Follow Us :

Pengusaha Diminta Bayar Penuh Tungggakan Royalti Batubara

JAKARTA, Investor Daily
Pemerintah meminta lima perusahaan batubara pemegang Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) memprioritaskan pembayaran royalti atau DHPB (Dana Hasil Produksi Batubara) dan Pajak Penjualan (PPn) batubara pada 2001-2007 terlebih dulu.

Setelah mereka membayar pemerintah akan membayar restitusi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk periode yang sama.

Dirjen Mineral, Batubara, dan Panas Bumi (Minerbapabum) Departemen ESDM bambang Setiawan mengatakan, besaran DHPB untuk periode 2001-2007 mencapai sekitar Rp 7 triliun. Sementara itu, akumulasi PPn untuk periode tersebut masih dihitung.
 
Bambang menuturkan, periode 2001-2007 dipilih karena datanya lebih mudah dikumpulkan. Padahal jika kembali kepada kontrak PKP2B generasi yang diteken pada 1983, seharusnya perusahaan batubara membayar PPn sejak 1983.
 
“Kalau data sejak 1983 mungkin agak susah mengumpulkannya. Pada 1983 kan sudah lama sekali, tapi kita akan usahakan juga,” katanya di kantor Menko Perekonomian Jakarta, Selasa (2/9).
 
Perusahaan batubara menunggak pembayaran PPn sejak 1983 karena pada tahun tersebut juga keluar UU PPN yang diberlakukan pada 1 Januari 1984. Dalam UU PPN tersebut, batubara dinyatakan sebagai barang yang tidak kena pajak pertambahan nilai. Karena itu, perusahaan tidak bisa memungut PPN dari batubara yang dijualnya.
 
Ketua Umum Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) Jeffrey Mulyono yang dikonfirmasi soal ini mengaku belum mengetahui informasi tersebut. Kendati begitu, bila pemerintah memaksa lima perusahaan batubara membayar tunai tunggakan dipastikan tidak akan mampu. “Dari mana duitnya?,” ujar dia.
 
Direktur PT Adaro Indonesia Andre J mengatakan, dalam pertemuan dengan pemerintah, lima pengusaha batubara tidak ada kesepakatan untuk membayar semua tunggakan. Kelima perusahaan, yaitu Adaro, PT Arutmin Indonesia, PT Kaltim Prima Coal, PT Berau Coal, dan PT Kideco Jaya Agung hanya menyerahkan uang komitmen untuk pembayaran senilai Rp 600 miliar.
 
“Soal reimburse nanti dibicarakan lagi dengan BPKP (Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan). BPKP akan menjadi juru bicara pertambangan untuk mengusulkan penyelesaian reimbursement PPn kepada pemerintah,” kata Andre kepada Investor Daily, kemarin.
 
BHK Kendilo
 
Terkait PT BHP Kendilo Coal yang juga menunggak pembayaran kewajiban DHPB namun tidak menyerahkan uang jaminan, pemerintah meminta perusahaan tersebut melunasi pembayaran kewajibannya. “Utang tetap harus dibayar,” ujar Bambang.

Kepala BPKP Didi Widayadi sebelumnya menyatakan perusahaan ini tidak membayar uang jaminan lantaran akan berhenti operasi.

Namun,  mantan Dirjen Minerbapabum Simon Sembiring menjelaskan salah satu lokasi pertambangan Kendilo memang sudah selesai berproduksi dan saat ini dalam proses reklamasi.

“Kendilo dua lokasi tambang di Kalimantan. Satu sudah selesai, sekarang lagi reklamasi, yang satu balum produksi. Jadi statusnya dia belum tutup, kontraknya belum diputus," ujarnya.

error: Content is protected