JAKARTA: Pemerintah bertekad tetap melanjutkan proses pencekalan terhadap 14 petinggi enam perusahaan tambang batu bara untuk mengembalikan piutang royalti negara selama periode 2001-2007 senilai Rp7 triliun.
Namun, tekad pemerintah itu dinilai Asosiasi Pengusaha Batubara Indonesia (APBI) sebagai tindakan yang bertentangan dengan hukum. Dasarnya adalah putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta telah memerintahkan Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN) untuk menunda penagihan soal royalti.
Dirjen Kekayaan Negara Depkeu Hadiyanto mengatakan kalaupun perusahaan tambang memiliki hak restitusi pajak pertambahan nilai [PPN], tidak bisa secara sepihak menganggap lunas utang royaltinya.
"Wong kita belum sepakat soal itu. Jadi sebaiknya debitur bayar lunas dahulu," ujarnya kemarin.
Pernyataan senada juga diungkapkan Dirjen Mineral, Batubara, dan Panas Bumi Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM) Bambang Setiawan. Menurut dia, alasan memotong langsung PNBP sebagai kompensasi pembayaran PPN yang tidak direstitusi tidak tepat.
Seharusnya, tambahnya, perusahaan batu bara itu memisahkan persoalan pajak dengan royalti, atau juga dikenal dengan nama dana hasil penjualan batu bara (DHPB).
Menurut data Departemen ESDM, keenam perusahaan batu bara itu telah menahan royalti selama periode 2001-2005 sebesar Rp3,8 triliun.
Bila ditambah periode 2005-2007, perusahaan tambang itu telah menahan royalti mencapai Rp7 triliun. Namun, data Depkeu menyebutkan dana yang ditahan hanya Rp864,07 miliar dan US$330,20 juta (lihat tabel).
Hadiyanto menambahkan sejak 28 Agustus 2007 pengurusan piutang negara terhadap enam perusahaan tersebut telah ditingkatkan dengan pencekalan melalui Surat Paksa No.1176/ PUPNC.10/2007 hingga No. 1180/ PUPNC.10/ 2007. "Karena sejak datanya diserahkan Departemen ESDM ke PUPN, mereka tidak ada itikad untuk membayar [utang royalti]. Oleh karena itu, negara telah melakukan pencekalan ke luar negeri."
Terkait sejumlah petinggi perusahaan yang telah pensiun namun tetap terkena cekal, Dirjen Kekayaan Negara Depkeu menegaskan masalah pencekalan merupakan bagian dari proses piutang negara berdasarkan tata persuratan yang bersifat rahasia. "Data pengutang itu dari Departemen ESDM. Kami juga telah melakukan pengecekan data ke masing-masing perusahaan dan juga Ditjen Imigrasi."
Melawan hukum
Di sisi lain, APBI menilai pemberian sanksi berupa pencekalan ke luar negeri terhadap 14 petinggi enam perusahaan batu bara yang telah menahan royalti merupakan tindakan yang melawan hukum.
Sebenarnya, ujar Ketua Umum APBI Jeffrey Mulyono, PTUN Jakarta telah memerintahkan PUPN untuk menunda penagihannya sampai adanya keputusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
"Namun, nyatanya keluar pencekalan. Jadi, keputusan pencekalan yang dikeluarkan Menkeu merupakan tindakan melawan hukum." Pernyataan APBI itu juga merupakan sikap bersama lima perusahaan dari enam perusahaan.
Perusahaan itu merupakan pemegang kontrak Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) generasi pertama yang ditandatangani pada 1980-an.
Kontrak itu menyebutkan perusahaan terbebas dari pengenaan pajak-pajak baru (lex specialis) atau kalaupun terkena pajak akan diberi penggantian (reimbursement). Pada 22 Desember 2000, pemerintah mengeluarkan PP No 144/2000.
Pemberlakuan PP itu membuat perusahaan batu bara tidak terkena PPN keluaran tetapi dalam proses produksi dikenakan PPN masukan.
Padahal, sesuai kontrak PKP2B, perusahaan tidak terkena PPN masukan. Akibatnya, perusahaan meminta penggantian sesuai ketentuan PKP2B. "Pemerintah tidak menggantinya, sehingga pengusaha menahan sebagian pembayaran royalti," kata Jeffrey.
Atas tindakan pengusaha itu, lanjutnya, pemerintah melalui PUPN mengeluarkan keputusan paksa penagihan pada Juli 2007. Kasus itu masuk ke PTUN Jakarta dan telah diputuskan meminta PUPN menghentikan penagihannya sampai ada keputusan hukum pengadilan yang berkekuatan tetap.
Terkait pencekalan terhadap petinggi beberapa perusahaan batu bara itu, Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan akan meminta penjelasan terhadap eksekutif PT Bumi Resources Tbk [perusahaan induk Arutmin Indonesia dan Kaltim Prima Coal] dan PT Adaro Energy Tbk.
Menurut Ketua Bapepam-LK Ahmad Fuad Rahmany, kewenangan Bapepam-LK untuk meminta penjelasan terkait keterbukaan informasi yang telah disampaikan kepada otoritas pasar modal.
"Namun, kami tidak bisa memberikan sanksi. Kami nantinya hanya meminta mereka agar membayar royalti itu."
Firman Hidranto