”Saat ini kami sedang mengambil sampel perusahaan yang akan kami periksa. Untuk real estat kami ambil 100 perusahaan beromzet terbesar, lalu kami ambil sampel perusahaan yang membayar pajak rendah. Jadi, tidak semua perusahaan kami periksa,” ujar Dirjen Pajak Darmin Nasution, Jumat lalu di Jakarta.
Namun, untuk jasa konstruksi, jumlah dasar penetapan sampelnya akan lebih besar karena jumlah perusahaan jasa konstruksi jauh lebih banyak dibandingkan real estat. Oleh karena itu, Ditjen Pajak akan mengambil lebih dari 100 perusahaan jasa konstruksi yang beromzet terbesar di Indonesia dan kemudian akan mengambil beberapa di antaranya untuk diperiksa.
Sebelumnya, pemerintah memutuskan Pajak Penghasilan (PPh) bagi perusahaan jasa konstruksi dan real estat menjadi 3 persen atas omzet dan bersifat final. Langkah itu diharapkan memberi kejelasan penagihan pajaknya. Awalnya PPh perusahaan jasa konstruksi ditetapkan tidak final sehingga penuh ketidakpastian dan penerimaan negara lebih rendah daripada potensinya.
Namun, untuk real estat, hingga kini pemerintah belum mengeluarkan peraturan resmi yang memberikan ketetapan PPh finalnya. Saat ini sudah ada kesepakatan antara Ditjen Pajak dan pelaku usaha di sektor real estat bahwa PPh untuk sektor ini ditetapkan 1 persen untuk rumah sederhana sehat (RSH) bernilai jual Rp 55 juta per unit dan 5 persen untuk non-RSH.
”Pemeriksaan dilakukan atas laporan keuangan tahun 2005, 2006, dan 2007. Jadi, tidak hingga batas kedaluwarsa 10 tahun,” ujar Darmin.