Follow Us :

Pembahasan RUU Pengampunan Pajak Belum Jelas
 
JAKARTA, KOMPAS —Program pengampunan pajak yang diharapkan menjadi sumber tambahan pendapatan negara merupakan pertaruhan sistem perpajakan nasional. Program itu harus dipastikan memberikan manfaat optimal kepada negara dengan ongkos minimal, termasuk ongkos politik.

Masalah ongkos politik ini muncul karena program pengampunan pajak dikhawatirkan dikaitkan dengan penundaan rencana revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.

Rancangan Undang-Undang (RUU) Pengampunan Pajak yang akan menjadi dasar hukum pelaksanaan program pengampunan pajak masuk dalam Program Legislasi Nasional 2016 bersama sejumlah UU lain, seperti revisi UU KPK. Jika revisi UU KPK menjadi inisiatif DPR, RUU Pengampunan Pajak merupakan inisiatif pemerintah.

Saat memimpin Rapat Paripurna DPR, Selasa (23/2), Wakil Ketua DPR Agus Hermanto mengatakan, DPR telah menerima surat presiden (surpres) terkait RUU Pengampunan Pajak.

Dalam rapat itu, revisi UU KPK tak dibahas karena Presiden dan DPR sudah sepakat revisi UU itu ditunda.

Setelah surpres soal RUU Pengampunan Pajak diumumkan, tindak lanjut sikap DPR terhadap RUU itu akan ditetapkan melalui rapat Badan Musyawarah (Bamus). Dalam forum yang terdiri dari pimpinan DPR, komisi, dan perwakilan fraksi di DPR tersebut akan ditentukan alat kelengkapan DPR yang akan bertugas membahas RUU itu bersama pemerintah. Namun, rapat Bamus itu belum dijadwalkan. ”Semua tergantung fraksi- fraksi di DPR. Draf dan Surpres RUU Pengampunan Pajak baru datang, kami belum sampai pada pembahasan,” kata Agus.

Sebelumnya, Menteri Keuangan Bambang PS Brodjonegoro berharap RUU Pengampunan Pajak bisa disahkan menjadi UU di masa sidang ini yang akan berakhir 11 Maret 2016. Pasalnya, program pengampunan pajak akan jadi sumber tambahan pendapatan negara. ”Tapi, tentu kita harus mengikuti dinamika politik yang terus terjadi,” ujarnya.

Pendapatan negara

Pengampunan pajak adalah program yang menghapuskan tunggakan, sanksi, dan pidana pajak. Syaratnya, wajib pajak melaporkan harta yang selama ini tidak dilaporkan atau kalaupun dilaporkan datanya manipulatif.

Dalam RUU tentang Pengampunan Pajak, program ini tidak berlaku untuk wajib pajak yang sedang menjalani penyidikan dan berkas penyidikannya telah dinyatakan lengkap oleh kejaksaan. Program ini juga tidak berlaku untuk wajib pajak yang sedang dalam proses peradilan atau sedang menjalani hukuman atas tindak pidana di bidang perpajakan.

Wajib pajak yang mengikuti program disyaratkan uang tebusan. Skemanya didasarkan atas masa keikutsertaan, yakni triwulan I-2016, triwulan II-2016, dan semester II-2016. Masing-masing besarnya adalah 2 persen, 4 persen, dan 6 persen dari total harta yang dilaporkan. Khusus untuk dana yang direpatriasi, tebusannya adalah 1 persen, 2 persen, dan 3 persen

Program ini dibutuhkan karena penerimaan pendapatan negara pada tahun ini akan meleset sekitar Rp 290 triliun di bawah target pendapatan negara yang dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2016 besarnya Rp 1.822,5 triliun. Ini disebabkan anjloknya penerimaan negara dari minyak bumi dan komoditas serta terlalu tingginya target penerimaan pajak.

Padahal, target pendapatan negara yang besarnya Rp 1.822,5 triliun tersebut masih di bawah anggaran belanja yang dialokasikan Rp 2.095,7 triliun.

Program pengampunan pajak, menurut Bambang, diharapkan menjadi sumber tambahan pemasukan negara untuk menutup sebagian dari kekurangan pendapatan negara.

Prosedur

Wakil Ketua Badan Legislasi DPR dari Fraksi Partai Amanat Nasional Totok Daryanto mengatakan, dari segi mekanisme prosedur, RUU Pengampunan Pajak bisa saja dihambat di forum rapat Bamus. Jika forum rapat itu tidak menyetujui pembahasan RUU Pengampunan Pajak, RUU itu bisa saja tertunda. ”Namun, saya merasa, alasan DPR tidak cukup kuat untuk menunda atau menolak pembahasan RUU Pengampunan Pajak,” katanya.

Wakil Ketua Fraksi PDI-P di DPR Hendrawan Supratikno mengatakan, dengan revisi UU KPK yang diputuskan ditunda, fraksinya berpendapat, RUU Pengampunan Pajak pun seharusnya juga ditunda untuk sosialisasi lebih dulu.

Sosialisasi RUU KPK dan RUU Pengampunan Pajak dapat dilakukan selama masa reses, 19 Maret-4 April. Tindak lanjut pembahasan kedua RUU itu baru akan dipastikan pada masa sidang DPR berikutnya.

Sekretaris Fraksi Hanura Dadang Rusdiana mengatakan, fraksinya juga masih ingin mengkaji urgensi RUU Pengampunan Pajak. ”Apakah RUU ini bisa meningkatkan pendapatan nasional dan menjamin rasa keadilan?” tanyanya.

Sementara Fraksi Partai Gerindra menyatakan akan menolak RUU Pengampunan Pajak karena dinilai tak mendesak. Wakil Ketua Fraksi Gerindra Desmond J Mahesa mengatakan, sikap fraksinya itu tak terkait dengan penundaan revisi UU KPK.

Meski demikian, Desmond menjelaskan, RUU Pengampunan Pajak dan Revisi UU KPK adalah dua rancangan legislasi yang tidak bisa dipisahkan. Dalam kesepakatan tidak tertulis antara pemerintah dan DPR, kedua RUU itu harus bersama-sama dibahas.

Secara terpisah, Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis Yustinus Prastowo mengingatkan, program pengampunan pajak diwacanakan sejak tahun lalu. Isu ini sudah telanjur bergulir dan ditunggu berbagai pihak sehingga program sebaiknya tetap jalan.

”Jika batal dilaksanakan, ini menyangkut kepercayaan publik. Yang penting sekarang adalah bagaimana agar program ini berjalan dan memberikan manfaat sebesar-besarnya kepada negara sekaligus meminimalisasi ongkos-ongkosnya, terutama ongkos politiknya,” kata Prastowo.

Program pengampunan pajak, menurut Prastowo, menjadi pertaruhan untuk sistem perpajakan Indonesia pada masa mendatang. Karena itu, pelaksanaan program tersebut harus paralel dengan perbaikan struktur anggaran, koordinasi antar-kelembagaan, dan nomor penduduk tunggal. ”Ini momentum untuk prakondisi menuju sistem perpajakan baru. Jika program ini berhasil, rekonsiliasi data dan perluasan basis pajak akan terjadi,” katanya.

 
Bangsa 1
error: Content is protected