Follow Us :

BATAM: Kalangan pengusaha dan birokrat di Batam semakin intensif mendesak Menteri Keuangan agar mencabut atau merevisi Peraturan Pemerintah No. 63/2003 tentang Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, Pajak Penjualan Atas Barang Mewah di Kawasan Berikat Batam.

Desakan itu karena dinilai kontraproduktif dengan peraturan yang sudah ada. PP No. 63/2003 mengatur pengenaan pajak atas empat komoditas, yaitu kendaraan bermotor roda dua atau lebih, barang elektronik yang digerakkan oleh baterai atau listrik, minuman beralkohol, dan rokok/hasil tembakau.

Sementara itu, PP No. 46/2007 tentang Kawasan Perdagangan Bebas Batam menetapkan seluruh Pulau Batam, Rempang, Galang, dan beberapa pulau sekitar sebagai kawasan bebas yang ini berarti bebas atas segala pungutan pajak.

Abidin Hasibuan, Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Kepulauan Riau, menegaskan calon investor asing masih mempertanyakan keseriusan pemerintah dalam masalah perpajakan ini.

"Pengusaha ingin kepastian, jangan sampai peraturan yang ada saling kontraproduktif dengan peraturan lainnya sehingga implementasi FTZ di Batam semakin tidak jelas," ujarnya kepada Bisnis, kemarin.

Dia mengatakan campur tangan pemerintah pusat masih sangat diperlukan untuk menyelesaikan berbagai persoalan yang ternyata tidak bisa dituntaskan oleh daerah, seperti pembentukan badan pengusahaan kawasan dan pencabutan PP No. 63/2003 itu.

Menurut dia, kalangan pengusaha di Batam semakin gusar melihat perkembangan implementasi FTZ di Batam, Bintan, dan Karimun yang terkesan lamban dan semakin tidak terarah.

Desakan yang sama juga muncul dari Ketua Dewan Kawasan Free Trade Zone Batam,Bintan, dan Karimun (FTZ BBK) Ismeth Abdullah. Dari awal kepengurusan Dewan Kawasan (DK), dia sudah menyurati Menteri Keuangan agar segera mengusulkan pencabutan atau revisi PP No. 63/2003 kepada presiden.

"Namun hingga kini belum ada tanggapan dari pusat mengenai hal itu. Kami juga terus berupaya agar pencabutan PP ini bisa dipercepat," paparnya belum lama ini.

Ketua Tim FTZ Pemkot Batam Syamsul Bahrum menyebutkan salah satu rekomendasi timnya untuk percepatan implementasi FTZ di wilayah ini adalah mencabut PP No. 63/2003 tentang Pengenaan Pajak.

Banyak masalah

Abidin Hasibuan, Ketua Apindo Kepulauan Riau, menilai ada banyak persoalan yang sebenarnya harus diselesaikan selain masalah PP No.63/2003 dan dewan kawasan, seperti masalah upah buruh di Batam yang kian me-lonjak dan kenaikan tarif layanan publik yang kian memberatkan dunia usaha.

Saat ini, upah buruh di Batam mencapai angka US$100 per bulan, jauh di atas upah buruh di Vietnam dan India yang masih berkisar US$25-US$60 per bulan. Selain itu, sambungnya, kenaikan tarif listrik yang direkomendasikan DPRD Batam beberapa waktu lalu bisa memicu ekonomi biaya tinggi di kawasan ini.

"Saya heran dengan kebijakan birokrat di Batam yang tidak proinvestasi. Negara tetangga saja semakin berbenah mempersiapkan kawasan yang ramah dan nyaman bagi investor, tetapi Batam terus berkutat dalam persoalan lokal," tuturnya.

Dia juga mengkritik sikap DK yang belum melibatkan pengusaha dalam menyusun kebijakan pengembangan kawasan. Pengusaha bisa memberikan masukan mengenai solusi dari persoalan yang ada sekaligus membantu upaya promosi FTZ ke luar negeri.

Suyono Saputra

error: Content is protected