JAKARTA, JUMAT – Rancangan undang-undang Pajak Penghasilan atau PPh baru yang segera disahkan menjadi undang-undang dinilai sangat ideologis sehingga dalam pembahasannya kerap menimbulkan pertentangan hebat antar kepentingan-kepentingan yang ada di Panitia Kerja RUU PPh. Ini ditekankan karena RUU PPh tersebut memuat perubahan-perubahan yang berisi perimbangan antara kepentingan pemilik modal dengan kepentingan orang miskin.
Dirjen Pajak Darmin Nasution mengungkapkan hal tersebut di Jakarta, kamis (17/7) malam usai menghadiri Rapat Kerja Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dengan Panitia Khusus Paket RUU Perpajakan.
Rapat ini mengagendakan penyampaian Pandangan Mini Fraksi-fraksi atas RUU PPh. Sepuluh fraksi di DPR menyatakan persetujuannya agar RUU PPh tersebut dibawa ke sidang paripurna DPR untuk disahkan sebagai Undang-udang PPh yang baru. UU PPh baru tersebut ditetapkan berlaku mulai 1 Januari 2009.
Menurut Darmin, akibat cakupan pembicaraan yang ideologis tersebut, pembahasan RUU PPh tergolong sangat berat, karena penyelesaian setiap pasal yang krusial harus dilakukan secara mendalam.
"Ideologis artinya bukan ke tingkat agama atau partai politik, bukan juga masalah primordial, tetapi diskusinya mendalam hingga ke persoalan memihak ke orang kecil atau pemilik modal, memberikan keringanan ke Usaha Kecil Menengah atau pengusaha besar. Seperti itu," ujarnya.
Sebelumnya, salah satu keputusan dalam pembahasan RUU PPh itu adalah memberikan diskon pada pembayaran PPh untuk UKM sebesar 50 persen di bawah tarif PPh wajib pajak badan lainnya.
Tarif PPh wajib pajak badan ditetapkan 28 persen, sedangkan PPh UMKM hanya 14 persen. Ini dilakukan karena DPR dan pemerintah ingin memberikan dukungan terhadap perkembangan UMKM ke depan dengan memberikan keringanan pajak tersebut.
Orin Basuki