JAKARTA — Pemerintah menyatakan jumlah anggota direksi dan komisaris perusahaan batu bara yang terkena cekal karena menunggak pembayaran royalti ada kemungkinan bertambah. “Jika melihat perkembangannya, bisa bertambah (jumlah yang dicekal),” kata Direktur Jenderal Kekayaan Negara Hadiyanto kepada wartawan di Jakarta kemarin.
Hadiyanto mendesak para pengusaha pertambangan itu segera membayar kewajibannya kepada negara. Jumlah tunggakan royaltinya mencapai sekitar Rp 3,9 triliun. “Menunggak utang pembayaran royalti bisa berimplikasi hukum yang panjang,” katanya.
Perusahaan batu bara yang menunggak pembayaran royalti berjumlah 11 perusahaan. Tapi pemerintah baru mencekal 14 orang anggota direksi dan komisaris dari enam perusahaan. Sepuluh di antaranya berasal dari PT Kaltim Prima Coal dan PT Arutmin Indonesia— dua perusahaan tambang batu bara milik Grup Bakrie. Sisanya dari PT Adaro Indonesia milik Edwin Soeryadjaya dan PT Berau Coal milik keluarga Risjad. Bersama mereka, turut dicekal petinggi dua perusahaan pembiayaan.
Kisruh mengenai royalti terjadi setelah muncul Peraturan Pemerintah Nomor 144 Tahun 2000—penjelasan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 tentang Barang Hasil Tambang. Sesuai dengan peraturan ini, batu bara bukan barang kena pajak. Bagi pengusaha tambang, aturan ini memberatkan karena mereka harus menanggung beban pajak pertambahan nilai saat membeli barang dari pemasok. Sebaliknya, mereka tak boleh membebankan pajak kepada pembeli atau konsumen batu bara.
Para pengusaha menilai peraturan pemerintah itu bertentangan dengan kontrak karya pertambangan. Sesuai dengan kontrak karya, jika ada pembebanan lain, perusahaan batu bara berhak mendapat uang penggantian (reimburse).
Menurut Ketua Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia Jeffrey Mulyono, perusahaan- perusahaan batu bara menahan pembayaran royalti karena pemerintah tak kunjung mengganti atau mengembalikan uang hak perusahaan seperti diatur dalam kontrak karya pertambangan. Alhasil, para pengusaha menukar (set off) utang royalti kepada negara dengan hak penggantian yang seharusnya menjadi hak perusahaan batu bara. “Jumlahnya sama dengan kewajiban royalti kepada pemerintah,” ujarnya.
Di saat pengusaha belum menerima klaim penggantian, kata Jeffrey, pemerintah tetap menagih royalti dan melimpahkannya ke Panitia Urusan Piutang Negara. Para pengusaha mengadukan pemerintah ke Pengadilan Tata Usaha Negara dengan alasan lembaga di bawah Departemen Keuangan itu tak berhak menagih royalti. “Pengadilan memenangkan pengusaha tambang. Tapi kami malah dicekal,” katanya. Jeffrey termasuk salah satu eksekutif perusahaan batu bara yang juga dicekal oleh Direktorat Jenderal Imigrasi.
Menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani, pertukaran antara utang royalti perusahaan batu bara kepada negara dan uang penggantian kepada pengusaha tak bisa dilakukan. Sebab, praktek itu hanya berlaku untuk korporasi. “Negara ini bukan perusahaan. Ini juga bukan PT Sri Mulyani,” ujarnya di Jakarta kemarin.
Sri Mulyani juga mendesak para pengusaha membayar utang royalti karena kewajiban itu sesuai dengan kontrak karya pertambangan. “Bahwa ada klaim tagihan dari mereka, akan diselesaikan dengan perlakuan lain, dengan Direktorat Pajak,” ujarnya.
Gunanto, Ninin Damayanti, Metta, Padjar