Follow Us :

Ditjen Pajak belum beri respons keberatan pelaku pasar

JAKARTA: Pemangku kepentingan di industri perdagangan berjangka diketahui meminta penurunan tarif pajak peng?hasil??an (PPh) transaksi derivatif di bursa berjangka menjadi 0,05%.

Usulan pelaku pasar dan pengambil kebijakan di industri berjangka itu dialamatkan ke dirjen pajak dan menteri keuangan. Persentase tarif yang diusulkan tersebut jauh lebih rendah dari Peraturan Pemerintah No. 17 Tahun 2009 tentang Pajak Penghasilan (PPh) atas Penghasilan Transaksi Derivatif berupa kontrak berjangka di bursa sebesar 2,5% dari margin awal.

"Kami mengharapkan persentase yang wajar dan masuk akal karena persentase 2,5% itu tidak adil jika dibandingkan bursa saham yang hanya dikenakan 0,1% dari posisi jual," kata sumber Bisnis di Asosiasi Pialang Berjangka Indonesia, kemarin.

Sumber Bisnis itu menyebutkan sebagian besar pialang tidak lagi mempermasalahkan pengenaan tarif terhadap margin awal dengan catatan persentasenya cukup rasional bagi industri itu.

Pemerintah menetapkan ketentuan tersebut berlaku surut sejak 1 Januari 2009.

Namun, pialang mengharapkan pemerintah memberi waktu sekitar 1 bulan setelah penerbitan PP tersebut sebagai waktu sosialisasi.

Kepala Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) Deddy Saleh menegaskan pelaku perdagangan berjangka tidak menghindari ketentuan itu.

"Terhadap pajak [derivatif] itu sendiri, pada dasarnya kami setuju, tapi kami keberatan mengenai persentasenya dan bahwa kebijakan itu berlaku surut mulai 1 Januari lalu," ujarnya kepada Bisnis baru-baru ini.

Keberatan para pelaku pasar, ujarnya, karena margin yang dipungut atas suatu transaksi perdagangan berjangka di Bursa Berjangka Jakarta (BBJ) itu tipis yakni di kisaran 1%-2%.

Tidak dilibatkan

Deddy melanjutkan penggunaan margin awal sebagai dasar perhitungan PPh tersebut berisiko mematikan industri berjangka karena pialang tetap dikenai pajak baik untung maupun rugi dalam perdagangan.

"Mengenai waktu pemberlakuannya, ini menjadi memberatkan pialang karena bisa saja investor yang bertransaksi pada Januari atau Februari, kini sudah tidak bertransaksi lagi, lalu siapa yang mau menanggung pajaknya?" katanya.

Dia mengungkapkan BBJ dan PT Kliring Berjangka Indonesia (KBI) sudah pernah melayangkan surat ke Ditjen Pajak untuk mendiskusikan hal tersebut. Hingga bulan ini, kata Deddy, belum ada respons dari otoritas perpajakan mengenai permintaan dari kedua perusahaan itu.

error: Content is protected