Follow Us :

Jakarta – Jika Anda melewati sebuah perempatan kecil di Jl Teuku Cik Ditiro, tak jauh dari Jl Diponegoro, Menteng, Jakarta Pusat, bisa ditebak Anda takkan lupa melirik rumah penuh bunga itu. Itu jika siang hari.

Jika malam hari, seringkali rumah itu terang benderang. Lampu sorot berpendar menyilaukan. Orang-orang hilir mudik di antara barang-barang bertuliskan 'Film'. Oh, sedang ada syuting film rupanya.

Itulah yang disebut orang-orang dengan 'Rumah Cantik'. Rumah itu terlihat 'transparan' karena pagar yang melindunginya tidak terlalu rapat. Siapa pun bisa melihat kecantikannya hanya dengan lewat saja. Halaman yang cukup luas dan kebun bunga sungguh sedap dipandang.

Tak hanya untuk syuting, rumah itu juga sering digunakan untuk pemotretan pre-wedding. Di kawasan Menteng, Rumah Cantik ini bolehlah disebut salah satu 'tempat wisata'.

Namun sudah setahunan ini rumah itu terpasang spanduk cukup mencolok dari sebuah broker properti. Tulisannya: DIJUAL.

"Saya tidak kuat tinggal di sini," ujar Sari Shudiono (75), pemilik rumah, kepada detikcom, di kediamannya yang asri itu, akhir pekan lalu.

Mengapa tinggal di Rumah Cantik tidak kuat? Bu Sudhiono merujuknya pada Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang setinggi langit.

Menjual Rumah Cantik jelas pilihan sulit bagi perempuan sepuh ini. Bagaimana tidak, dia telah menghuni rumah itu sejak 50 tahun silam. Sementara, suami tercintanya menghadap Sang Khalik 36 tahun silam. Sejak itulah dia tidak memiliki pemasukan selain dari anak-anaknya.

"Saya tidak ada usaha apa-apa," kata nenek 8 cucu ini. Selama ini anak-anaknya jugalah yang membayar PBB.

Menurut perempuan yang fasih berbahasa Belanda ini, setiap tahun PBB yang harus dibayar untuk rumah itu Rp 16 juta. Karena tak kuat membayar, akhirnya dia mengirim surat meminta keringanan.

PBB pun didiskon menjadi 75%. Namun dia hanya kuat membayar 2 kali. "Akhirnya dikurangi walaupun tetap harus membayar 50%, menjadi Rp 8 juta, sejak 4 tahun terakhir," jelas Bu Sudhiono yang enggan difoto ini.

Pemprov DKI Jakarta sendiri pernah memberikan penghargaan pada keluarga Sudhiono atas kerja kerasnya merawat rumah itu. Penghargaan itu berupa "Merawat Rumah Tua Dengan Bagus" pada masa Gubernur DKI Jakarta Soerjadi Soedirdja, tahun 1992-1997.

"Rumah ini kan dilestarikan, seharusnya bebas PBB," ujar Bu Shudiono yang mengidap osteoporosis ini.(did/nrl)

Didi Syafirdi

error: Content is protected