JAKARTA – Rencana pemberlakuan pajak rokok pada 2014 dinilai memicu banyak masalah. Selain menimbulkan multiplier effect bagi industri tembakau kebijakan ini juga berpotensi menurunkan pendapatan cukai negara.
�
"Banyak yang masih belum jelas, misalnya mekanisme penarikan pajaknya bagaimana, apakah akan ditarik dari pabrik, distributor, pedagang pengecer ataukah konsumen?" kata Direktur Cukai Ditjen Bea dan Cukai Deartemen Keuangan (Depkeu) Frans Rupang, di Jakarta, Rabu (1/7/2009).
�
Dia mengatakan, pihaknya mengimbau agar Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) melakukan kajian lebih dalam terhadap usulan pajak rokok ini. Pihaknya juga mempertanyakan, apakah dengan pajak rokok, ketergantungan daerah pada anggaran pusat akan berkurang. "Ada baiknya mendengarkan masukan para produsen serta petani. Jangan hanya mendengarkan satu pihak saja. Pada dasarnya penerimaan cukai rokok sudah bagus," ujarnya.
�
Diakuinya, dari sisi kesehatan, kebijakan ini akan memberikan dampak positif. Pasalnya, dengan pajak harga rokok otomatis naik sehingga perokok akan mengurangi konsumsinya. Namun, dari sisi ekonomis, dengan berkurangnya perokok pabrik akan mengurangi produksi. Akibatnya, petani cengkih dan tembakau yang paling merasakan dampaknya karena pembelian hasil perkebunannya menurun drastis. "Pajak rokok pasti akan menurunkan produksi rokok, sehingga mempengaruhi penerimaan cukai," tandas Frans. �
Pengusaha lanjut Frans, juga akan berpikir untuk melakukan efisiensi dengan cara mengurangi tenaga kerja. Dari sisi cukai, pendapatan akan menurun drastis karena cukai rokok diambil saat pabrik akan mulai beroperasi. "Harus dipertimbangkan, dengan pajak rokok berarti konsumen akan dibebankan dua kali dari cukai dan pajak, sehingga perokok akan berpikir dua kali untuk membeli rokok lagi. Nah ini berarti akan ada pengurangan volume produksi rokok," tuturnya.
Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI) sendiri telah melayangkan surat keberatan kepada DPR atas rencana pungutan pajak ini pada 5 Juni 2009 lalu. Gappri juga melayangkan surat serupa kepada Menteri Keuangan dan Menteri Dalam Negeri. Melalui surat itu Gappri meminta pemerintah menarik kembali persetujuannya terhadap Rancangan Undang-undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (RUU PDRD) serta menuntut agar para pelaku usaha dilibatkan dalam setiap pembahasan undang-undang terkait.
"Pajak rokok ini mengejutkan pelaku usaha tembakau dari hulu sampai ke hilir. Apalagi selama ini tidak pernah ada pembicaraan sama sekali terkait pajak rokok daerah," ujar Ketua Gappri Ismanu Soemiran.
Sementara itu, Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia menyatakan keberatannya kepada Ketua DPR RI dan Menkeu, atas RUU PDRD yang di dalamnya mencantumkan pungutan pajak rokok daerah sebesar 10-15� persen. Surat bertanggal 10 Juni 2009 itu meminta agar usulan soal pajak rokok daerah agar tidak dimasukkan. Pasalnya, akan memberatkan pelaku usaha ditengah situasi krisis ekonomi global yang melanda dunia.
Kadin menilai pemberlakukan pajak rokok oleh Pemerintah Daerah (Pemda) akan menimbulkan pungutan pajak berganda. Hal ini tidak sesuatu dengan filosofi perpajakan yaitu tentang tidak adanya double taxation dan tidak overtax.
Hal yang sama dilontarkan Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) yang memprotes RUU PDRD. Kebijakan ini dinilai mengabaikan nasib jutaan petani tembakau di Indonesia. "Kami melihat UU Cukai yang ada sudah cukup bagus dan selama ini daerah juga mendapatkan bagian dari pusat. Kalau mau minta lagi, ini namanya overlapping dan sangat tidak fair bagi kami," kata Sekretaris Jenderal Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) Abdus Setiawan.
Menurutnya, permintaan daerah atas pungutan 10-15 persen atas rokok akan menyulitkan posisi petani tembakau. Hal ini akan menurunkan permintaan industri karena menurunnya tingkat penjualan. Akibatnya, bukan hanya penumpukan bahan baku di lapangan tapi juga hancurnya harga tembakau karena adanya over produksi. "Ini sama saja dengan mematikan kami. Padahal meskipun tanpa di subsidi, selama ini sektor ini banyak menyumbang pendapatan bagi negara," tambahnya.
Abdus juga menyampaikan keberatannya atas anggapan bila petani selalu dalam posisi merugi dan dikendalikan perusahaan rokok. Menurut dia, hal tersebut tidak sepenuhnya benar. Karena dengan budidaya tanaman tembakau inilah justru banyak petani yang berhasil merubah nasibnya menjadi lebih baik. "Kami meragukan hasil survey yang mengatakan petani tembakau selalu merugi. Secara rasional, bila merugi terus-terusan mana mungkin kami menanamnya kembali?" paparnya.