Jakarta, Kompas – Kerugian perusahaan yang melakukan transaksi derivatif tetap akan dikenai pajak. Penghasilan yang dilaporkan dalam surat pemberitahuan oleh perusahaan yang melakukan transaksi derivatif tak boleh rugi.
”Transaksi derivatif itu sudah kami anggap sebagai final sehingga tidak ada lagi hitungan rugi labanya. Kami hanya akan melihat margin (keuntungan) dari transaksi itu. Itu yang akan menjadi patokan,” ujar Direktur Potensi, Penerimaan, dan Kepatuhan Pajak, Ditjen Pajak, Sumihar Petrus Tambunan di Jakarta, pekan lalu.
Transaksi derivatif merupakan transaksi yang dilakukan oleh dua belah pihak yang memiliki pandangan berlawanan atas pergerakan nilai suatu aset. Kedua belah pihak ini akan bertaruh atas pergerakan nilai tersebut.
Kontrak derivatif pada kedua belah pihak itu biasanya dilakukan pada pergerakan nilai tukar valuta asing, tingkat suku bunga, indeks saham, hingga harga komoditas.
Kedua belah pihak tidak berniat menguasai aset yang digunakan, tetapi hanya ingin mengambil selisih dari pergerakan nilai tersebut sehingga terkadang tidak ada modal yang dibutuhkan untuk membuat sebuah kontrak derivatif, layaknya perjudian.
Sebagai ilustrasi, ada dua orang yang melakukan kontrak derivatif nilai tukar valas pada saat harga pasar di level Rp 10.000 per dollar AS.
Pihak A memprediksikan rupiah akan melemah sehingga dia mengambil posisi membeli, sedangkan pihak B memperkirakan rupiah akan menguat sehingga mengambil posisi jual.
Namun, keduanya sama-sama tidak memiliki aset jaminan (berupa dollar AS secara fisik) karena hanya berniat mengambil selisih untung dari pergerakan kurs valasnya.
Menurut Sumihar, atas transaksi seperti itu, Ditjen Pajak akan menetapkan margin awal sebagai basis penagihan pajaknya. Pelaku transaksi tidak akan ditagih lagi Pajak Penghasilan (PPh) karena memang sifatnya sudah final. ”Ini sama seperti bunga deposito (tarifnya 20 persen) atau hasil jual beli tanah atau bangunan yang dikenai PPh 5 persen, hanya akan dikenai PPh satu kali,” ujarnya.
Kerugian derivatif kembali mengemuka belakangan ini karena dilaporkan banyak perbankan dan lembaga keuangan nasional yang mengalami kerugian akibat transaksi derivatif.
Besarnya kerugian
Ekonom Dradjad H Wibowo menyebutkan, transaksi derivatif di perbankan nasional bisa mencapai 4 miliar dollar AS selama tahun 2008.
Dari transaksi itu, kerugian yang sudah mulai diketahui tidak kurang dari Rp 1,5 triliun. Perusahaan meminta agar mereka diizinkan memasukkan kerugian derivatif sebagai pengurang Penghasilan Kena Pajak (PKP) sehingga PPh yang dibebankan menjadi lebih ringan.
Pengamat pajak, Darussalam, mengatakan, Indonesia tidak memiliki aturan yang jelas terhadap pemajakan transaksi derivatif.
PPh final hanya diberikan pada transaksi future (jual beli komoditas di bursa berjangka) yang kerap dilakukan oleh pelaku pasar komoditas. Adapun untuk jenis transaksi derivatif lainnya, seperti option, swap, dan forward belum ada aturan yang menetapkan terkena PPh final.