Follow Us :

Jakarta-Perhimpunan Hotel dan Restaurant Indonesia (PHRI) mendesak pemerintah segera menurunkan luxury tax minuman beralkohol impor jadi 200 persen. Penerapan pajak minuman beralkohol impor yang terlalu tinggi kontra produktif dengan target Indonesia menggaet wisatawan asing hingga 6,5 juta orang.

“Kami sudah meminta ke Departemen Keuangan agar luxury tax diturunkan dari 400 persen menjadi 200 persen. Sudah berali-kali rapat dan saya belum tahu kelanjutannya,” kata Direktur Eksekutif PHRI Carla Parengkuan, Senin (12/1).

Dia menegaskan, suplai produk minuman beralkohol sebenarnya cukup. Namun karena harganya yang sangat mahal, distributor hanya membeli dalam jumlah kecil. Akibatnya, hotel dan restoran, terutama di kota wisata, seperti Bali dan Jakarta, kesulitan menyuplai alkohol.

Carla menegaskan, harga minuman alkohol, seperti wine, kahlua, vodka, dan sake yang sangat mahal dan langka telah mendapat protes dari wisatawan, terutama Australia, Jepang, Amerika Serikat, dan Rusia.

“Wisatawan dari negara-negara tersebut kalau makan harus minum alkohol impor sesuai dengan kultur mereka. Pernah ada wisatawan yang marah karena tidak menemukan minuman beralkohol, sedangkan kita tidak mungkin menggantinya dengan produk lokal,” tegas Carla.

Menurutnya, mahalnya minuman beralkohol bagi wisatawan hanya memberi kesan buruk bagi citra wisata di Indonesia. Kalau tidak cepat dibereskan, dikhawatirkan wisatawan lama-lama enggan berkunjung ke Indonesia.

Bendahara PHRI Johnnie Sugiarto menjelaskan, pengajuan luxury tax 200 persen tidak membuat harga minuman berlakohol di Indonesia sama dengan negara lain. Harga diperhitungkan masih lebih mahal dibandingkan negara lain.

“Sekarang minuman beralkohol di Indonesia paling mahal di ASEAN, bahkan mungkin di Asia,” kata Johnnie.

Akibat mahalnya minuman impor, banyak beredar minuman beralkohol ilegal dan palsu. Namun ditegaskan, anggota PHRI bertanggung jawab untuk tidak menjual minuman yang ilegal.

Naomi Siagian

error: Content is protected