ROYALTI BATUBARA
JAKARTA. Kisruh royalti batubara ternyata belum bisa tuntas dalam waktu dekat. Sebab, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) baru akan melakukan rapat pada Jumat (29/8) besok. Padahal, pembayaran royalti perusahaan batubara yang selama menunggak tergantung hasil audit BPKP.
Dalam pertemuan pekan ini, BKPK akan bertemu dengan Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Direktorat Jenderal Pajak, Direktorat Kekayaan Negara, perwakilan Kadin, dan wakil dari perusahaan batubara. "Pertemuan ini untuk menyamakan persepsi tentang kontrak, royalti dan reimbursement,"kata Kepala BPKP Didi Widayadi, Rabu (27/8).
Setelah pertemuan tersebut, BPKP baru menggelar audit. BPKP akan menelisik Bagi Hasil Penjualan Batu Bara (BHPB) dari 2001 sampai 2008. Pada audit sebelumnya, BPKP menemukan tunggakan royalti senilai Rp 3,8 triliun dari 2001 hingga 2005. "Perkiraan kami, tunggakan secara keseluruhan berjumlah Rp 7 triliun,"lanjut Didi.
Selain itu, audit juga akan menelusuri besaran pajak penjualan dari 1983 sampai tahun ini. Audit juga akan memeriksa pajak pertambahan nilai (PPN) dari 2001 hingga kini. "Proses audit akan kami laksanakan secepatnya selepas pertemuan dengan semua pihak terkait,"janji Didi.
Sayangnya, Didi belum bisa memastikan kapan BPKP akan menyelesaikan audit ini. Kata Didi, audit ini akan cepat selesai atau lebih lambat tergantung pada kerjasama pemerintah dan pengusaha.
Seperti kita ketahui, antara pengusaha dan pemerintah sebelum telah bersepakat bahwa penyelesaian royalti menunggu hasil audit BPKP. Setelah audit keluar, pemerintah dan lima perusahaan batubara akan melaksanakan kewajibannya. Lima perusahaan itu adalah kaltim Prima Coal, Arutmin Indonesia, Kideco Jaya Agung, Berau Coal dan Adaro Indonesia
Aprillia Ika, Hans Henricus