JAKARTA. Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kementerian Keuangan (Kemkeu) masih mengkaji rencana untuk merevisi
Undang-Undang (UU) Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai. Salah satu poin perubahan materi UU yang diusulkan Ditjen Pajak adalah perubahan tarif bea meterai.
Undang-Undang (UU) Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai. Salah satu poin perubahan materi UU yang diusulkan Ditjen Pajak adalah perubahan tarif bea meterai.
Mekar Satria Utama, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat (P2Humas) Ditjen Pajak Kemkeu bilang, Ditjen Pajak berencana mengubah pemberlakuan pengenaan meterai yang selama ini terdiri dari dua tarif jadi satu tarif. Tarif materai baru diusulkan Rp 10.000.
Padahal, sebelumnya, Ditjen Pajak telah mengumumkan akan mengubah dua jenis tarif meterai yang berlaku saat ini. Meterai bertarif Rp 3.000 akan dinaikkan jadi Rp 10.000 untuk dokumen dengan nilai nominal tertentu.
Sementara meterai bertarif Rp 6.000 akan naik jadi Rp 18.000 untuk dokumen dengan nilai nominal tertentu. "Kami ingin ada kemudahan dan tidak ingin memisahkan antara satu dokumen dengan dokumen lain. Makanya, perubahan hanya dibuat satu tarif,"kata Mekar, Selasa (30/6).
Dalam Undang-Undang tentang Bea Meterai yang berlaku saat ini diatur soal penggunaan meterai. Yakni, untuk dokumen yang menyatakan nilai nominal hingga jumlah tertentu, dokumen bersifat perdata, dan dokumen yang digunakan di muka pengadilan.
Menurut Mekar, UU tersebut sebenarnya memperbolehkan penggunaan bea meterai pada alat bukti transaksi belanja ritel masyarakat. Namun, aturan itu belum dilaksanakan.
Karena itu, setelah revisi UU Bea Meterai diberlakukan, Ditjen Pajak akan mengenakan meterai senilai Rp 10.000 atas transaksi itu.
Tapi, lanjut Mekar, pengenaan meterai ada batasan nilai, yaitu untuk nominal lebih dari Rp 5 juta untuk semua dokumen, termasuk dokumen hasil pembelanjaan ritel.
Dengan demikian, untuk nilai transaksi di ritel tidak lagi menjadi masalah. “Karena, transaksi dengan nilai lebih dari Rp 5 juta ialah transaksi untuk pembelanjaan barang elektronik," kata Mekar. Nah, meterai ini akan dikenakan kepada si pembeli berupa meterai yang terkomputerisasi.
Di sisi lain, meterai dengan tarif Rp 10.000, tidak berlaku bagi dokumen hasil transaksi pembelian saham dan properti. Khusus untuk dua transaksi ini, Ditjen Pajak akan memungut tarif berdasarkan persentase (ad volerem) 0,01% dari nilai transaksi yang akan dikenakan kepada pembeli. Tapi, untuk kedua jenis transaksi itu, Ditjen pajak tidak mematok batasan nilai tertentu. Tarif 0,01% ini lebih rendah dari rencana sebelumnya 0,1%.
Mekar bilang, jika pembahasan revisi UU Bea Meterai selesai di awal 2016, beleid ini baru akan berlaku efektif mulai tahun 2017.
Ronny Bako, Pengamat Pajak Universitas Pelita Harapan (UPH) menilai, konsep pengenaan meterai dalam UU Bea Meterai, yaitu hanya kepada dokumen yang menyatakan nilai tertentu, bukan mencantumkan sebuah nilai. Sebab itu, kata dia, pengenaan materai atas alat bukti pembelanjaan ritel menyimpang dari UU.
Sementara, dengan pengenaan meterai atas alat bukti transaksi belanja tadi, penjual jadi pemungut pajak. "Nah, pemungut pajak ini harus jelas, benar-benar wajib pajak terdaftar. Jika memang dilakukan perluasan objek meterai, pengawasannya juga harus dilakukan," ujar Ronny.