun berjalan sedapat
mungkin diupayakan mendekati jumlah pajak yang akan terutang pada akhir
tahun. Oleh karena itu, berdasarkan ketentuan ini dalam hal-hal
tertentu Direktur Jenderal Pajak diberikan wewenang untuk menyesuaikan
perhitungan besarnya angsuran pajak yang harus dibayar sendiri oleh
Wajib Pajak dalam tahun berjalan apabila terdapat kompensasi kerugian;
Wajib Pajak menerima atau memperoleh penghasilan tidak teratur; atau
terjadi perubahan keadaan usaha atau kegiatan Wajib Pajak.

Contoh 1:

Penghasilan
PT X tahun 2009
Rp 120.000.000,00
Sisa
kerugian tahun sebelumnya
yang masih dapat dikompensasikan
Rp
150.000.000,00
Sisa
kerugian yang belum
dikompensasikan tahun 2009
Rp
30.000.000,00

Penghitungan Pajak Penghasilan Pasal 25 tahun 2010 adalah:
Penghasilan yang dipakai dasar penghitungan angsuran Pajak Penghasilan
Pasal 25 = Rp120.000.000,00 – Rp30.000.000,00 =
Rp90.000.000,00.

Pajak Penghasilan yang terutang:
28% x Rp90.000.000,00 = Rp25.200.000,00

Apabila pada tahun 2009 tidak ada Pajak Penghasilan yang dipotong atau
dipungut oleh pihak lain dan pajak yang dibayar atau terutang di luar
negeri sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 24, besarnya angsuran pajak
bulanan PT X tahun 2010 = 1/12 x Rp25.200.000,00= Rp2.100.000,00.

Contoh 2:

Dalam tahun 2009, penghasilan teratur Wajib Pajak A dari usaha dagang
Rp48.000.000,00 (empat puluh delapan juta rupiah) dan penghasilan tidak
teratur sebesar Rp72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah).
Penghasilan yang dipakai sebagai dasar penghitungan Pajak Penghasilan
Pasal 25 dari Wajib Pajak
A pada tahun 2010 adalah hanya dari penghasilan teratur tersebut.

Contoh 3:

Perubahan keadaan usaha atau kegiatan Wajib Pajak dapat terjadi karena
penurunan atau peningkatan usaha. PT B yang bergerak di bidang produksi
benang dalam tahun 2009 membayar angsuran bulanan sebesar
Rp15.000.000,00 (lima belas juta rupiah).

Dalam bulan Juni 2009 pabrik milik PT B terbakar. Oleh karena itu,
berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak mulai bulan Juli 2009
angsuran bulanan PT B dapat disesuaikan menjadi lebih kecil dari
Rp15.000.000,00 (lima belas juta rupiah).

Sebaliknya, apabila PT B mengalami peningkatan usaha, misalnya adanya
peningkatan penjualan dan diperkirakan Penghasilan Kena Pajaknya akan
lebih besar dibandingkan dengan tahun sebelumnya, kewajiban angsuran
bulanan PT B dapat disesuaikan oleh Direktur Jenderal Pajak.


Ayat (7)

Pada prinsipnya
penghitungan besarnya
angsuran bulanan dalam tahun berjalan didasarkan pada Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun yang lalu. Namun,
ketentuan ini memberi kewenangan kepada Menteri Keuangan untuk
menetapkan dasar penghitungan besarnya angsuran bulanan selain
berdasarkan prinsip tersebut di atas. Hal ini dimaksudkan untuk lebih
mendekati kewajaran perhitungan besarnya angsuran pajak karena
didasarkan kepada data terkini kegiatan usaha perusahaan.

Huruf a

Bagi Wajib Pajak baru yang
mulai
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan dalam tahun pajak berjalan
perlu diatur perhitungan besarnya angsuran, karena Wajib Pajak belum
pernah memasukkan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan,
penentuan besarnya angsuran pajak didasarkan atas kenyataan usaha atau
kegiatan Wajib Pajak.

Huruf b

Bagi Wajib Pajak yang
bergerak dalam
bidang perbankan, badan usaha milik negara dan badan usaha milik
daerah, serta Wajib Pajak masuk bursa dan Wajib Pajak lainnya yang
berdasarkan ketentuan diharuskan membuat laporan keuangan berkala perlu
diatur perhitungan besarnya angsuran tersendiri karena terdapat
kewajiban menyampaikan laporan yang berkaitan dengan pengelolaan
keuangan dalam suatu periode tertentu kepada instansi Pemerintah yang
dapat dipakai sebagai dasar penghitungan untuk menentukan besarnya
angsuran pajak dalam tahun berjalan.

Huruf c

Bagi Wajib Pajak orang
pribadi
pengusaha tertentu, yaitu Wajib Pajak orang pribadi yang mempunyai 1
(satu) atau lebih tempat usaha, besarnya angsuran pajak paling tinggi
sebesar 0,75% (nol koma tujuh lima persen) dari peredaran bruto.

Ayat (8)

Cukup jelas.

Ayat (8a)

Cukup jelas.

Ayat (9)

Cukup jelas.

Angka 21

Pasal 26

Atas penghasilan yang
diterima atau
diperoleh Wajib Pajak luar negeri dari Indonesia, Undang-Undang ini
menganut dua sistem pengenaan pajak, yaitu pemenuhan sendiri kewajiban
perpajakannya bagi Wajib Pajak luar negeri yang menjalankan usaha atau
melakukan kegiatan melalui suatu bentuk usaha tetap di Indonesia dan
pemotongan oleh pihak yang wajib membayar bagi Wajib Pajak luar negeri
lainnya.

Ketentuan ini mengatur tentang pemotongan atas penghasilan yang
bersumber di Indonesia yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak luar
negeri selain bentuk usaha tetap.

Ayat (1)

Pemotongan pajak
berdasarkan ketentuan
ini wajib dilakukan oleh badan pemerintah, subjek pajak dalam negeri,
penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan
luar negeri lainnya yang melakukan pembayaran kepada Wajib Pajak luar
negeri selain bentuk usaha tetap di Indonesia dengan tarif sebesar 20%
(dua puluh persen) dari jumlah bruto.

Jenis-jenis penghasilan yang wajib dilakukan pemotongan dapat
digolongkan dalam:

  1. penghasilan yang bersumber dari modal dalam bentuk dividen,
    bunga
    termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian
    utang, royalti, dan sewa serta penghasilan lain sehubungan dengan
    penggunaan harta;
  2. imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, atau kegiatan;
  3. hadiah dan penghargaan dengan nama dan dalam bentuk apa pun;
  4. pensiun dan pembayaran berkala lainnya;
  5. premi swap dan transaksi lindung nilai lainnya; dan/atau
  6. keuntungan karena pembebasan utang.
Sesuai dengan ketentuan
ini, misalnya suatu badan subjek pajak dalam
negeri membayarkan royalti sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta
rupiah) kepada Wajib Pajak luar negeri, subjek pajak dalam negeri
tersebut berkewajiban untuk memotong Pajak Penghasilan sebesar 20% (dua
puluh persen) dari Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

Sebagai contoh lain, seorang atlet dari luar negeri yang ikut mengambil
bagian dalam perlombaan lari maraton di Indonesia kemudian merebut
hadiah uang maka atas hadiah tersebut dikenai pemotongan Pajak
Penghasilan sebesar 20% (dua puluh persen).

Ayat (1a)

Negara domisili dari Wajib
Pajak luar
negeri selain yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan usaha
melalui bentuk usaha tetap di Indonesia yang menerima penghasilan dari
Indonesia ditentukan berdasarkan tempat tinggal atau tempat kedudukan
Wajib Pajak yang sebenarnya menerima manfaat dari
penghasilan tersebut (beneficial
owner). Oleh karena itu, negara
domisili tidak hanya ditentukan berdasarkan Surat Keterangan Domisili,
tetapi juga tempat tinggal atau tempat kedudukan dari penerima manfaat
dari penghasilan dimaksud.

Dalam hal penerima manfaat adalah orang pribadi, negara domisilinya
adalah negara tempat orang pribadi tersebut bertempat tinggal atau
berada, sedangkan apabila penerima manfaat adalah badan, negara
domisilinya adalah negara tempat pemilik atau lebih dari 50% (lima
puluh persen) pemegang saham baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama
berkedudukan atau efektif manajemennya berada.

Ayat (2)

Ketentuan ini mengatur
tentang
pemotongan pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib
Pajak luar negeri yang bersumber di Indonesia, selain dari penghasilan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), yaitu penghasilan dari penjualan
atau pengalihan harta, dan premi asuransi, termasuk premi reasuransi.
Atas penghasilan tersebut dipotong pajak sebesar 20% (dua puluh persen)
dari perkiraan penghasilan neto dan bersifat final. Menteri Keuangan
diberikan wewenang untuk menetapkan besarnya perkiraan penghasilan neto
dimaksud, serta hal-hal lain dalam rangka pelaksanaan pemotongan pajak
tersebut.

Ketentuan ini tidak diterapkan dalam hal Wajib Pajak luar negeri
tersebut menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui suatu bentuk
usaha tetap di Indonesia atau apabila penghasilan dari penjualan harta
tersebut telah dikenai pajak berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (2).

Ayat (2a)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Atas Penghasilan Kena
Pajak sesudah
dikurangi pajak dari bentuk usaha tetap di Indonesia dipotong pajak
sebesar 20% (dua puluh persen).

Contoh:

Penghasilan
Kena Pajak bentuk usaha
tetap di Indonesia dalam tahun 2009
Rp17.500.000.000,00
Pajak
Penghasilan:
28% x Rp17.500.000.000,00
= Rp
4.900.000.000,00 (-)
Penghasilan
Kena Pajak setelah pajak
Rp12.600.000.000,00

Pajak Penghasilan Pasal 26
yang terutang
20% x Rp12.600.000.000 = Rp2.520.000.000,00

Apabila penghasilan setelah pajak sebesar Rp12.600.000.000,00 (dua
belas miliar enam ratus juta rupiah) tersebut ditanamkan kembali di
Indonesia sesuai dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan,
atas penghasilan tersebut tidak dipotong pajak.

Ayat (5)

Pada prinsipnya pemotongan
pajak atas
Wajib Pajak luar negeri adalah bersifat final, tetapi atas penghasilan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b dan huruf c, dan
atas penghasilan Wajib Pajak orang pribadi atau badan luar negeri yang
berubah status menjadi Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha
tetap, pemotongan pajaknya tidak bersifat final sehingga potongan pajak
tersebut dapat dikreditkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan.

Contoh:

A sebagai tenaga asing orang pribadi membuat perjanjian kerja dengan PT
B sebagai Wajib Pajak dalam negeri untuk bekerja di Indonesia untuk
jangka waktu 5 (lima) bulan terhitung mulai tanggal 1 Januari 2009.
Pada tanggal 20 April 2009 perjanjian kerja tersebut diperpanjang
menjadi 8 (delapan) bulan sehingga akan berakhir pada tanggal 31
Agustus 2009.

Jika perjanjian kerja tersebut tidak diperpanjang, status A adalah
tetap sebagai Wajib Pajak luar negeri. Dengan diperpanjangnya
perjanjian kerja tersebut, status A berubah dari Wajib Pajak luar
negeri menjadi Wajib Pajak dalam negeri terhitung sejak tanggal 1
Januari 2009. Selama bulan Januari sampai dengan Maret 2009 atas
penghasilan bruto A telah dipotong Pajak Penghasilan Pasal 26 oleh PT B.

Berdasarkan ketentuan ini, maka untuk menghitung Pajak Penghasilan yang
terutang atas penghasilan A untuk masa Januari sampai dengan Agustus
2009, Pajak Penghasilan Pasal 26 yang telah dipotong dan disetor PT B
atas penghasilan A sampai dengan Maret tersebut, dapat dikreditkan
terhadap pajak A sebagai Wajib Pajak dalam negeri.

Angka 22

Pasal 29

Ketentuan ini mewajibkan
Wajib Pajak
untuk melunasi kekurangan pembayaran pajak yang terutang menurut
ketentuan Undang-Undang ini sebelum Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan disampaikan dan paling lambat pada batas akhir penyampaian
Surat Pemberitahuan Tahunan. Apabila tahun buku sama dengan tahun
kalender, kekurangan pajak tersebut wajib dilunasi paling lambat
tanggal 31 Maret bagi Wajib Pajak orang pribadi atau 30 April bagi
Wajib Pajak badan setelah tahun pajak berakhir, sedangkan apabila tahun
buku tidak sama dengan tahun kalender, misalnya dimulai tanggal 1 Juli
sampai dengan 30 Juni, kekurangan pajak wajib dilunasi paling lambat
tanggal 30 September bagi Wajib Pajak orang pribadi atau 31 Oktober
bagi Wajib Pajak badan.

Angka 23

Pasal 31A

Ayat (1)

Salah satu prinsip yang
perlu dipegang
teguh di dalam Undang- Undang perpajakan adalah diterapkannya perlakuan
yang sama terhadap semua Wajib Pajak atau terhadap kasus-kasus dalam
bidang perpajakan yang hakikatnya sama, dengan berpegang pada ketentuan
peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu, setiap kemudahan dalam
bidang perpajakan jika benar-benar diperlukan harus mengacu pada kaidah
di atas dan perlu dijaga agar di dalam penerapannya tidak menyimpang
dari maksud dan tujuan diberikannya kemudahan tersebut.

Tujuan diberikannya kemudahan pajak ini adalah untuk mendorong kegiatan
investasi langsung di Indonesia baik melalui penanaman modal asing
maupun penanaman modal dalam negeri di bidang-bidang usaha tertentu
dan/atau di daerah-daerah tertentu yang mendapat prioritas tinggi dalam
skala nasional.

Ketentuan ini juga dapat digunakan untuk menampung kemungkinan
perjanjian dengan negara-negara lain dalam bidang perdagangan,
investasi, dan bidang lainnya.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Angka 24
Pasal 31B
Cukup jelas.

Angka 25

Pasal 31C

Cukup jelas.

Angka 26

Pasal 31D

Cukup jelas.

Pasal 31E

Ayat (1)

Contoh 1:

Peredaran bruto PT Y dalam tahun pajak 2009 sebesar Rp4.500.000.000,00
(empat miliar lima ratus juta rupiah) dengan Penghasilan Kena Pajak
sebesar Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Penghitungan pajak yang terutang:

Seluruh Penghasilan Kena Pajak yang diperoleh dari peredaran bruto
tersebut dikenai tarif sebesar 50% (lima puluh persen) dari tarif Pajak
Penghasilan badan yang berlaku karena jumlah peredaran bruto PT Y tidak
melebihi Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah).

Pajak Penghasilan yang terutang:

(50% x 28%) x Rp500.000.000,00 = Rp70.000.000,00

Contoh 2:

Peredaran bruto PT X dalam tahun pajak 2009 sebesar Rp30.000.000.000,00
(tiga puluh miliar rupiah) dengan Penghasilan Kena Pajak sebesar
Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).

Penghitungan Pajak Penghasilan yang terutang:

  1. Jumlah Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto
    yang memperoleh fasilitas:

    (Rp4.800.000.000,00
    : Rp30.000.000.000,00) x Rp3.000.000.000,00 = Rp480.000.000,00
  2. Jumlah Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto
    yang tidak memperoleh fasilitas:

    Rp3.000.000.000,00
    – Rp480.000.000,00 = Rp2.520.000.000,00
Pajak Penghasilan yang terutang:

(50%
x 28%) x Rp480.000.000,00
= Rp
67.200.000,00
28%
x Rp2.520.000.000,00
=
Rp705.600.000,00(+)
Jumlah Pajak
Penghasilan yang terutang
Rp 772.800.000,00

Ayat (2)

Cukup jelas.

Angka 27

Pasal 32

Cukup jelas.

Angka 28

Pasal 32B

Dalam rangka memperluas
pasar Obligasi
Negara, pemerintah dapat mengenakan tarif khusus yang lebih rendah atau
membebaskan pengenaan pajak atas Obligasi Negara yang diperdagangkan di
bursa negara lain. Pemerintah hanya dapat mengenakan perlakuan khusus
ini sepanjang negara lain tersebut juga memberikan perlakuan yang sama
atas obligasi negara lain tersebut yang diperdagangkan di bursa efek di
Indonesia.

Angka 29

Pasal 35

Dengan peraturan
pemerintah diatur
lebih lanjut hal-hal yang belum cukup diatur dalam rangka pelaksanaan
Undang-Undang ini, yaitu semua peraturan yang diperlukan agar
Undang-Undang ini dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya, termasuk
pula peraturan peralihan.

Pasal II

Angka 1

Apabila Wajib Pajak
menggunakan tahun
buku yang berakhir tanggal 30 Juni 2001 atau sebelumnya (tidak sama
dengan tahun kalender), tahun buku tersebut adalah tahun pajak 2000.
Pajak yang terutang dalam tahun tersebut tetap dihitung berdasarkan
Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1983
sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 1994
tentang Perubahan
Kedua atas Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1983
tentang Pajak Penghasilan,
sedangkan Wajib Pajak yang tahun bukunya berakhir setelah tanggal 30
Juni 2001 wajib menghitung pajaknya mulai tahun pajak 2001 berdasarkan
Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1983
tentang Pajak Penghasilan, sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17
Tahun
2000
tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1983

tentang Pajak Penghasilan.

Angka 2

Apabila Wajib Pajak
menggunakan tahun
buku yang berakhir tanggal 30 Juni 2009 atau sebelumnya (tidak sama
dengan tahun kalender), tahun buku tersebut adalah tahun pajak 2008.
Pajak yang terutang dalam tahun tersebut tetap dihitung berdasarkan
Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1983
sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2000
tentang Perubahan
Ketiga atas Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1983
tentang Pajak Penghasilan,
sedangkan Wajib Pajak yang tahun bukunya berakhir setelah tanggal 30
Juni 2009 wajib menghitung pajaknya mulai tahun pajak 2009 berdasarkan
Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1983
tentang Pajak Penghasilan sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang ini.

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA
REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4893
error: Content is protected