JAKARTA — Uni Eropa dan India mempertanyakan rencana pemerintah memberikan stimulus sektor riil berupa pajak pertambahan nilai ditanggung pemerintah (PPN DTP). Mereka menilai rencana kebijakan itu bersifat diskriminatif dan melanggar kesepakatan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).
Direktur Jenderal Industri Logam Mesin Tekstil dan Aneka Anshari Bukhari mengatakan akan mempelajari keberatan Uni Eropa dan India. "Kami pelajari dulu. Tapi kalau (kebijakan PPN DTP) memang kita perlukan, ya, jalan terus," ujarnya akhir pekan lalu.
Sebelumnya, pemerintah berencana memberikan insentif pajak berupa PPN DTP senilai Rp 10 Triliun untuk sektor riil. Insentif itu untuk mengantisipasi dampak krisis ekonomi global pada tahun depan. Industri yang mendapat kemudahan pajak ini adalah tekstil, baja, alas kaki, otomotif, elektronik, galangan kapal, mebel, dan kerajinan. Syarat menerima insentif industri harus menggunakan bahan baku lokal.
Menurut Anshari, rencana kebijakan tersebut untuk menghindari risiko pemutusan hubungan kerja akibat krisis ekonomi global. Negara lain, kata dia, juga melakukan hal yang sama. "Kalau investor asing juga diberi subsidi, itu bisa mematikan perusahaan dalam negeri," katanya.
Meski demikian, kata Anshari, pemerintah akan mengajak perwakilan negara lain duduk bersama dan membicarakan hal tersebut. "Negara lain berhak menanyakan. Nanti kami akan memberi penjelasan," ujarnya.
Wakil Ketua Kamar Dagang dan Industri Indonesia Chris Kanter mengatakan pemerintah harus mampu melakukan diplomasi untuk melindungi industri dalam negerinya. "Saat ini, semua negara memberikan stimulus untuk industrinya," katanya. Yang terpenting, kata dia, jangan sampai melanggar WTO.
Menurut Sekretaris Jenderal Asosiasi Pertekstilan Indonesia Ernovian G. Ismy, pemerintah bisa menyusun formula pajak yang ditanggung tersebut. Misalnya, kata dia, pajak yang ditanggung diberikan kepada industri (hulu) atau konsumen (hilir). "Polanya bisa diubah," katanya.
Nieke Indrietta