Follow Us :

Ribut-ribut mengenai tunggakan royalti sejumlah perusahaan tambang batu bara senilai Rp3,9 triliun sejak 2001, yang mencuat sepekan terakhir ini, baru saja menemukan kompromi. Pengusaha menyatakan siap membayar tunggakan royalti, sedangkan pemerintah akan mencari mekanisme pencairan restitusi pajak pertambahan nilai (PPN) yang akan dibayarkan kepada pengusaha.

Namun, kompromi tersebut masih meninggalkan tanda tanya besar. Royalti sesungguhnya adalah iuran tetap dan iuran produksi yang merupakan kewajiban perusahaan/kontraktor dalam perjanjian karya pengusahaan pertambangan batu bara yang harus dibayarkan kepada pemerintah. Akan tetapi, mengapa tunggakan itu dibiarkan selama tujuh tahun?

Pengusaha ternyata berdalih bahwa penahanan royalti itu merupakan kompensasi (set-off) atas kewajiban negara yang tidak membayar restitusi PPN yang telah mereka bayarkan. Namun, menurut Dirjen Pajak, negara tidak memiliki kewajiban membayar royalti, karena batu bara tidak menjadi barang kena pajak lagi sejak dikeluarkannya PP No. 144/2000.

Kisruh itu kemudian berkembang karena pemerintah tidak pernah satu suara. Departemen Keuangan dan Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral memiliki pendirian yang berseberangan.

Karena itulah, berkat gebrakan Menkeu Sri Mulyani Indrawati yang berbuntut pencekalan terhadap 13 petinggi perusahaan tambang yang menunggak royalti tersebut, isu itu mencuat ke permukaan, meskipun akhirnya berujung kompromi. Pengusaha siap membayar royalti, pemerintah siap membayar restitusi PPN.

Apakah solusi itu bisa dianggap win-win atau negara masih tetap dalam posisi dirugikan? Sebenarnya masih ada persoalan lain berkaitan dengan sepak terjang perusahaan yang memiliki pengusahaan atas sumber daya alam Indonesia itu.

Berdasarkan data resmi, tunggakan royalti sebenarnya mencapai Rp7 triliun. Padahal, perusahaan itu meraup untung besar dari pengusahaan kekayaan negara yang semestinya dikelola untuk memberikan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Kasus royalti ini, meminjam bahasa komunikasi, cuma ibarat puncak gunung es. Para petugas pajak, yang mengurusi perusahaan yang bergelut di bidang pertambangan batu bara, paham betul bahwa beberapa perusahaan besar itu seperti makhluk yang untouchable, sekalipun terjadi irregularities di sana-sini berkaitan dengan kewajiban kepada negara, khususnya perpajakan.

Dirjen Pajak Darmin Nasution dan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati tentu saja paham betul persoalan itu. Masih ada sejumlah tunggakan pajak lain yang tidak dibayar oleh para pengusaha, seperti dinyatakan oleh Dirjen Pajak.

Kita masih bertanya, apakah nilai royalti yang dinyatakan selama ini benar-benar mencerminkan jumlah produksi mereka yang sebenarnya? Bagaimana pemerintah mengontrol tidak terjadi mark-down nilai produksi yang dilaporkan untuk memperkecil kewajiban royalti? Itu semua masih serba gelap!

Masih banyak yang harus ditelusuri lebih dalam, yang semestinya menjadi kewajiban Departemen ESDM untuk mengawasi benar praktik royalti itu, bukan justru sebaliknya.

Dalam konteks itulah, kita harus mengacungkan jempol kepada Menkeu Sri Mulyani, yang memiliki keberanian membongkar tunggakan royalti ini. Keputusan berani Menkeu itu telah membuka mata publik bahwa ada yang tidak beres dalam kebijakan, penanganan, dan perlakuan kepada para pengusaha batu bara di negeri ini.

Gebrakan itu harus diteruskan untuk membongkar kemungkinan pelanggaran lainnya terhadap eksploitasi sumber daya alam, khususnya yang menjadi hak negara dan rakyat dari sisi kewajiban perpajakan

error: Content is protected