Indonesia belumlah demokratis dalam membiayai kebutuhan
Dalam RAPBN 2010 yang disampaikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kepada DPR (3 Agustus), tercatat rencana penerimaan perpajakan sebesar Rp729,2 triliun atau naik 11,81% dari RAPBN-P 2009 yang besarnya Rp652,1triliun.
Dampak kenaikan penerimaan pajak tersebut telah mampu menurunkan defisit anggaran dari 2,4% (2009) menjadi 1,6% (2010). Di sisi lain, terjadi peningkatan tax ratio dari 12,0% (2009) menjadi 12,1% (2010).
Dari jumlah tersebut, sebanyak Rp605,1 triliun atau 83% merupakan pajak yang akan dikelola Direktorat Jenderal Pajak untuk pengamanannya. Berarti, terjadi kenaikan 14,56% dibandingkan dengan 2009 yang besarnya Rp528,2 triliun (RAPBN-P). Peningkatan ini telah melebihi hampir 50% bila dibandingkan dengan pertumbuhan kapasitas perekonomian nasional pada 2010 yang diperkirakan 10%. Yang mana, jumlah ini berasal dari besaran pertumbuhan ekonomi 5% dan inflasi 5%.
Adapun, komposisi rencana penerimaan pajak pada 2010 tersebut akan diperoleh dari pajak penghasilan (PPh) nonmigas Rp300,4 triliun atau 49,64%. Pajak pertambahan nilai dan pajak penjualan atas barang mewah (PPN dan PPnBM) Rp 267,0 triliun atau 44,12%. Pajak bumi dan bangunan (PBB) Rp26,5 triliun atau 4,38%. Bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB) Rp 7,4 triliun atau 1,22%, dan dari pajak lainnya Rp3,8 triliun atau 0,63%.
Pertumbuhan tertinggi akan diperoleh dari PPN sebesar 31,46%, yakni dari Rp203,1 triliun (2009) jadi Rp267,0 triliun. Adapun terendah dari PPh nonmigas sebesar 3,27%, yakni dari Rp290,9 triliun (2009) jadi Rp 300,4 triliun.
Tingginya pertumbuhan PPN bisa jadi karena diperkirakan tahun 2010 akan mulai terjadi pemulihan (recovery) perekonomian secara menyeluruh, setelah krisis keuangan global menerpa perekonomian semua negara di dunia. Sehingga akan banyak terjadi transaksi sebagai objek PPN.
Sementara itu, rendahnya pertumbuhan PPh, cenderung sama di berbagai negara, sehingga bisa dimaklumi. Penyebabnya, walaupun tahun 2010 diperkirakan terjadi pemulihan ekonomi secara menyeluruh, tetapi bila tahun 2008 dan 2009 wajib pajak mengalami rugi, masih bisa dikompensasi pada tahun 2010. Berarti, bayar pajaknya masih minim bahkan bisa nihil.
Selain itu, mulai 2010 akan turun lagi tarif PPh badan dari 28% jadi 25% sebagai implikasi berlakunya Pasal 17 Ayat (2a) UU No.38/2008 tentang perubahan UU PPh. Belum lagi berbagai fasilitas perpajakan.
Karena transaksi
Apa arti angka-angka penerimaan pajak tersebut di atas bagi kita? Dari komposisi penerimaan pajak menunjukkan masih banyaknya pembayaran pajak oleh masyarakat karena melakukan transaksi. Dengan kata lain, jika tidak melakukan transaksi walaupun memiliki penghasilan, ada kecenderungan masyarakat tidak akan membayar pajak. Ini terlihat dari tingginya pertumbuhan PPN dibandingkan dengan PPh dan jumlahnya hanya berbeda sekitar 10%.
Selain itu, juga menunjukkan bahwa masyarakat negara kita masihlah berada dalam jajaran negara berkembang. Karena bagi suatu negara yang maju, ciri khas perpajakannya dapat dilihat antara penerimaan pajak langsung (PPh) dan pajak tidak langsung (utamanya PPN). Idealnya adalah penerimaan dari pajak langsung jauh lebih dominan dibandingkan dengan pajak tidak langsung.
Mengapa terjadi demikian? Artinya, di negara maju, tanpa melakukan transaksi pun (misalnya jual-beli), tetapi karena masyarakat memiliki penghasilan, akan sadar dan patuh membayar pajak (PPh), yang dilaporkan dalam surat pemberitahuan tahunan (SPT). Sebagai contoh, hal ini terlihat juga adanya menteri di AS yang mundur, karena tidak membayar pajak langsung.
Pajak berkaitan erat dengan upaya peningkatan kesejahteraan, kemakmuran, dan keadilan bagi masyarakat oleh negara. Selain menyediakan berbagai sarana dan prasarana yang dibutuhkan masyarakat banyak dalam kehidupan dan kegiatannya, juga untuk menanggulangi terjadinya berbagai hal yang mengganggu kehidupan masyarakat yang penanganannya bersifat segera, seperti bencana alam, penyakit yang mendadak muncul seperti virus influenza H1N1, kemiskinan, dan lainnya. Untuk keperluan tersebut, pada 2010, Indonesia butuh dana sebesar Rp1,009 kuadriliun atau Rp1.009 triliun.
Sebagai negara yang menganut prinsip demokrasi, seyogianya masyarakatlah yang akan membiayai besaran dana yang dibutuhkan tersebut. Karena tujuan akhir penggunaannya juga untuk keperluan masyarakat. Sedangkan utang sifatnya sebagai pelengkap, yakni bila kemampuan dalam negeri tidak memungkinkan.
Namun, hingga 2010 ternyata kita baru mampu membiayainya dari pajak sebagai kontribusi wajib masyarakat kepada negara sebesar 72,27%. Artinya, untuk membiayai kebutuhan tersebut, masyarakat rela dan membiarkan negara mencari sumber penerimaan lain, misalnya dari utang.
Dengan kondisi tersebut, bisa dikatakan bahwa negara kita belumlah demokratis dalam membiayai kebutuhannya. Karena masih memerlukan dana dari sumber lain di luar pajak, yang jumlahnya tidak sedikit.
Untuk pengamanan rencana penerimaan pajak 2010 tersebut, sejalan dengan reformasi perpajakan jilid 2, Ditjen Pajak akan melakukan secara lebih moderat. Metodenya berdasarkan mapping, profiling, dan benchmarking yang terus dibangun. Sehingga, setiap wajib pajak akan membayar pajak dalam jumlah sebagaimana mestinya.
Dalam hal ini, peningkatan kesadaran masyarakat dalam membayar pajak makin diharapkan. Selain agar terhindar dari pengenaan sanksi pajak yang lebih besar, juga sebagai bagian membangun demokrasi dalam pembiayaan negara. Inilah sisi kebangsaan yang terus kita bangun dan pupuk, apalagi kini Indonesia sudah berusia 64 tahun.