Follow Us :

JAKARTA, KOMPAS—Pemahaman pemerintah daerah, anggota legislatif daerah, organisasi masyarakat sipil, dan akademisi di daerah terhadap pajak rokok masih amat beragam. Untuk itu, perlu sosialisasi lebih intensif agar daerah lebih paham dan bisa memakai dana pajak rokok untuk membiayai berbagai program kesehatan.

Peneliti dari Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Abdillah Ahsan, memaparkan hal itu dalam seminar "Hasil Penelitian Pemetaan Potensi dan Kendala Optimalisasi Dana Pajak Rokok Daerah di Indonesia" di Jakarta, Selasa (30/10/2018).

Penelitian kualitatif dilakukan Yayasan Pusaka Indonesia bersama organisasi masyarakat sipil, antara lain Forum Warga Kota Jakarta, No Tobacco Community (Bogor), Jogya Sehat Tanpa Tembakau (Kulon Progo), dan Udayana Central (Denpasar). Riset dilakukan di Kota Medan. DKI Jakarta, Kota Bogor, Kabupaten Kulon Progo, Kota Denpasar.

Riset itu dilakukan dengan wawancara mendalam pada perwakilan lembaga pemerintah daerah, legislatif, organisasi masyarakat sipil, dan akademisi. Data sekunder dari Badan Pusat Statistik juga diperhitungkan.

Pajak rokok kalah tenar oleh dana bagi hasil cukai hasil tembakau (DBHCHT). "Pemerintah daerah dan anggota legislatif lebih mengenal DBHCHT dibandingkan pajak rokok. Meski sudah paham, itu terbatas pada dinas terkait pengelolaan keuangan daerah," kata Abdillah.

Padahal, pajak rokok adalah sumber keuangan daerah yang bisa dipakai untuk membiayai program kesehatan. "Daerah menentukan prioritas kesehatan dan identifikasi kesenjangan. Jika dana kurang bisa diambilkan dari pajak rokok," ujarnya.

Jika memahami ketentuan pajak rokok, lembaga legislatif dan pemda bisa merencanakan bersama pemakaian pajak rokok bagi sektor kesehatan warga di daerah. Jadi, penggunaannya bisa transparan dan akuntabel.

Undang-Undang Nomor 28 Nomor 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah menyebutkan, pajak rokok ialah pungutan cukai rokok yang ditarik pemerintah. Pajak rokok adalah pajak provinsi yang besaran tarifnya 10 persen dari cukai rokok. Penerimaan pajak rokok yang jadi bagian provinsi dan kabupaten/kota dialokasi minimal 50 persen untuk mendanai layanan kesehatan warga dan penegakan hukum.

Dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 40 Tahun 2016 tentang Petunjuk Teknis Penggunaan Pajak Rokok untuk Pendanaan Pelayanan Kesehatan Masyarakat ditegaskan, pendanaan layanan kesehatan minimal 75 persen dari alokasi. Kegiatan yang didanai meliputi penurunan faktor risiko penyakit.

Manajer Program Pengendalian Tembakau Yayasan Pusaka Indonesia OK Syahputra Hariada mengatakan, hal krusial dari riset pajak rokok ini ialah sulit memastikan kegiatan dibiayai pajak rokok.

error: Content is protected