Follow Us :

TAJUK Investor Daily: Di tengah krisis likuiditas dan terbatasnya anggaran pemerintah, Ditjen Pajak membawa kabar gembira. Penerimaan pajak tahun ini diprediksi melonjak 40%, jauh lebih tinggi dibanding tahun sebelumnya yang hanya berkisar 19-20%.
 
Realisasi penerimaan pajak hingga Oktober 2008 telah mencapai 463,98 triliun dari target penerimaan Rp 534,53 triliun. Sementara tahun 2007, penerimaan pajak mencapai Rp 425,37 triliun. Besar kemungkinan, penerimaan pajak tahun 2008 jauh melampaui target.
 
Tingginya penerimaan pajak tahun ini setidaknya mengikis kekhawatiran banyak kalangan terkait kesinambungan APBN. Sebab, anggaran yang berkesinambungan hanya dapat dilakukan jika target pajak dapat dipenuhi. Adanya lonjakan penerimaan pajak ini memberi sinyal bahwa APBN 2008 cukup aman di tengah turbulensi ekonomi global.
 
Sejumlah faktor yang menjadi pendorong kenaikan penerimaan pajak 2008 adalah reformasi kelembagaan dan kenaikan harga komoditas pada semester I-2008. Yang melegakan, meskipun harga komoditas kini meredup, penerimaan pajak tetap cemerlang karena sumbangan penerimaan pajak badan.
 
Kondisi ini menunjukkan bahwa reformasi kelembagaan dalam Ditjen Pajak berhasil menekan penyelewengan. Bukan rahasia umum, sebelum lembaga tersebut direformasi pada 2006, Pajak menjadi salah satu instansi yang korup di Indonesia. Kerugian negara dari praktik penyelewengan pajak mencapai triliunan rupiah.
 
Reformasi kelembagaan Ditjen Pajak mencangkup sistem administrasi perpajakan. Sebelumnya, struktur kelembagaan Ditjen Pajak berorientasi pada jenis, seperti Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), dan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Pasca-reformasi, strukturnya diubah menjadi lebih berorientasi pada fungsi, yakni pelayanan dan pemeriksaan.
 
Dengan berubahnya struktur kelembagaan, saat ini petugas yang melayani wajib pajak (WP) tidak bisa menjadi pemeriksa pajak. Upaya membersihkan aparat pajak dari praktik korupsi dengan meminimalisasi pertemuan (face to face) antara fiskus dengan WP ternyata berhasil menekan penyelewengan penerimaan pajak.
 
Hal yang sama pernah dilakukan Filipina pada 1994. Negara tersebut mengubah administrasi perpajakan dari sistem manual ke sistem komputer. Hasilnya, penerimaan pajak Filipina meningkat 30%, tanpa harus meningkatkan tarif.
 
Indonesia tercatat telah empat kali melakukan reformasi perpajakan, yakni tahun 1983, 1994, 1997, dan 2008 ketika RUU PPh disahkan menjadi UU. Reformasi pajak yang dinilai paling revolusioner adalah ketika pemerintah mengubah sistem perpajakan secara mendasar pada 1983, dari official assessment menjadi self assessment (menghitung pajak sendiri).
 
Reformasi pajak saat ini ditekankan pada dua hal. Pertama, pembenahan admisnitrasi dan kebijakan di bidang perpajakan. Kedua, menumbuhkan kepatuhan WP dengan mengubah persepsi masyarakat terhadap pajak. Tujuannya adalah meningkatkan tax ratio dari 12% menjadi 16%.
 
Penekanan kepatuhan pajak kini masih difokuskan pada dunia usaha. Namun, ke depan, penerimaan PPh perorangan makin diintensifkan dengan mewajibkan masyarakat dengan pendapatan di atas Rp 15,86 juta wajib mempunyai Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).
 
Sejumlah aturan akan dibuat guna mendorong masyarakat mempunyai NPWP, seperti bebas fiskal jika bepergian ke luar negeri, dan akses mudah untuk mendapatkan kredit. Di negara lain, penerimaan PPh perorangan umumnya lebih besar dari PPh badan karena sanksi bagi pengemplang pajak sangat tegas. Kita sering mendengar, public figure seperti olahragawan atau selebritas Hollywood ditahan gara-gara tidak membayar pajak sesuai dengan pendapatannya.
 
Kita berharap, pencapaian cukup cemerlang Ditjen Pajak benar-benar dipakai untuk menjalankan fungsi pepajakan yang salah satunya adalah meredistribusi pendapatan. Jika fasilitas publik nyaman, keamanan terkendali, dan sarana infrastruktur memadai, WP pun tak segan-segan untuk membayar pajak secara patuh.

error: Content is protected