Follow Us :

ALKISAH, pada tahun 1982 ditekenlah Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) Generasi I, antara perusahaan tambang dengan pemerintah. Ketentuan perpajakan dalam perjanjian ini merupakan aturan yang lex specialis karena diatur secara khusus. Pasal 11.3 dalam perjanjian itu menyatakan, pajak selain dari yang dicantumkan (dalam PKP2B) menjadi tanggungan pemerintah. Jika perusahaan tetap membayar, maka itu akan diganti (di-reimburse) oleh pemerintah.

Dua tahun kemudian, UU tentang Pajak Pertambahan Nilai (PPN) diberlakukan. Mengingat kontrak karya tadi ,maka PPN termasuk pajak baru yang menjadi tanggungan pemerintah . Kalau PPN dibayar oleh perusahaan PKP2B, pemerintah wajib mengganti.

Tetapi karena PPN-berdasarkan sifatnya-dapat direstitusi setelah diadakannya perhitungan antara PPN masukan dan PPN keluaran, maka perusahaan PKP2B menganggap bahwa mekanisme reimbursement sudah terjadi dengan sendirinya. Di sini tidak timbul permasalahan .

Masalah timbul ketika muncul Peraturan Pemerintah tentang Jenis Barang dan Jasa yang Tidak Dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PP No. 144/2000). PP ini menyatakan batu bara tidak lagi menjadi barang kena pajak. Alhasil, PPN keluaran yang diterima perusahaan PKP2B dari pembeli batu bara menjadi hilang. Sebaliknya, PPN masukan yang harus dibayar perusahaan kepada negara, tetap ada Tentu pula, bagi perusahaan PKP2B Generasi I, PP 144 ini merupakan “pajak baru”.

Akibat PP 144 itu, mekanisme reimbursement ilang. Pembayaran pajak baru (berupa PPN masukan) oleh perusahaan pun belum diganti oleh pemerintah. Selama itu belum diganti, maka itu menjadi utang pemerintah kepada perusahaan PKP2B.

Karena mekanisme reimbursement yang hilang tersebut tidak kunjung diganti dengan mekanisme baru, perusahaan PKP2B mengambil jalan untuk memperjumpakan utang pemerintah dengan tagihan pemerintah yang lain, yaitu Dana Hasil Produksi Batubara (DHPB) atau royalty. Langkah perusahaan PKP2B ini didasarkan kepada ketentuan Pasal 1425 KUH Perdata tentang perjumpaan utang.

Pasal 1425 KUH Perdata menyatakan, “Jika dua orang saling berutang satu kepada yang lain, maka terjadilah antara mereka suatu perjumpaan, dengan mana utang-utang antara kedua utang tersebut dihapuskan. “Pasal 1425 KUH Perdata menyatakan ,”Perjumpaan dengan hukum, bahkan dengan tidak setahunya orang-orang yang berutang, dan kedua utang itu yang satu menghapuskan yang lain dan sebaliknya, pada saat utang-utang itu bersama-sama ada, bertimbal balik untuk suatu jumlah yang sama. “Pasal 1429 KUH Perdata menyatakan, “Perjumpaan terjadi dengan tidak dibedakan dari sumber apa utang-piutang antara kedua belah pihak itu dilahirkan… “

Dengan diberlakukannya praktik perjumpaan utang ini, kewajiban pemerintah kepada perusahaan pertambangan menjadi terbayarkan. Sebaliknya, royalty yang menjadi kewajiban perusahaan pertambangan kepada pemerintah pun sudah tersetorkan. Maka, sangat tidak elok pernyataan-pernyataan aparat pemerintah bahwa terdapat tunggakan royalty batu bara.

Ihwal mekanisme reimbursement, sejak tahun 2001, itu sudah menjadi PR pemerintah yang tidak kunjung tuntas. Padahal, bila mekanisme ini disepakati sejak awal, maka permasalahan seperti sekarang tidak akan terjadi.

Yang muncul sekarang justru adalah pencekalan. Rupanya, ini terjadi lantaran praktik perjumpaan utang tidak ditoleransi oleh Departemen Pertambangan-yang justru berpikir, pemerintah mempunyai piutang terhadap perusahaan batu bara. Karena tidak bisa menagih , pada tahun 2006, penagihan itu diserahkan kepada Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN). Pada tahun 2007, PUPN menerbitkan penetapan jumlah piutang Negara kepada perusahaan PKP2B (surat penagihan).

Karena merasa tidak mempunyai utang, perusahaan PKP2B menggugat PUPN ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Pada akhir 2007, PTUN mengabulkan permohonan itu dna memerintahkan PUPN untuk menunda pelaksanaan tindak lanjut administrasi surat penagihan, dengan tidak melakukan tindakan administratif lainnya (pencekalan, penyitaan, dan seterusnya) sampai ada keputusan berkekuatan hukum tetap.

Pada awal tahun 2008, PTUN mengabulkan gugatan perusahaan tamabang dan memutuskan untuk membatalkan surat penagihan. Bahkan, Pengadilan Tinggi TUN juga menguatkan putusan tersebut. Seharusnya seluruh pihak mematuhi penetapan penundaan yang telah dikeluarkandan tidak melanjutkan tindakan administratif lainnya sampai adanya keputusan yang berkekuatan hukum tetap.

Alhasil, pencekalan yang dilakukan Menteri Keuangan merupakan tindakan yang melanggar putusan PTUN. Pun melanggar PKPK2B. Sebab, pemerintah, sesuai kontrak itu, seharusnya bertindak selaku pengusaha, bukan sebagai penguasa/regulator. Seharusnya, Menteri Keuangan focus untuk membuat mekanisme reimbursement pembayaran PPN oleh pemerintah dan pembayaran royalty oleh perusahaan tambang, lalu mencabut kembali surat cekal yang sudah ditentukan.

David ML Tobing, Advokat dan Pengamat Hukum Bisnis

error: Content is protected