Follow Us :

Jakarta, Kompas – Kendati Bank Indonesia sudah membatasi spekulasi di pasar valuta asing atau valas , nilai tukar rupiah masih terus tertekan dan hampir menembus Rp 12.000 per dollar AS. Kekhawatiran risiko, kejatuhan bursa domestik dan imbas aturan baru tentang pembelian valas berperan mengempaskan rupiah.

Pada perdagangan di pasar spot antarbank domestik Kamis (13/11) di Jakarta, rupiah ditutup di level Rp 11.800 per dollar AS, melemah 300 poin dibandingkan penutupan sehari sebelumnya yang Rp 11.500 per dollar AS.

Saat diperdagangkan, rupiah sempat menyentuh level Rp 11.998 per dollar AS, yang merupakan posisi terburuk sejak tahun 2001.

Pada transaksi di Bank Indonesia (BI), kurs tengah rupiah berada di level Rp 11.913 per dollar AS, melemah dibandingkan posisi sehari sebelumnya sebesar Rp 11.521 per dollar AS.

Pengamat pasar uang Farial Anwar menjelaskan, kejatuhan rupiah dipicu oleh beberapa hal. Investor ramai-ramai melepas saham di bursa kemudian menkonversi dananya ke dollar AS.

Selain itu, pelemahan rupiah juga dipicu oleh kepanikan sementara akibat aturan baru tentang pembelian valas.

Kemarin, BI mulai memberlakukan kewajiban adanya tujuan yang jelas (underlying transaction) untuk pembelian valas di atas 100.000 dollar AS.

Selain itu, nasabah individu dan badan hukum Indonesia harus menunjukkan nomor pokok wajib pajak (NPWP).

Menurut Farial, aturan tersebut direspons beragam oleh para nasabah bank. Ada nasabah yang panik sehingga mereka justru memborong dollar AS.

Di sisi lain, nasabah yang memiliki dollar AS enggan mengkonversinya ke rupiah. Mereka khawatir, aturan tersebut nanti akan mempersulit mereka mendapatkan dollar AS.

Kondisi ini membuat pasokan dollar AS ke pasar makin terbatas, sementara permintaan tetap tinggi. Volume transaksi dollar AS kemarin diperkirakan hanya sekitar 500 juta dollar AS.

Respons negatif yang diperlihatkan nasabah dan investor kerap terjadi saat kebijakan baru diterbitkan. Namun, biasanya ini hanya sementara.

Secara umum, papar Farial, kebijakan BI membatasi spekulasi di pasar valas merupakan langkah positif dan dalam jangka menengah panjang akan membantu penguatan rupiah.

Ketua Umum Perhimpunan Bank Umum Nasional (Perbanas) Sigit Pramono juga menilai, kebijakan BI itu cukup bagus meskipun dalam pelaksanaannya akan mengurangi kenyamanan nasabah. Karena itu, menurut dia, bank harus meningkatkan kualitas administrasinya.

Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia MS Hidayat memandang kebijakan BI mengontrol pembelian dollar AS tidak akan memengaruhi kegiatan transaksi perdagangan. Kebijakan itu pun sudah dilakukan di Malaysia, Thailand, Singapura, Korea, dan China.

”Yang penting kebijakan ini tidak menciptakan prosedur baru yang membuat bertele-tele dan penuh prosedural. Kebijakan itu bukan ditentukan untuk melarang kepemilikan dollar AS, tetapi semata-mata mengontrol perdagangan valas, karena spekulan selama ini terlampau bisa bergerak bebas,” ujar Hidayat.

Petinggi Kadin lain Hariyadi Sukamdani menambahkan, pengendalian dollar AS perlu dilakukan untuk menjaga kestabilan moneter. Namun, perbankan juga jangan mempersulit nasabah yang ingin menukarkan dollar AS menjadi rupiah. Perbankan sering menolak, karena dollar AS tersebut tidak menunjukkan seri tertentu.

”Bank suka memberikan aturan aneh-aneh. Seri-seri tertentu yang tercantum dalam uang kertas itu kerap ditolak bank. Padahal, saat ini bank sedang mempertahankan ketersediaan stok pasokan dollar AS,” jelas Hariyadi.

Pasar kian rapuh

Sementara itu, menjelang pertemuan G-20 di Washington, Amerika Serikat, tanggal 15 November 2008, terjadi saling tuding. Saling tuding muncul antara negara-negara anggota dengan lembaga finansial internasional seperti Dana Moneter Internasional (IMF).

Sebagian menteri keuangan dan bank sentral mengatakan , seharusnya IMF dapat memainkan peranan lebih banyak lagi dalam mengatur finansial global.

IMF sering dikritik sebagai entitas terbesar yang sebenarnya dapat melakukan langkah koordinasi untuk menghindari kegagalan finansial global.

Direktur Pengelola IMF Dominique Strauss-Kahn telah menyerukan agar negara maju dan berkembang meningkatkan peran mereka dalam menjadi pengawas aturan di dalam negara masing-masing.

Sementara itu, negara-negara di Afrika meminta agar negara maju membantu mereka dalam pertemuan G-20. Di antara 20 kepala negara yang akan hadir dalam pertemuan di Washington itu, hanya Afrika Selatan saja yang diundang.

Presiden Uni Eropa Jean Ping menyerukan kepada para pem impin yang tergabung dalam G20 agar tidak melupakan mereka dalam mengatasi krisis.

error: Content is protected