Jakarta, Kompas – Tempat-tempat wisata berbasis kenikmatan bisa dikenai pajak hiburan maksimal 75 persen dari tarif layanannya. Pajak tinggi itu ditetapkan pada jenis tempat hiburan tertentu yang dianggap memberikan pelayanan mewah dan dinikmati masyarakat berkecukupan.
”Tempat hiburan seperti panti pijat, karaoke, atau klab malam dikenai tarif tertinggi karena dianggap jasa mewah. Kami menggunakan prinsip yang sama pada barang mewah yang dikenai Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM), yang saat ini tarifnya 75 persen juga, bahkan bisa dinaikkan jadi 200 persen,” ujar Ketua Panitia Khusus Rancangan Undang-Undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (RUU PDRD) Harry Azhar Azis di Jakarta, Kamis (6/8).
Di dalam RUU PDRD terdapat tiga kelompok tarif pajak hiburan yang diperkenankan bagi pemerintah kabupaten/kota. Pertama, tarif maksimal 35 persen, antara lain untuk pertunjukan sirkus, akrobat, sulap, dan tontonan film.
Kedua, tarif maksimal 10 persen khusus untuk hiburan kesenian rakyat dan tradisional. Ketiga, bertarif maksimal 75 persen, yakni untuk permainan ketangkasan, diskotek, klab malam, karaoke, mandi uap, panti pijat, pagelaran busana, dan kontes kecantikan.
Menurut Harry, hiburan tersebut dikenai tarif tertinggi karena tingkat elastisitas terhadap harga jual layanannya rendah.
Artinya, meskipun tarif layanannya dinaikkan, tidak akan mengurangi jumlah konsumen sebab pengguna jasanya merupakan kelompok masyarakat kelas menengah ke atas.
Kurangi pertumbuhan
Dengan demikian, penetapan tarif tinggi itu tidak dimaksudkan untuk mengurangi pertumbuhan tempat hiburan mahal ini sebab harga bukan penentu utama datangnya konsumen ke tempat tersebut. Tarif ditinggikan dengan harapan pemerintah kabupaten/kota bisa mengambil manfaat maksimal.
”Meskipun tidak kami atur penggunaan uang pajak hiburannya, kami harap pemerintah kota/kabupaten mau menyisihkan dana untuk memperbaiki infrastruktur publik di sekitar tempat hiburan itu,” ujar Harry.
Direktur Taman Safari Indonesia (TSI) Tony Sumampau memandang, keleluasaan pemerintah daerah dalam memperoleh pajak hiburan dikhawatirkan mematikan panggung hiburan dan kegiatan seni budaya.
Mengurangi pengunjung
Menurut Tony, penentuan pajak haruslah mengajak bicara pengusaha hiburan. Pemerintah daerah Bogor, misalnya, selama ini selalu mengajak bicara pengusaha dalam penentuan pajak hiburan.
”Bagi pengusaha hiburan, kenaikan pajak memang bisa saja tinggal meningkatkan harga tiket. Namun, kalau sekadar meningkatkan harga bakal berimplikasi pada animo pengunjung wisata. Akibatnya, perolehan pajak juga pasti akan sedikit,” ujar Tony.
Pemerintah dan DPR semestinya menilik kembali perjalanan penentuan pajak. Tahun 1993, pemerintah Orde Baru pernah menghapuskan semua retribusi hotel dan hiburan.