JAKARTA , Pemerintah dan DPR menyepakati tujuh jenis barang yang tidak dikenakan pajak pertambahan nilai (PPN). Tujuh jenis barang itu termuat dalam pembahasan amendemen ketiga atas UU No 8/1983 tentang PPN dan Pajak Penjualan Barang Mewah (RUU PPN dan PPnBM).
“Tujuh jenis barang dalam draf RUU yang kita ajukan tidak diubah, dan sudah disepakati, serta sudah dibicarakan di Panja DPR,” ujar Dirjen Pajak Departemen Keuangan Darmin Nasution, di Jakarta, Jumat (26/6).
Tiga dari tujuh jenis barang tersebut belum termuat dalam amendemen kedua atas UU No 8/1983, yakni barang hasil pertanian, hasil perkebunan, dan hasil kehutanan yang dipetik, diambil, atau disadap langsung dari sumbernya.
Kedua, barang hasil peternakan, perburuan, atau penangkapan yang diambil langsung dari sumbernya. Ketiga, barang hasil penangkapan atau budi daya perikanan yang diambil langsung dari sumbernya.
Sedangkan empat jenis barang lainnya, sebelumnya sudah diatur dalam amendemen kedua atas UU No 8/1983, antara lain barang hasil pengeboran minyak, gas, dan panas bumi yang diambil langsung dari sumbernya.
Kedua, makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung dan sejenisnya, yang dilakukan untuk menghindari pajak berganda karena sudah merupakan objek pajak daerah. Ketiga, uang, emas batangan, dan surat-surat berharga.
Keempat, barang-barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan rakyat, seperti beras dan gabah, jagung, sagu, kedelai, serta garam.
Sebelumnya, DPR mengusulkan bahan pokok, yaitu susu, daging, dan telur masuk kriteria yang akan dibebaskan PPN-nya. “Tiga bahan pokok itu nantinya tidak akan kena PPN. Tapi pembebasannya melalui petani, perajin, peternak, atau pihak yang menghasilkan sehingga barangnya tidak perlu disebut sebagai barang tidak kena pajak,” kata dia.
Karena itu, lanjut Darmin, jika produk seperti susu, daging, dan telur tidak kena PPN, akan menjadi barang bukan kena pajak. “Maka, barang hasil olahannya (dari daging, susu, dan telor) di industri pengolahan tidak bisa kita tarik PPN masukannya. Jadi jangan barangnya yang ditambah-tambah lagi untuk tidak dikenakan pajak, tetapi lebih baik yang menghasilkannya, yaitu petani, perajin, atau peternaknya,” paparnya.
Barang Strategis
Jika RUU itu disahkan, menurut Darmin, akan mengubah PP No 7/2007 tentang Impor dan/atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu Bersifat Strategis yang Dibebaskan dari PPN. “Jalur masuk untuk tidak mengenakan PPN hanya melalui PP kalau dianggap barang strategis,” kata dia.
Darmin mencontohkan buku pelajaran dan buku ilmu pengetahuan. “Keduanya bisa tidak kena PPN, melalui PP, tetapi harus ada rekomendasi dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan untuk jenis buku pelajarannya,” tuturnya.
Sejak Februari 2009, pemerintah dan DPR intensif membahas amendemen ketiga UU PPN dan PPnBM. Dalam pembahasan itu, salah satunya juga menyepakati tarif PPN yang ditetapkan 10 persen, sedangkan tarif PPnBM maksimal 200 persen.