Follow Us :

JAKARTA: Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Anwar Nasution mengatakan banyak potensi penerimaan pajak Indonesia yang justru di bawa lari ke Singapura oleh para pengusaha.

“Lihat toke-toke [pengusaha keturunan] yang punya kebun, punya tambang di Kalimantan dan Sumatra, justru punya kantor di Singapura. Jadi pajak kita banyak yang lari ke Singapura,” katanya kemarin.

Bahkan Anwar mengibaratkan Singapura seperti Belanda yang pernah menjajah Indonesia. “Singapura itu seperti Belanda bagi Indonesia sekarang. Sekarang kita biarkan objek-objek [kekayaan alam] kita digarap dan hasilnya di bawa ke Singapura.”

Menurut dia, salah satu yang menyebabkan kondisi tersebut terjadi adalah tidak adanya keterbukaan akses informasi terkait dengan penerimaan perpajakan di Indonesia sehingga menyebabkan sulit diketahui potensi penerimaan pajak yang bisa digali di Indonesia.

“Kita nggak tahu berapa sih potensi pajak di republik ini. Itu yang mengakibatkan mengapa masih terjadi transfer pricing seperti yang terjadi pada kasus Asian Agri,” tegasnya.

Anggota Komisi XI DPR Dradjad H. Wibowo pernah mengungkapkan Singapura merupakan negara penganut tax haven yang paling besar merugikan Indonesia dengan nilai potensi kehilangan penerimaan pajak terbesar sekitar US$40 miliar atau setara dengan Rp400 triliun. (Bisnis, 11 Mei)

Transfer pricing

Modus pelarian modal yang dilakukan a.l. melalui transfer pricing, nonrepatriasi dari penghasilan ekspor, penggunaan special purpose vehicle, seperti ke British Virgin Island yang kemudian diregistrasi di Singapura. Pelarian modal tersebut sebagian besar dilakukan oleh orang kaya yang mempunyai lobi kuat dan kekuatan finansial besar di Indonesia.

Menurut Dradjad, total uang orang Indonesia yang tidak membayar pajak di Singapura mencapai US$100 miliar sampai US$120 miliar. Jika tarif pajak digunakan sebesar 30%, paling tidak penerimaan pajak seharusnya bisa diperoleh pemerintah sekitar US$40 miliar.

Anwar menambahkan keterbatasan informasi dalam mengaudit penerimaan pajak menyebabkan BPK belum dapat menilai kinerja Ditjen Pajak apakah kenaikan penerimaan itu merupakan suatu prestasi yang menonjol dibandingkan dengan potensinya.

“Jika dibandingkan dengan negara lain yang sepantar dengan Indonesia. Kenyataannya kenaikan penerimaan pajak dan PNBP belum dapat memenuhi kebutuhan belanja pemerintah yang terus meningkat,” katanya.

error: Content is protected