Follow Us :

Jakarta, Kompas – Usulan pemerintah untuk menerapkan pajak lingkungan dalam Rancangan Undang-Undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah atau RUU PDRD terancam ditolak karena jenis pajak baru itu bertentangan dengan aturan tentang perlindungan lingkungan hidup. Pajak lingkungan dianggap tidak layak diterapkan meskipun berpotensi menambah penerimaan daerah Rp 4 triliun, karena melegalisasi perusakan lingkungan.

Ketua Panitia Khusus RUU PDRD, Harry Azhar Azis. mengungkapkan hal tersebut di Jakarta, Senin (8/9).

Menurut Harry, dalam usulan pemerintah, prinsip yang dianut dalam penerapan pajak lingkungan nanti adalah mengambil pungutan pada perusahaan yang menghasilkan polutan. Artinya, dunia usaha diperbolehkan menyebabkan polusi asal membayar pajak.

Konsep yang ditawarkan pemerintah adalah setiap perusahaan yang dilaporkan menghasilkan polutan dan mencatat biaya produksi di atas Rp 300 juta per tahun wajib membayar pajak lingkungan sebesar 0,5 persen atas biaya produksi tersebut. Oleh karena itu, jika dikalikan dengan jumlah pabrik yang ada, potensi penerimaan daerah dari pajak lingkungan mencapai Rp 4 triliun per tahun.

”Itu artinya ada dua ide yang kontradiktif. Di satu sisi, dalam aturan lingkungan hidup sudah ditegaskan bahwa lingkungan harus dilindungi. Namun, dengan adanya usulan pajak lingkungan, artinya kita melegalkan perusakan lingkungan. Lebih baik, usulan pajak lingkungan ini dibatalkan saja,” ujar Harry.

Membahayakan

Dalam perdebatan Panitia Khusus RUU PDRD, yang terdiri atas wakil pemerintah dan sepuluh fraksi di DPR, sempat muncul konsep pajak lingkungan yang dikaitkan dengan jual beli kuota polusi. Jadi setiap daerah akan mendapatkan kuota tingkat polusi yang diperkenankan sesuai dengan kondisi lingkungannya. Kuota ini bisa diperjualbelikan di antara daerah-daerah yang polutif. Namun, konsep ini pun tidak jelas.

”Pemerintah mengusulkan pajak lingkungan dengan konsep yang sangat umum, sehingga multitafsir dan membahayakan,” ujar Harry.

Kepala Badan Kebijakan Fiskal Departemen Keuangan Anggito Abimanyu mengatakan, tujuan utama pengenaan pajak lingkungan adalah mengurangi dampak negatif perindustrian terhadap lingkungan. Itu diterapkan karena ada beberapa jenis industri yang sulit menghilangkan unsur-unsur polutif sehingga perlu dikurangi. Salah satu industri yang disebut-sebut akan dikenai pajak lingkungan adalah industri semen.

”Pajak lingkungan ini diusulkan untuk mengurangi output produk yang memiliki dampak lingkungan sehingga dengan sendirinya ini akan menimbulkan penerimaan. Namun, manfaatnya langsung dikembalikan ke daerah. Ini akan kami bicarakan lagi dalam RUU PDRD,” ujarnya.

Tata ruang

Lebih jauh Harry menegaskan, keinginan pemerintah untuk memasukkan instrumen pajak lingkungan sebagai salah satu alat dalam menegakkan rencana tata ruang wilayah (RTRW) adalah tidak tepat karena konsep yang ditawarkan adalah melegalisasi perusakan lingkungan. Instrumen perpajakan yang tepat adalah Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).

Dengan menggunakan PBB, RTRW lebih efektif digunakan karena dana RTRW sudah dimiliki oleh pemerintah kabupaten dan kota. Itu selaras dengan data PBB yang kini dimiliki oleh pemerintah di daerah. (OIN)

error: Content is protected