JAKARTA — Pemerintah menunggu jadwal pembayaran tunggakan royalti dari pengusaha batu bara. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan pemerintah sudah menyampaikan nilai tunggakan yang harus dibayar pengusaha batu bara dan nomor rekening untuk menampung pembayaran mereka.
"Kami tinggal menunggu mereka menyerahkan jadwal pembayaran," kata Sri Mulyani di Jakarta kemarin. Mengenai kewajiban pemerintah, Sri Mulyani mengatakan pemerintah melalui Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral akan mendalami poin-poin dalam kontrak generasi pertama. "Kewajiban pemerintah akan dihitung lagi sesuai dengan kontrak," ujarnya.
Direktur Jenderal Kekayaan Negara Hadiyanto berharap pengusaha batu bara segera menyelesaikan kewajiban mereka. Menurut Sri Mulyani, pemerintah akan segera mencabut status cekal terhadap jajaran direksi dan komisaris perusahaan batu bara setelah mereka melunasi kewajiban. "Tidak ada alasan bagi pemerintah untuk mencekal mereka jika kewajiban mereka sudah lunas," ujarnya.
Seperti diberitakan, enam perusahaan batu bara memiliki tunggakan royalti Rp 3,9 triliun, yang tak dibayarkan sejak 2001. Direktorat Jenderal Pajak melansir tiga di antaranya memiliki kekurangan bayar pajak Rp 2,5 triliun, yang harus dicicil hingga akhir tahun.
Menurut Kepala Subaudit Bidang Perpajakan Badan Pemeriksa Keuangan Novy Palenkahu, perusahaan batu bara melakukan banyak praktek pengurangan pembayaran pajak. Salah satu caranya menjual batu bara lebih murah ketimbang harga pasar ke unit usahanya di luar negeri. "Dengan begitu, pembayaran pajak mereka lebih rendah," kata dia.
Masalah royalti ini memanas setelah Imigrasi mencekal belasan pengusaha batu bara atas permintaan Menteri Keuangan. Mereka berasal dari PT Kaltim Prima Coal dan PT Arutmin Indonesia–keduanya milik Grup Bakrie–PT Adaro Indonesia milik Edwin Soeryadjaya, PT Berau Coal, serta dua perusahaan lain yang sudah kena cekal lebih dulu, yaitu PT Kideco Jaya Agung dan PT Kendilo Coal Indonesia.
Kisruh bermula dari keluarnya Peraturan Pemerintah Nomor 144 Tahun 2000, yang menyatakan batu bara tidak lagi kena pajak pertambahan nilai. Dengan aturan baru ini, perusahaan batu bara tidak bisa lagi mengenakan pajak kepada para pembelinya, sedangkan mereka harus membayar pajak kepada para pemasok ataupun vendor.
Ujung-ujungnya, biaya perusahaan membengkak. Padahal, seperti dijamin dalam kontrak karya generasi pertama, mereka seharusnya terbebas dari aturan pajak baru atau mendapat dana penggantian dari pemerintah. Masalahnya, hingga kini pemerintah tak memenuhinya. Atas dasar itu, para pengusaha menahan royalti, yang kini nilainya mencapai Rp 3,9 triliun.
Direktur Jenderal Pajak Darmin Nasution menegaskan tunggakan royalti harus segera dibayarkan. "Tanpa syarat apa pun," ujarnya. Sedangkan soal reimbursement, "Akan dibicarakan setelah royalti dibayar." Untuk itu, kata Direktur Jenderal Kekayaan Negara Hadiyanto, pemerintah dan pengusaha akan duduk bersama membicarakan jumlah, mekanisme, dan waktu penggantiannya.
Gunanto ES