Tingkat kepemilikan kendaraan bermotor di Jakarta tidak akan berkurang
Pemerintah dalam hal ini Depkeu tengah membahas RUU PDRD (Pendapatan Daerah dan Retribusi Daerah) sebagai revisi terhadap UU No. 34 Tahun 2000. Setelah usai reses, diharapkan RUU tersebut dapat disahkan menjadi UU.
RUU PDRD ini mengatur mengenai mekanisme pungutan pajak dari masyarakat untuk daerah. Yang diatur dalam RUU PDRD ini mencakup pajak kendaraan bermotor, bea balik nama kendaraan bermotor, pajak bahan bakar kendaraan bermotor, pajak air permukaan, dan pajak rokok.
Tulisan ini hanya akan membahas pajak tentang kendaraan bermotor, terkait dengan masalah pengatasan kemacetan di kota-kota besar dan kecemasan para industri otomotif mengenai ancaman terhadap menurunnya industri otomotif. Betulkah kecemasan tersebut?
Pengaturan mengenai pajak progresif ada pada Pasal 6 yang menyatakan: (1) Tarif Pajak Kendaraan Bermotor pribadi ditetapkan sebagai berikut: a. untuk kepemilikan kendaraan bermotor pertama paling rendah sebesar 1% dan paling tinggi 2%; b. untuk kepemilikan kendaraan bermotor kedua dan seterusnya tarif dapat ditetapkan secara progresif paling rendah 2% dan paling tinggi 10%. 2). Kepemilikan kendaraan bermotor didasarkan atas nama dan/atau alamat yang sama. 3). Tarif pajak kendaraan bermotor angkutan umum, ambulans, pemadam kebakaran, sosial keagamaan, lembaga sosial dan keagamaan, Pemerintah/TNI/Polri, Pemerintah Daerah, dan kendaraan lain yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah, ditetapkan paling rendah 0,5% dan paling tinggi 1%. 4).Tarif Pajak Kendaraan Bermotor alat-alat berat dan alat-alat besar ditetapkan paling rendah sebesar 0,1% dan paling tinggi 0,2%. 5). Tarif Pajak Kendaraan Bermotor ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
Ketentuan pajak progresif itulah yang menimbulkan kecemasan industri otomotif. Mereka khawatir keberadaan RUU PDRD dapat mengancam keberlangsungan industri karena pengenaan pajak yang makin meninggi untuk kepemilikan kedua dan selanjutnya.
Namun kecemasan itu sebetulnya tidak perlu terjadi mengingat, pertama, unit wajib pajak adalah perorangan, bukan rumah tangga. Itu artinya, dalam satu rumah bisa memiliki kendaraan bermotor lebih dari satu dan tanpa terkena pajak progresif sejauh atas nama yang berbeda-beda; misalnya, mobil/motor pertama atas nama suami, mobil/motor kedua atas nama istri, mobil/motor ketiga atas nama anak pertama, dan seterusnya.
Yang terkena pajak progresif adalah apabila mobil pertama dan selanjutnya atas nama satu orang. Jadi aturan dalam RUU PDRD ini sebetulnya masih dapat disiasati dengan cara lain.
Kedua, ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan restitusi diatur dengan Peraturan Gubernur (Pasal 8 Ayat 4). Itu artinya setiap daerah akan memiliki besaran pajak progresif yang berbeda-beda.
Daerah yang sudah kelebihan kendaraan bermotor dan ingin membatasinya, mungkin akan mengenakan pajak progresif tinggi. Namun, daerah yang masih sedikit kendaraan bermotornya mungkin akan membuat pajak progresif terendah agar warganya tetap memiliki kesempatan membeli kendaraan bermotor.
Ketiga, pajak kendaraan bermotor sampai sekarang masih tetap mendominasi PAD (pendapatan asli daerah) di beberapa daerah, termasuk DKI. Pemda mana pun pasti tidak ingin PAD-nya menurun, maka mereka tidak mungkin akan membuat peraturan yang menurunkan PAD.
Moderat
Mereka pasti akan membuat peraturan yang paling moderat tanpa melanggar UU yang ada. Mereka akan tetap menjalankan Pasal 6 UU PDRD, tetapi besaran pajak progresifnya akan dipilih yang paling rendah (2%) atau maksimal (5%). Besaran pajak progresif sebesar itu tidak akan memengaruhi secara signifikan bagi orang kaya untuk membeli mobil/motor lebih dari satu atas nama satu orang pula.
Keempat, industri otomotif akan tertolong dengan kebijakan pajak bahan bakar kendaraan bermotor yang ditetapkan oleh setiap daerah (Pasal 16-20). Selama ini, harga premium Rp4.500 per liter ternyata sudah termasuk pajak yang diterima oleh daerah sebesar 10%.
RUU PDRD ini menyebutkan bahwa tarif pajak bahan bakar kendaraan bermotor ditetapkan paling tinggi sebesar 10% (pasal 19 Ayat 1). Tarif pajak bahan bakar kendaraan bermotor ditetapkan dengan Peraturan Daerah (Pasal 19 Ayat 6).
Percayalah, bahwa daerah pasti akan memilih kebijakan yang paling moderat. Daerah yang ingin mengurangi kemacetan mungkin akan memungut pajak BBM tinggi, tetapi kebanyakan daerah yang tidak dihadapkan pada problem kemacetan mungkin akan memungut pajak BBM rendah, sehingga harga BBM kelak dapat berbeda antardaerah.
Kelima, Pasal 8 Ayat 5 RUU ini mengamanatkan bahwa hasil penerimaan pajak kendaraan bermotor paling sedikit 10% termasuk yang dibagihasilkan kepada kabupaten/kota, dialokasikan untuk pembangunan dan/atau pemeliharaan jalan serta peningkatan moda dan sarana transportasi umum.
Pasal ini akan mendorong terciptanya kondisi jalan yang selalu lebih baik sehingga minat masyarakat untuk memiliki kendaraan bermotor sendiri tetap tinggi. Jadi kecemasan para industri otomotif bahwa RUU PDRD akan mengancam mereka tidak punya dasar yang kuat.
Kecemasan yang mendasar justru ada pada para pengusung pajak progresif dengan harapan dapat mengurangi kemacetan lalu lintas. Asumsi bahwa pajak progresif akan dapat mengurangi kemacetan akan gugur dengan sendirinya apabila setiap daerah, termasuk Pemprov DKI, mengambil kebijakan yang moderat dengan menetapkan pajak progresif terendah.
Kebijakan tersebut sama sekali tidak akan mengurangi tingkat kepemilikan kendaraan bermotor di Jakarta sehingga kemacetan tetap akan mewarnai Kota Jakarta, meskipun sudah ada pajak progresif untuk kendaraan bermotor.
Satu-satunya harapan baik bagi kelompok ini adalah bila harga BBM untuk angkutan umum betul-betul dibedakan dengan angkutan pribadi seperti diatur dalam Pasal 19 Ayat 2 yang menyatakan: Khusus tarif Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor untuk bahan bakar kendaraan umum dapat ditetapkan paling sedikit 50% lebih rendah dari tarif Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor untuk kendaraan pribadi.
Pasal 8 Ayat 5 seperti yang dikutip di atas tidak dapat dijadikan sebagai harapan cerah, karena di sana ada sharing antara untuk perbaikan jalan dan angkutan umum, serta kita tidak tahu sejauh mana komitmen setiap daerah untuk melakukan perbaikan angkutan umum.
Sangat mungkin para pemimpin daerah justru akan lebih konsentrasi membangun/memperbaiki jalan karena selain ada proyek baru, juga dapat mendorong pertumbuhan kendaraan bermotor di daerahnya. Apabila ini yang terjadi, maka yang gigit jari dengan adanya UU PDRD adalah mereka yang berharap pajak progresif akan dapat mengurangi kemacetan di kota-kota besar. Sebaliknya, industri otomotif yang sekarang cemas, justru diuntungkan oleh kebijakan daerah yang mendorong berkembangnya industri otomotif.