Struktur tarif BM sektor elektronik dinilai tidak harmonis
JAKARTA: PT Panasonic Manufacturing Indonesia-produsen elektronik di dalam negeri-tengah mempertimbangkan untuk menghentikan produksi alat pendingin udara (air conditioner/ AC) pada tahun depan.
Rencana tersebut kemungkinan akan ditempuh karena saat ini struktur tarif bea masuk (BM) di sektor elektronik tidak cukup harmonis (disharmonis) sehingga produk yang dihasilkan di dalam negeri sulit bersaing dengan barang impor.
Disharmonisasi ini bahkan menyebabkan PMA asal Jepang tersebut telah menutup fasilitas produksi televisinya, sehingga perseroan lebih memilih impor produk jadi yang didatangkan dari Panasonic Asean.
Dengan mengimpor berbagai jenis televisi, struktur harga yang ditanggung perseroan menjadi lebih murah dibandingkan dengan memproduksi pada fasilitas produksinya sendiri di dalam negeri.
”Panasonic telah menghilangkan pabrik televisinya dan sekarang mengimpor dari negara lain di Asean, karena kami pikir langkah ini lebih menguntungkan. Pesan kepada pemerintah, kalau tidak ada perbaikan tarif BM, pabrik AC Panasonic juga akan mengalami nasib yang sama,” kata Ketua Gabungan Elektronik (Gabel) Ali Soebroto Oentaryo dalam pemaparan Visi 2030 & Roadmap 2010 – 2015 Kadin Indonesia, kemarin.
Saat ini, terangnya, struktur bea masuk komponen dan bahan baku elektronik tidak mendukung pertumbuhan industri di dalam negeri. Dia mencontohkan, BM untuk produk lemari es ukuran hingga 230 liter mencapai hingga 20% ditambah PPN. “BM engsel 20%, screw 15%, heater 15%, motor 10%, evaporator 5%,” ujarnya.
Namun, BM untuk produk kulkas setengah jadi/terurai (semi knock down/SKD), pemerintah mengenakan BM paling besar hanya 5% ditambah PPN. Dengan adanya kesepakatan perdagangan bebas antar-Asean, bea masuk CEPT (common effective preferential tariff) untuk produk jadi dihapuskan.
Panasonic, lanjutnya, khawatir apabila BM untuk produk AC tidak segera diharmonisasikan, perusahaan segera merumahkan karyawan dan menghentikan produksinya karena bahan baku dan komponen seperti polyfoam, screw, motor, copper tube, dan papan PCB dikenai BM 10% – 20% ditambah PPN.
Untuk produk AC setengah jadi, pemerintah mengenakan BM sebesar 5% sedangkan untuk barang jadi sesuai dengan ketentuan CEPT hanya dikenai 2,5%. Apabila industri membeli produk komponen dan bahan baku dari dalam negeri, terangnya, akan muncul masalah lain, yakni tingginya harga bahan baku dan komponen lokal.
“Ironisnya konsumen dipaksa bertransaksi dengan dolar AS untuk penjualan domestik. Dengan berbagai masalah di atas, industri elektronik nasional jadi terpukul kiri dan kanan,” katanya.
Berlebihan
Selain itu, jelas Ali, pemerintah dinilai terlalu berlebihan memproteksi industri strategisnya. Gabel, terangnya, mengkritik atas perlakuan istimewa kepada PT Krakatau Steel (Persero), BUMN di sektor baja, yang memperoleh fasilitasi BM baja 12,5%.
Beban BM yang sangat besar tersebut menyebabkan industri elektronik cenderung menggunakan bahan baku besi dan baja dari impor.
Menurut dia, fasilitas BM kepada KS yang terlalu besar tidak diimbangi dengan kualitas baja yang memadai. “Dari sisi flatness [kelempengan], thickness [ketebalan], dan kekerasannya, baja KS tidak stabil. Metal base chemical-nya juga tidak konsisten. Hal ini tidak terjadi jika produsen elektronik mengimpor baja dari Sumitomo dan JFE Steel,” katanya.
Menurut dia, harga baja khusus (speciality steel) jenis SPCC ketebalan 2 mm yang ditawarkan KS terlalu mahal yakni mencapai Rp8.200 per kg, sedangkan Sumitomo hanya menjualnya dengan harga Rp6.508 dan JFE sekitar Rp6.586 per kg.
“Dalam hal pengiriman juga bermasalah. KS mengirim hanya sesuai kesanggupannya sedangkan Sumitomo dan JFE berkomitmen sesuai dengan jadwal,” katanya.
Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bidang Industri, Riset dan Teknologi Rachmat Gobel mengatakan pasar elektronik di dalam negeri masih berpotensi dibanjiri produk impor akibat lemahnya pengamanan pasar. “Keadaan ini menyebabkan pangsa pasar produk lokal terus menyusut.”
Data Electronic Marketer Club (EMC) menyebutkan dari total pasar elektronik domestik sebesar Rp28,9 triliun pada 2008, pangsa pasar produk lokal hanya sekitar 34% atau setara Rp9,8 triliun.
Diperkirakan, sekitar 35% dari barang yang beredar merupakan barang selundupan. “Pemerintah harus meningkatkan pengawasan jika ingin melihat industri elektronik nasional berkembang,” kata Gobel.