Follow Us :

JAKARTA, SELASA – Nilai penerimaan pajak yang tidak tertagih pemerintah pada tahun 2008 mencapai Rp 300 triliun atau 34,8 persen dari potensi penerimaan maksimum yang diperkirakan Rp 860 triliun. Ini cukup mengkhawatirkan karena dana Rp 300 triliun itu hilang digunakan untuk membayar pungutan liar dan suap.

Dirjen Pajak Darmin Nasution mengungkapkan hal tersebut saat berbicara dalam Rapat Koordinasi Nasional Bidang Kebijakan Publik, Perpajakan, Sistem Fiskal, dan Moneter, Kepabeanan dan Cukai Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Senin (20/10) di Jakarta.

Menurut Darmin, potensi penerimaan pajak yang hilang itu merupakan tax gap atau kesenjangan antara penerimaan pajak yang seharusnya terhimpun dengan realisasi penerimaan pajak yang dapat dikumpulkan setiap tahunnya.

Nilai tax gap yang terjadi selama ini adalah sekitar 6 persen. Itu berasal dari selisih antara potensi penerimaan pajak yang seharusnya diterima, yakni 20 persen terhadap produk domestik bruto (PDB), dengan realisasi penerimaan pajak yang dapat dihimpun, yaitu sekitar 14 persen terhadap PDB.

Saat ini, nilai PDB Indonesia mencapai sekitar Rp 5.000 triliun sehingga potensi penerimaan pajak yang seharusnya diterima sekitar Rp 1.000 triliun, sedangkan realisasi penerimaan pajak yang dapat dihimpun hanya Rp 700 triliun.

Dengan demikian, pajak yang tidak dibayar mencapai Rp 300 triliun setiap tahunnya. Pada tahun 2008, pemerintah dan DPR menargetkan penerimaan Ditjen Pajak mencapai Rp 535 triliun.

Namun, Ditjen Pajak yakin penerimaan riilnya akan lebih tinggi, yakni sekitar Rp 560 triliun atau Rp 25 triliun lebih tinggi dibandingkan dengan target awal yang ditetapkan dalam APBN Perubahan (APBN-P) 2008.

Dengan demikian, jika perkiraan penerimaan tahun ini mencapai Rp 560 triliun dan pajak yang tidak terhimpun mencapai Rp 300 triliun, seharusnya penerimaan maksimum yang bisa diterima tahun ini mencapai Rp 860 triliun. Itu berarti tax gap tahun ini mencapai 34,8 persen dari potensi maksimal yang seharusnya diterima. ”Ke mana hilangnya uang itu? Yang pasti, itu dipakai untuk menyogok sana-sini. Itu yang menimbulkan perekonomian menjadi biaya tinggi,” ujar Darmin.

Meski kehilangan penerimaan, pemerintah secara sadar dan dengan sengaja membiarkan adanya penerimaan pajak sekitar Rp 47 triliun hingga Rp 50 triliun yang akan hilang pada tahun 2009.

Hal itu karena UU PPh yang baru terdapat perubahan tarif yang menyebabkan turunnya penerimaan negara. Selain itu, penerimaan juga turun karena adanya insentif bagi perusahaan yang go public dan menjual sahamnya melalui pasar modal hingga 40 persen.

”Dana Rp 47 triliun hingga Rp 50 triliun itu adalah tax saving (penghematan pajak) yang secara sadar kami biarkan terjadi mulai tahun 2009. Ini kami harap bisa memberikan dukungan kepada dunia usaha di saat perekonomian sedang lesu. Selain itu, dengan upaya-upaya tambahan yang kami lakukan, seperti modernisasi dan intensifikasi, kami yakin penerimaan pajak akan jauh lebih tinggi dibanding tax saving itu,” papar Darmin.

Target temuan pemeriksaan

Pelaku usaha sekaligus anggota Panitia Anggaran DPR, Enggartiasto Lukita, berharap petugas pajak melakukan tugas pemeriksaan pajaknya secara proporsional dan tidak mencari-cari kesalahan wajib pajak.

Selain itu, Ditjen Pajak diminta tidak memasang target temuan pemeriksaan sehingga pemeriksaan pajak tidak mengarah pada hasil yang memberatkan wajib pajak. Misalnya, menentukan target denda atau sanksi lainnya sebelum pemeriksaan dilakukan.

”Kondisi itu sebenarnya tidak perlu terjadi jika pemerintah fokus pada upaya penyelesaian peraturan yang menetapkan tarif-tarif pajak yang belum jelas, seperti aturan pajak final bagi sektor real estat. Dalam situasi usaha seperti saat ini, pemerintah jangan menakut-nakuti,” ujar Enggartiasto Lukita. (OIN/OSA)

error: Content is protected