Dari sisi global, tantangan itu berupa perang insentif pajak dari negara-negara seperti Amerika Serikat (AS), Jepang, Filipina, Denmark, Kanada, dan Taiwan untuk menarik investasi. Perusahaan global pun masih akan aktif mempertimbangkan faktor pajak untuk memulai dan memindahkan kegiatan bisnis dan investasinya. Maka, reformasi perpajakan di Indonesia perlu didorong agar mampu bersaing untuk membuat iklim bisnis yang mendukung.
Dari sisi domestik juga masih ada risiko tidak tercapainya penerimaan pajak tahun depan. Mulai dari masih lemahnya tingkat kepatuhan wajib pajak, tingginya shadow economy, struktur penerimaan pajak yang tidak berimbang, hingga rendahnya kinerha pemungutan pajak atau tax buoyancy.
Direktur Potensi Kepatuhan dan Penerimaan Direktorat jenderal (Ditjen) Pajak Kementerian Keuangan (Kemkeu) Yon Arsal mengatakan, ada beberapa fokus kebijakan teknis yang ditetapkan Ditjen Pajak untuk meningkatkan penerimaan di tahun depan.
Pertama, pemerintah akan fokus menguatkan pelayanan perpajakan. Mulai dari melakukan simplifikasi registrasi, perluasan tempat pelayanan, perluasan cakupan e-filling, hingga kemudahan restitusi.
Transisi pemerintahan membuat penerimaan tidak optimal.
Kedua, melakukan pengawasan kepatuhan perpajakan, seperti implementasi kebijakan AEoI secara kredibel dan akuntabel. Ketiga, melakukan ekstensifikasi dan peningkatkan pengawasan sebagai tindak lanjut pasca tax amnesty, penangangan UMKM dengan pendekatan business development services (DBS), melakukan joint program dengan Ditjen Bea dan Cukai, membenahi basis data perpajakan, dan pengawasan wajib pajak berbasis resiko. Ditjen Pajak juga akan melaksanakan penegakan hukum secara berkeadilan dan peningkatan mutu pemeriksaan lewat perbaikan tata kelola pemeriksaan.
"Kami akan melakukan tax reform dari masalah-masalah yang muncul dari hasil evaluasi kita. Pertumbuhan penerimaan pajak sampai saat ini 16%. Saya rasa itu sudah baik," tutur Yon kepada KONTAN, Senin (22/10). Reformasi menyangkut sumber daya manusia, peraturan perpajakan, IT, hingga penyempurnaan proses bisnis.
Masih shorfall
Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo memperkirakan, penerimaan pajak tahun depan akan mencatat shortfall. Jika tahun ini perkiraan capaian penerimaan pajak sebesar 94% dari target APBN 2018, tahun depan hanya mencapai 97% dari target.
Salah satu penyebabnya, adalah tahun politik. "Bila ada transisi pemerintahan, bila ada perubahan nantinya, mungkin (membuat penerimaan) tak bisa optimal," katanya. Kata dia, sampai April 2019, situasi politik membuat law enforcement akan tertunda.
Ia juga melihat sistem administrasi dan informasi belum efektif. Berbagai aturan tumpang tindih yang tak mendukung investasi juga menjadi kontradiktif pada penerimaan pajak.
Pakar Pajak dari Danny Darussalam Tax Centre (DDTC) Darussalam berpendapat, otoritas pajak masih melupakan hal penting, yaitu cara meningkatkan penerimaan pajak melalui reformasi sistem yang turut meminimalisasi sengketa pajak. Padahal, sengketa pajak akan menciptakan biaya administrasi bagi otoritas dan biaya kepatuhan wajib paja tinggi. Makanya, penting membuat peraturan pajak yang memiliki kepastian hukum tinggi.