JAKARTA — Rekomendasi Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) kepada Menteri Keuangan untuk mencabut cekal kepada direksi dan komisaris enam kontraktor batu bara yang menunggak royalti ditentang berbagai pihak. Wakil Ketua Komisi Energi dan Pertambangan dari Fraksi PDI Perjuangan, Sony Keraf, mengatakan, selama penyelesaian tunggakan belum dilakukan, status cekal tidak selayaknya dicabut. "Cekal harus tetap dilakukan, ini sebagai unsur pemaksaan bagi mereka," ujar Sony dihubungi Tempo.
Enam perusahaan batu bara yang masuk perjanjian karya pengusahaan pertambangan batu bara generasi pertama diketahui menunggak royalti periode 2001-2005 senilai Rp 3,8 triliun. Keenam perusahaan itu adalah PT Kaltim Prima Coal, PT Arutmin Indonesia, PT Kideco Jaya Agung, PT Berau Coal, PT Adaro Indonesia, dan PT BHP Kendilo Coal.
Setelah bertemu dengan Kepala BPKP, Dirjen Kekayaan Negara, serta Dirjen Mineral Panas Bumi dan Batu Bara pada 17 September lalu, mereka sepakat membayar uang jaminan tunggakan sebesar Rp 600 miliar. Perwakilan pemerintah menilai hal itu sebagai iktikad baik sehingga merekomendasikan pencabutan cekal kepada Menteri Keuangan.
Anggota Komisi dari Fraksi Partai Amanat Nasional, Tjatur Sapto Edi, menilai jaminan itu tidak ada hubungannya dengan tunggakan royalti. Karena itu, langkah pencekalan bisa menjadi terapi kejut bagi para pengusaha agar tidak bertindak semaunya terhadap pemerintah. "Yang berkuasa di pertambangan itu pemerintah," dia mengungkapkan. Terkait dengan penghitungan reimbursement dan royalti kontraktor, Tjatur menilai BPKP sebenarnya dapat melakukan audit dengan cepat.
Karena itu, ia mempertanyakan audit royalti yang tak kunjung selesai setelah tiga bulan. Padahal audit listrik bisa tuntas dalam tempo dua setengah bulan.
"Jadi sebetulnya, kalau pemerintah mau, pasti bisa."
Pakar hukum pidana internasional Profesor Romli Atmasasmita menilai rekomendasi pencabutan cekal tidak adil dan melanggar asas kepastian hukum. "Kesannya cuma membela kepentingan pengusaha," ujarnya.
Uang jaminan Rp 600 miliar, mantan Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum ini melanjutkan, tidak bisa dijadikan pegangan bahwa sisa tunggakan akan dibayar sepenuhnya. "Apa bisa dijamin bahwa sisanya akan dilunasi? Kapan mereka akan melunasinya juga belum jelas," ujarnya.
Romli mengatakan selama ini para pengusaha itu telah melakukan pelanggaran hukum karena dengan sengaja tidak membayarkan kewajiban sehingga menyebabkan negara merugi.
Alasan perusahaan menahan royalti karena pemerintah belum membayar restitusi pajak, menurut Romli, tidak tepat. Sebab, hal itu merupakan dua hal berbeda. Restitusi pajak diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Pajak, sedangkan pembayaran royalti batu bara termasuk kewajiban hukum berdasarkan UU Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).
Karena itu, kedua kewajiban tersebut baik dari pihak pemerintah (restitusi pajak) maupun dari perusahaan (royalti) tidak dapat dikompensasikan. "PNBP wajib dibayar terlebih dulu, baru restitusi pajak nanti diberikan sekaligus pencabutan cekal," ujar mantan Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional itu.
Sorta Tobing, Dian Yuliastuti, Agung Sedayu