Pasalnya, pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam rapat pembahasan Rancangan Udang-Undang PPN dan PPnBM akhir pekan lalu sepakat membuat aturan baru.
Untuk PPN, tarifnya memang dipertahankan 10%. Tapi, disepakati juga adanya klausul kalau pemerintah dapat merubah tarif tersebut melalui peraturan pemerintah (PP).
Lewat PP itu, pemerintah mempunyai ruang untuk menaikan dan menurunkan tarif PPN. Minimal 5% dan maksimal 15%."Pemerintah tidak mau langsung menurunkan tarif karena takut penerimaan negara akan turun drastis," ujar Ketua Panitia Khusus RUU PPN dan PPnBM Melchias Markus Mekeng kepada KONTAN, Minggu (31/5).
Melchias melanjutkan, alasan lain pemerintah tidak mau menurunkan PPN secara langsung karena melihat trend dunia justru menaikan tarif PPN.
Nah mengenai hal itu, Direktur Jenderal Pajak Darmin Nasution pernah mengatakan, pemerintah lebih cenderung akan menaikan tarif PPN. Tapi, "Itu sangat bergantung sikap politik pemerintahan yang akan datang," kata Darmin.
Mengenai PPnBM, Melchias Markus Mekeng menjelaskan, disepakati batas minimal tarif PPnBM tetap 10%. Nah untuk batas tarif maksimal, ada perubahan batas maksimal tarif dibanding yang berlaku sekarang. "Kalau sekarang hanya 75% maka disepakati maksimal menjadi 200%," sambungnya.
Dia menjelaskan, daftar barang yang terkena PPN dan PPnBM bakal diatur lewat penerbitan PP atau peraturan menteri keuangan (PMK). Sebelum aturan pelaksana itu terbit, pemerintah bakal meminta pandangan dari DPR.
Kesepakatan pemerintah dan DPR tersebut ditangapi dingin oleh Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Hariyadi B.Sukamdani. "Kalau PPN sampai dinaikan 15% jelas akan memberatkan masyarakat karena pajak ini dirasakan oleh semua elemen masyarakat," kata dia.
Hariyadi melanjutkan, untuk PPnBM ada baiknya pemerintah melibatkan masyarakat dan pelaku usaha sebelum mematok barang mana saja yang akan dikenakan PPnBM. "Semangat adanya PPnBM kan untuk mengurangi gap antara yang miskin dan kaya, makanya perlu dibuat definisi jelas karena harga apa-apa sekarang sudah mahal masak harus ditambah lagi pajak 200%," paparnya.
Selain yang terkait upaya menjaga kesehatan, dia melanjutkan, sebenarnya tidak ada alasan lagi pemerintah mengenakan PPnBM.
Sementara itu Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia Tulus Abadi lebih menyoroti klausul PPN bisa sampai 15%. "Kalau ini sampai dilakukan, jelas akan kontraproduktif dengan rencana pemerintah meningkatkan konsumsi dan produksi untuk mendorong sektor riil," kata dia.
Makanya soal adanya aturan tarif PPnBM bisa sampai 200% hal itu wajar saja. "Tapi memang harus diperjelas, jangan sampai barang tidak mewah dikenakan dan barang mewah justru bebas terkena PPnBM," ucapnya.