Follow Us :

Meski dunia telah memasuki resesi, peluang untuk meningkatkan ekspor Indonesia tetap terbuka. Menggenjot ekspor harus menjadi prioritas. Namun, pemerintah harus bekerja ekstra keras dan segera memberikan stimulus yang konkret kepada dunia usaha. Stimulus itu mencakup stabilitas nilai tukar rupiah, dukungan pembiayaan eks-por, penurunan suku bunga kredit, kemudahan restitusi pajak, pemangkasan biaya ekonomi tinggi dan biaya logistik di pelabuhan, perlindungan pasar domestik, serta pencairan paket stimulus sektor riil senilai Rp 12,5 triliun. Ekspor perlu diprioritaskan karena merupakan sumber utama cadangan devisa nasional, yang kondisinya telah menipis. Dalam tempo sebulan, cadangan devisa terpangkas lebih dari US$ 6 miliar, akibat krisiskeuangan global yang memicu derasnya aliran dana ke luar (capital outflow). Meski cadangan devisa masih mampu menutup kebutuhan lima bulan impor,pemerintah dan Bank Indonesia harus tetap mewaspadai penurunan tersebut.

Demikian rangkuman pendapat yang dihimpun Investor Daily dari pengusaha nasional Mochtar Riady, Gubernur DI Yogyakarta (DIY) Sri Sultan Hamengkubuwono X, Sekjen Gabungan Perusahaan Ekspor Indonesia (GPEI) Toto Dirgantoro, Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Benny Soetrisno, anggota Komisi XI Rizal Djalil, Dekan FEUI Bambang S Brodjonegoro, dan Direktur Danareksa Research Institute (DRI) Pur-baya Yudhi Sadewa di Jakarta, pekan lalu.

Berdasarkan data Bank Indonesia, cadangan devisa per 31 Oktober 2008 sebesar US$ 50,58 miliar, turun dibandingkan September yang mencapai US$ 57,1 miliar. BI memproyeksikan cadangan devisa itu bertambah sekitar USS 2 miliar pada Desember 2008 setelah pemerintah mencairkan pinjaman luar negeri.

Menurut Gubernur BI Boediono di Jakarta, akhir pekan lalu, untuk mengamankan cadangan devisa, BI akan membicarakan fasilitas bilaterdl swap agreement (BSA) dengan Gubernur The Federal Reserve Ben Bernanke. Sebelumnya, Indonesia bersama negara Asean plus tiga (India, Tiongkok, dan Jepang) menyepakati BSA senilai USS 12 miliar.

Bergantung Pemerintah

Dalam kondisi saat ini, menurut Mochtar Riady, perekonomian nasional sangat bergantung pada kebijakan pemerintah di sektor perbankan. "Pemerintah mesti segera memberikan garansi penuh atas simpanan nasabah di bank (full blanket guarantee) sebagai upaya stabilisasi keuangan dalam negeri dan penyelamatan ekonomi nasional," ujar dia.

Dia mengingatkan, krisis ekonomi dunia tengah mengancam ekspor tambang batu-bara yang menyumbang lebih dari separuh pendapatan nasional. Tiongkok saat ini sudah menutup sekitar 90 ribu pabrik, sedangkan industri properti melambat. Hal ini mengakibatkan penurunan tajam permintaan baja yang berdampak pada penutupan pabrik.

Ekspor batubara Indonesia terancam, karena sejumlah besar perusahaan baja yang menjadi konsumen terbesar batubara Indonesia tidak beroperasi. "Suntikan dana perlu dilakukan pemerintah supaya sektor padat modal seperti pertambangan bisa terus bergerak," kata Mochtar.

Sri Sultan Hamengkubuwono X menambahkan, pelaku usaha tidak hanya membutuhkan fasilitas berbagai kemudahan. Pengusaha membutuhkan kepastian hukum yang dapat menarik minat investor menanamkan modalnya dan memberi jaminan berusaha. "Diberikan semua kemudahan pun tidak ada yang masuk kalau tidak aman," kata Sultan.

Meski berat, Benny Soetrisno memperkirakan, ekspor tekstil dan produk tekstil (TPT) Indonesia selama 2009 bisa mencapai USS 11,07 miliar, tumbuh 2,18% dibanding 2008 yang diprediksi tumbuh 8,33% (US$ 10,8 miliar). "Yang jelas, kami menyiapkan diri untuk kondisi terburuk," kata Benny.

Benny mengakui, resesi dunia telah menurunkan daya beli masyarakat di negara tujuan utama ekspor TPT Indonesia seperti Amerika Serikat (AS), Uni Eropa (UE), dan Jepang. Selama Januari-Agustus 2008, nilai impor TPI1 AS dari seluruh dunia turun 3,68% dan impor TPT Jepang susut 7,8%.

Akibat krisis keuangan global, kata Benny, 40% kontrak ekspor perusahaannya mengalami gagal bayar atau pembayarannya mundur hingga 45 hari. Oleh karena itu, dia mendesak pemerintah dan DPR untuk mengesahkan Undang-Undang Lembaga Pem-biayaan Ekspor. "Hal ini untuk menciptakan alternatif pembiayaan ketika likuiditas perbankan ketat seperti sekarang," ujarnya.

Meski pelemahan rupiah menguntungkan eksportir, kalangan pengusaha meminta pemerintah menjaga stabilitas nilai tukar rupiah pada level Rp 9.500 per dolar AS. "Jatuhnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS akan memberatkan dunia usaha," ujar Toto Dirgantoro.

Benny dan Toto mendesak pemerintah melindungi perekonomian dalam negeri, menurunkan harga bahan bakar minyak (BBM), dan memangkas biaya tinggi.

Seiring dengan menurunnya permintaan, Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) berusaha merenegosi-asi kontrak. Ketika para eksportir telah menyepakati batas harga terendah dengan importir, mereka akan melanjutkan pengiriman komoditas itu. "Hal itu akan memberikan sinyal positif dan diharapkan dapat menopang harga yang kini tengah lesu," ujar Ketua Umum Gapki Akmaluddin Hasibuan, seperti dikutip Dow Jones, Jumat (14/11).

Di tengah tekanan krisis global seperti ini, menurut Bambang Brodjonegoro, pemerintah harus mampu menyesuaikan kualitas produksi dengan daya beli negara tujuan ekspor. "Peluang ekspor masih ada, meskipun berat. Namun, pemerintah harus fokus pada produk-produk yang dikonsumsi secara rutin oleh masyarakat, seperti pangan, sandang, dan energi," kata dia.

Selain itu, jelas dia, pemerintah harus bisa mengalihkan pnsar tujuan ekspor dengan target negara-negara yang penduduknya besar, seperti Tiongkok, India, dan Pakistan. "Dalam kondisi krisis sangat diperlukan ide-ide kreatif yang mendorong pergerakan perekonomian kita,"kata Bambang.

Namun, menurut Purbaya Yudhi Sadewa, peluang untuk meningkatkan ekspor dalam waktu dekat hampir tidak ada. Sebab, ekonomi dunia sudah melambat signifikan. Bahkan, beberapa negara sudah masuk resesi "Jadi, permintaan produk Indonesia sudah hampir pasti menurun karena semua negara terpengaruh," ungkap dia.

Yang bisa dilakukan, menurut Purbaya, Indonesia harus melakukan konsolidasi pasar domestik, agar tidak dimasuki oleh barang-barang dengan harga murah. "Pemerintah harus berusaha menjaga daya saing produk kita. Misalnya, tidak ada lagi beban yang dikenakan secara ilegal pada dunia usaha seperti selama ini," jelas dia.

Tentang paket stimulus yang disuarakan pengusaha, sebelumnya Dirjen Pajak Departemen Keuangan Darmin Nasution mengatakan, insentif PPh melalui PP 62/2008 sudah cukup mendukung sektor riil. Dalam PP 62/2008 tentang Pemberian Fasilitas PPh untuk Penanaman Modal Di Bidang Usaha Tertentu dan atau Di Daerah Tertentu, pe- merintah memberi insentif terhadap 116 bidang usaha. Dari jumlah itu, sebanyak 41 bidang usaha di antaranya merupakan usaha di bidang pertanian dan perikanan.

Sementara itu, anggota Komisi XI DPR RI Rizal Djalil menyatakan, UU Perpajakan yang baru membuka peluang pemberian insentif lebih besar.  Apalagi jika bidang usaha itu berpengaruh signifikan terhadap perekonomian negara. "Misalnya, insentif untuk penjualan CPO ke luar negeri. Pokoknya masih ada ruang untuk insentif," tandas Rizal yang juga Wakil Ketua Pansu UU Perpajakan, dalam seminar di Fakultas Ekonomi Universitas Pakuan, Sabtu.

Dosen FE Universitas Pakuan Edy Mulyadi Supardi menegaskan, insentif pajak sah-sah saja dilakukan demi mendorong pertumbuhan ekonomi, asalkan tidak melanggar hukum

error: Content is protected