Follow Us :

MedanBisnis – Jakarta
Pajak rokok daerah akan diterapkan mulai Januari 2014. Besaran yang telah disepakati oleh Pemerintah dan DPR adalah sebesar 10-15% dari besaran tarif cukai yang ditetapkan.

Ketua Panitia Khusus RUU PDRD (Pajak Daerah dan Retribusi Daerah) Harry Azhar Azis mengemukakannya saat dihubungi oleh wartawan di Jakarta, Selasa (2/6). “Pajak rokok mulai dipungut 2014. Berapa tarifnya, itu akan ditetapkan oleh Menteri Keuangan, minimal 10% dan maksimal 15%. Jadi nanti Menkeu akan mengajukan kepada Mendagri,” tuturnya.

Besaran pajak daerah ini diambil dari besaran tarif cukai. Jadi misalkan dalam satu bungkus rokok tarif cukainya adalah sebesar Rp 1.000 dan pajak rokoknya 10%, maka besaran pajak rokok tersebut adalah Rp 100 per bungkus.

Dijelaskan Harry, penerimaan yang diterima dari pajak rokok tersebut bakal dibagi dua. Untuk pemerintah kabupaten/kota sebesar 70% dan untuk pemerintah provinsi 30%.”Dari jumlah yang diterima itu, 50% diantaranya harus untuk alokasi kesehatan dan penegakan hukum,” pungkasnya.

Untungkan Daerah

Pengenaan pajak rokok yang beredar di daerah itu tentu akan menguntungkan daerah itu sendiri. Keuntungan ini diperoleh dari hasil pemasukan pajak tersebut ke kas daerah, sehingga menjadi tambahan bagi pendapatan asli daerah (PAD).

Pengamat ekonomi asal USU, John Tafbu Ritonga mengatakan hal itu ketika dihubungi MedanBisnis via telepon seluler, Selasa (2/6). John mengatakan, sudah sewajarnya jika daerah mendapat pemasukan dari penjualan rokok.

“Sebenarnya ketika DPR datang ke Sumut sekitar 2 tahun lalu untuk menyosialisasikan RUU Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD), Sumut sudah mengusulkan agar rokok juga dikenakan pajak,” jelasnya.

John mengatakan potensi pajak rokok yang dapat masuk ke kas Pemerintah Daerah Propinsi Sumatera Utara (Pempropsu) cukup besar. Berdasarkan data yang dimiliki John, transaksi pembelian rokok di Sumut mencapai 8% dari total transaksi  pembelian rokok nasional yang besarnya sekitar Rp 200 triliun.”Sehingga transaksi pembelian rokok di Sumut besarnya sekitar Rp 16 triliun per tahun. Apabila sekitar 30% saja dapat dikenakan pajak, maka pemasukan PAD Sumut dapat men capai Rp 4,8 triliun dan ini jumlahnya lebih besar dari APBD Pempropsu,” ujarnya.

John mengatakan, untuk merealisasikan ini bukanlah  hal yang sulit. Pempropsu dapat berkoordinasi dengan distributor rokok di Sumut untuk menetapkan besaran pajak. Hanya saja, John mengakui, pengenaan pajak tersebut mengakibatkan harga jual rokok menjadi mahal, sehingga berpotensi menurunkan omset pedagang.”Oleh sebab itu, pengenaan pajak terhadap penjualan rokok di daerah merupakan suatu hal yang realistis. Hanya yang harus diingat adalah bahwa sebagian dari pajak rokok ini dialokasikan untuk sektor kesehatan,” ungkapnya.

Namun pengusaha rokok keberatan karena pajak baru tersebut merupakan pungutan pajak ganda bagi pengusaha rokok.

Direktur Komunikasi HM Sampoerna Niken Rachmad mengatakan pajak itu memberatkan mereka.  “Kami sudah dipajaki, lalu dipajaki lagi. Dari asosiasi produsen rokok juga mengajukan keberatan karena pengaruhnya akan besar bagi industri rokok,” katanya di Jakarta sepekan lalu.

Niken menjelaskan, selama ini perusahaan rokok sudah dikenai pungutan cukai dan pajak retribusi. Adanya pajak rokok daerah akhirnya akan menambah beban bagi perusahaan.”Bagi kami itu pajak ganda. Karena sudah ada pungutan cukai, pajak distribusi, kalau ada pajak daerah ini berarti pajak ganda, apalagi hasil cukai sudah dibagi ke daerah. Jadi menurut kami itu pajak ganda,” katanya.

error: Content is protected