Ditjen Pajak menyebutkan, aturan PPh untuk UKM ini kelak akan bernama pajak usaha dengan omzet tertentu. Ini berbeda dengan yang berkembang selama ini, yakni pajak UKM. Pasalnya, "Dalam UU Pajak tidak ada itu UKM, jadi istilahnya pajak tertentu dengan omzet tertentu," kata Fuad Rahmany, Direktur Jenderal Pajak, Kamis (21/3).
Saat ini, draf Peraturan Pemerintah untuk pajak ini sudah kelar di Kementerian Hukum dan HAM dan tinggal masuk ke meja Presiden untuk disetujui. "Pajak akan dikenakan 1% untuk semua usaha yang omzetnya di bawah Rp 4,8 triliun," ujar Fuad.
Namun tak semua UKM kena pajak. Soalnya, pajak ini juga mewajibkan syarat lain yakni bisnis tersebut harus berlokasi di tempat yang tetap (permanen). Jadi usaha asongan atau mikro yang berada di pasar-pasar atau tidak memiliki usaha permanen bakal terbebas dari pajak.
Ini sekaligus membantah pernyataan Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Syarifuddin Hasan yang sebelumnya sempat menyebut usaha omzet kurang dari Rp 300 juta juga akan kena pajak 0,5%.
Sayang, Fuad belum bisa bercerita besarnya potensi pendapatan pajak yang bakal masuk ke kas negara. Ia juga enggan menyebut jumlah usaha yang akan terkena pajak. Tentu, Ditjen Pajak sudah memiliki data mengenai jumlah pengusaha yang akan terkena pajak itu dari Kementerian Koperasi dan UKM serta Badan Pusat Statistik (BPS).
Gunadi, Pengamat Pajak asal Universitas Indonesia bilang, harus ada pengawasan yang ketat agar aturan ini efektif. Soalnya, pembayaran PPh ini bersifat self assesment. Ini memungkinkan pengusaha kecil untuk ogah membayar pajak.
Padahal, aturan ini menguntungkan pengusaha. Soalnya, besaran pajak ini lebih kecil dibandingkan bila pengusaha harus membayar pajak orang pribadi yang mencapai 5% dari keuntungan.
Ia juga mengingatkan, aturan ini rawan penyimpangan. Bisa saja, pengusaha melaporkan omzetnya lebih kecil dari kondisi sebenarnya demi menekan beban pajak. Maka butuh tim khusus untuk memastikan kebenaran nilai omzet yang dilaporkan.