Follow Us :

Penjualan Properti Tak Serta-merta Meningkat
 
JAKARTA, KOMPAS — Kementerian Koordinator Perekonomian mengupayakan pajak properti turun. Langkah ini untuk menurunkan biaya ekonomi sehingga kemudahan usaha di Indonesia membaik. Pada akhirnya, investasi diharapkan meningkat pesat.

Hasil survei kemudahan usaha yang dilakukan Bank Dunia pada 2015 menempatkan Indonesia pada peringkat ke-109 dari 189 negara. Presiden Joko Widodo menargetkan tahun ini Indonesia ke posisi ke-40.

Salah satu dari 10 indikator kemudahan berbisnis tersebut adalah pengurusan properti. Setiap indikator meliputi tiga aspek, yakni jumlah prosedur, lama prosedur, dan biaya prosedur.

Dalam konteks ini, Kementerian Koordinator Perekonomian mengusahakan penurunan pajak properti.

"Ini semua sedang disiapkan dan diusahakan," kata Staf Ahli Menteri Koordinator Perekonomian Bidang Pembangunan Daerah Wahyu Utomo dalam pidato kunci pada peluncuran situs kemudahan usaha, di Jakarta, Selasa (22/3).

Pajak properti yang dimaksud meliputi Pajak Penghasilan (PPh) final untuk sektor properti dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan (BPHTB). PPh final properti, mengacu Pasal 4 Ayat 2 Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2008, sebesar 5 persen. Pajak ini ditarik pemerintah pusat dari penjual properti. Adapun BPHTB yang menjadi kewenangan pemerintah daerah ditarik dari pembeli properti, sebesar 5 persen.

Untuk PPh final properti, Kementerian Koordinator Perekonomian mengusulkan turun menjadi 2,5 persen. Demikian pula dengan BPHTB, turun menjadi 2,5 persen.

Untuk PPh final properti, Wahyu menyebutkan sudah menggelar rapat dengan Kementerian Keuangan. Pada prinsipnya, Kementerian Keuangan sudah menyetujui. Draf peraturan pemerintah sebagai payung hukumnya juga sudah disiapkan. Aturan itu menurut rencana diterbitkan pada awal April 2016.

Adapun untuk BPHTB, lanjut Wahyu, pihaknya dengan Kementerian Dalam Negeri sudah pernah berbicara dengan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan Pemerintah Kota Surabaya. Sejauh ini, kedua pemerintah daerah itu masih mengkaji. Kedua daerah tersebut dipilih sesuai lokasi survei kemudahan usaha yang digelar Bank Dunia.

Secara terpisah, Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo menyatakan setuju jika PPh final properti diturunkan menjadi 2,5 persen. Namun, skema itu sebaiknya diubah agar tidak lagi final, tetapi mengikuti realisasi laba perusahaan.

Untuk BPHTB, Prastowo juga setuju tarifnya diturunkan. Ini karena BPHTB terlalu memberatkan pembeli properti.

"Sekalian saja pemerintah pusat mendorong integrasi pengurusan properti. Mulai dari jual-beli sampai proses balik nama dan pengurusan sertifikat diintegrasikan dalam konsep semacam kantor bersama. Ini lebih menjamin penerimaan negara sekaligus memberikan kepastian kepada pembeli. Selama ini, PPh final properti dan BPHTB, banyak yang bocor," tuturnya.

Proyeksi

Secara terpisah, Direktur Eksekutif Indonesia Property Watch Ali Tranghanda menyatakan, penurunan suku bunga acuan tidak akan serta-merta menaikkan penjualan properti jika tidak dibarengi penurunan suku bunga kredit pemilikan rumah/apartemen. Saat ini, suku bunga acuan 6,75 persen.

"Saat ini bunga KPR masih dua angka," kata Ali.

Menurut Ali, penurunan 1 persen bunga KPR akan menaikkan pasar KPR 4-5 persen. Dia memproyeksikan, penjualan properti akan mulai naik sekitar 10 persen, mulai semester II-2016.

Secara terpisah, Managing Director Synthesis Residence Kemang Mandrowo Sapto memproyeksikan, segmen menengah ke atas yang berminat membeli properti tetap tinggi. Oleh karena itu, pelaku usaha optimistis pasar properti dalam negeri akan membaik.

"Pasar menengah atas bukan mencari sekadar hunian karena sudah punya rumah dan investasi," katanya.

error: Content is protected