Follow Us :

Jakarta, Kompas – Kalangan pengusaha rokok meminta penerapan pajak rokok ditunda hingga 1 Januari 2014. Alasannya, mereka perlu memperhitungkan kembali nilai jual rokok dan keuangan mereka. Pemerintah dan DPR mengabulkan keinginan itu.

”Pabrik rokok tidak siap jika pungutan langsung diterapkan tahun ini. Mereka meminta ada waktu untuk menyesuaikan diri,” ujar Ketua Panitia Khusus Rancangan Undang-Undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (RUU PDRD) Harry Azhar Azis, Selasa (2/6) di Jakarta.

Dia menjelaskan, tarif pajak rokok yang diputuskan dalam Rapat Panitia Kerja RUU PDRD 10-15 persen terhadap tarif cukai. Apabila harga rokok Rp 10.000 per bungkus dan tarif cukai 36 persen terhadap harga jual, kewajiban cukai yang harus dibayar adalah Rp 3.600 per bungkus.

Jika pajak rokok ditetapkan 10 persen, pajak rokok yang wajib dibayar Rp 360 per bungkus, atau Rp 540 per bungkus jika tarif pajak rokoknya 15 persen.

Ada tiga golongan wajib pajak yang harus menyetorkan pajak rokok, yaitu penyalur rokok, pemilik pabrik rokok yang menyalurkan sendiri produknya, dan importir rokok.

”Nanti yang memutuskan tarif pajak rokok adalah Menteri Keuangan setelah berkonsultasi dengan Menteri Dalam Negeri, dan berlaku nasional,” tutur Harry.

Wajib pajak bisa menyampaikan permohonan restitusi, atau pengembalian pajak lebih bayar. Nilai restitusi dibatasi 2-5 persen dari total pajak rokok yang diusulkan pada awal tahun.

”Restitusi dibatasi agar tidak terjadi moral hazard (aji mumpung) pengusaha rokok, yang main akal-akalan,” kata Harry.

Semua penerimaan pajak rokok, lanjut Harry, harus didistribusikan kepada pemerintah provinsi 30 persen dari total realisasi penerimaannya dan 70 persen lainnya di bagi ke semua kabupaten atau kota yang ada di provinsi tersebut secara merata.

Dana hasil penerimaan pajak rokok hanya boleh digunakan untuk membiayai program penegakan hukum di industri rokok dan meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat.

”Total penerimaan yang harus dialokasikan kepada penegakan hukum dan (untuk) peningkatan kualitas kesehatan minimal 50 persen dari seluruh dana yang terkumpul,” tutur Harry.

error: Content is protected