Follow Us :

Keluhan seorang Wajib Pajak (AVP) atas penolakan Bank BUMN terhadap pembayaran pajaknya dikutip pada dinding (wali) situs jejaring sosial atas nama Direktorat Jenderal Pajak (Selasa, 11/08/2009). Tanggapan atas posting ini sangat beragam, dari yang sangat menyayangkan sikap bank tersebut sampai yang meminta Ditjen Pajak segera bertindak untuk menyelesaikan kasus ini. Sebenarnya apa yang terjadi sehingga pelayanan pembayaran pajak mengalami sanggahan masyarakat (public complain). Sudah seharusnya pihak terkait (stakeholders) meneliti, menelaah dan mengambil tindakan atas keluhan sistem pembayaran pajak yang berlaku selama ini.

Peta Masalah

Ada tiga (3) pihak terkait dengan sistem pembayaran pajak ini Ditjen Pajak (Kantor Pelayanan Pajak), Ditjen Perbendaharaan (Kantor Perbendaharaan Negara) dan Bank Persepsi (Bank Penerima Pembayaran Pajak). Sistem pembayaran pajak, dikenal dengan Monitoring Penerimaan Pajak (MPN), dibangun (develop) oleh Dirjen Perbendaharaan. Direktorat Jenderal Pajak hanya bertindak sebagai pengguna (user) atas database pembayaran pajaknya, di mana selanjutnya data tersebut digunakan untuk pengawasan kepatuhan pem-bayaran pajak per WP Bank Persepsi berperan sebagai penerima pembayaran, yang menatausahakan pembayaran pajak dan meyetorkan uang pajak tersebut ke rekening negara. Kalau melihat peran masing-masing pihak terkait (stakeholders) maka Dirjen Perbendaharaan-lah yang sangat bertanggung jawab apabila ada keluhan WP atas ditolaknya pembayaran pajaknya. Tetapi, karena bermerek "pajak" maka selama ini, Kantor Pelayanan Pajak (KPP)-lah yang menjadi tempat mengadu dan keluh kesah WR

Berdasarkan pengalaman lapangan, ada dua sumber masalah yang menyebabkan terganggunya pelayanan pembayaran pajak ini.Yang pertama adalah kondisi sistem Teknologi Informasi (TI) yang mendukung sistem pembayaran pajak dan kedua adalah faktor pembatasan jam pelayanan Bank Persepsi kepada WP Kalau sistem teknologi informasi kurang andal maka gangguan komunikasi akan menjadi putus nyambung. Akibatnya akan sering mendengar kata "offline" dari petugas penerima pembayaran. Yang dimaksud status "offline"di sini adalah tidak terjadinya proses transfer data antara server MPN (letaknya di Jakarta) dengan server Bank Persepsi (yang menampilkan menu pembayaran).

Masalah lain akan muncul akibat belum andalnya sistem TI. Pertama belum tersedianya menu untuk jenis setoran pajak tertentu, sehingga Bank Persepsi menolak pembayaran oleh WP Hal ini karena belumadanya standarisasi menu dan tampilan pada menu penerima pembayaran BankPersepsi. Sehingga pihak Bank Persepsi diharuskan merancang (create) sendiri tampilan menu pembayaran, yang sangat mungkin kode jenis setoran tidak di-entry. Kedua adalah WP sudah memiliki NPWP, tetapi belum terdaftar dalam database MPN Bank Persepsi, alhasil pembayaran pajaknya ditolak. Ini terjadi akibat belum ditransfemya data mas-terjtie WP dari server KPP ke server Kantor Pusat Ditjen Pajak atau belum dilakukannya pemutakhiran data WP pada server MPN.

Permasalahan kedua yaitu masih ditemukan Bank Persepsi yang membatasi jam pelayanan bagi WP yang akan membayar pajak sampai pukul 10.00. Padahal, Ditjen Perbendaharaan telah memperlakukan aturan jam pelayanan, termasuk pelayanan pembayaran pajak, yaitu sampai pukul 14.00. Akibatnya, komplain "Bayar Pajak Aja Susah" dialamatkan pada kantor pajak terdekat. Disinyalir masalah fee merupakan alasan utama Bank Persepsi yang selalu menempatkan pelayanan pembayaran pajak menjadi nomor dua dibandingkan jenis pelayanan lain (pembayaran listrik, misalnya).

Revitalisasi

Sudah saatnya dilakukan revitalisasi sistem pembayaran pajak di Indonesia. Tiga serangkai yang terlibat (Ditjen Perbendaharaan, Ditjen Pajak dan Bank Persepsi) harus menyadari arti penting peran-nya masing masing. Untuk membentuk sistem yang andal maka dukungan TI yang andal mutlak diperlukan. Setidaknya dapat dimulai dengan memperbesar band width untuk jalur komunikasi antar-seruer. Sistem ini harus mampu mengatasi jam sibuk (rush hour) yaitu pada batas akhir pembayaran pajak (tanggal 10 dan tanggal 15 setiap bulannya). Setiap tanggal tersebut, WP akan berbondong-bondong mendatangi Bank Persepsi. Bayangkan jika seluruh transaksi (seluruh Indonesia) mencoba masuk ke server yang sama, sedangkan pintunya sempit maka otomatis terjadi antrean dan perlambatan, akhirnya "hang" (offline).

Pemerintah telah setuju untuk memberikan fee atas setiap transaksi pembayaran pajak di Bank Persepsi mulai kuartal m Tahun 2009. Walaupun besarannya belum ditetapkan secara resmi,/ee tersebut pasti mengikuti harga normal di pasaran. Jadi, sudah se-harusnya juga Bank Persepsi berbenah diri dari segi pe-rangkat pendukung (TI dan SDM) dan kualitas pelayanannya.

Yang mendesak adalah pihak Bank Persepsi harus menyediakan menu pembayaran pajak secara lengkap, termasuk menampung pembayaran pajak bagi masyarakat yang belum memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Karena bagi WP yang belum ber-NPWP tetapi melakukan pembayaran pajak (dipotong atau dipungut) dapat menjadi sumber data bagi Ditjen Pajak untuk melakukan program ekstensifikasi perpajakan.

Bila perlu, tergantung darivolume WP-nya, pihak Bank Persepsi harus menyediakan gerai khusus pembayaran pajak. Selain memberikan pelayanan terbaiknya, sudah sepantasnya pembayar pajak disamakan (misalnya) dengan nasabah platinumnya, memiliki previlege dan kebanggaan tersendiri. Apabila direnungkan, pembayar pajak inilah pahlawan bangsa sesungguhnya. Struktur dan komposisi penerimaan pajak malah menempatkan pembayar pajak pada jenis pajak PPh 21 (Karyawan) sebagai pengumpul pajak terbesar, bukan perusahaan besar. Kontribusi pajak melalui APBN sudah tidak perlu diperdebatkan lagi, sehingga memperlakukan mereka sebagai raja sudah merupakan suatu keharusan.

Dengan adanya fee ini, aturan main antara Ditjen Pajak, Ditjen Perbendaharaan dan Bank Persepsi dipertegas. Aturan yang menyangkut tugas dan kewajiban setiap pihak harus ada, termasuk aturan mengenai sanksi bagi pihak yang melanggar kewajibannya. Tentunya selain dicap tidak profesional, denda akibat melanggar aturan ini juga harus dikenakan. Aturan yang jelas, baku dan transparan akan memudahkan pelaksana di lapangan mengambil keputusan jika ada indikasi keti-dakprofesionalan dalam bekerja. Harapannya ke depan, tidak terdengar lagi keluhan WP "Kok Bayar Pajak Saja Sulit, Apa Kata Dunia!"!

Oleh Chandra Budi
Penulis adalah Staf
Direktorat Jenderal Pajak.
Departemen Keuangan.

error: Content is protected